Kanara Rusadi, wanita beranak satu yang menikah dengan laki-laki keji karena dijual oleh ibu tirinya. Kanara kabur dari rumah akibat mendapatkan kekerasan dari suaminya. Ia bersama putranya harus hidup serba berkekurangan.
Demi sang putra dan berbekal ijasah SMA, Kanara bertekad masuk di sebuah perusahaan besar milik laki-laki yang pernah dia tabrak mobil super duper mahalnya.
Pertemuan awal mereka meninggalkan kekesalan Brandon. Namun seiring berjalannya waktu, Brandon mengetahui bahwa Kanara sedang bersembunyi dari suaminya dan saat ini berada di dalam bahaya yang mengancam nyawanya.
Brandon yang diam-diam mulai ada rasa pada Kanara, berusaha menyelamatkan wanita itu dari ancaman sang suami yang berkuasa di dunia gelap. Tanpa ia sadari Kanara adalah wanita yang pernah pernah terjerat dengannya sepuluh tahun lalu dan bocah bernama Bian itu adalah putra kandungnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mae_jer, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25
Begitu tiba di rumah sakit, Bian segera dibawa ke ruang gawat darurat. Para dokter dan perawat dengan cepat menangani bocah kecil itu, sementara Kanara hanya bisa berdiri kaku di luar ruangan. Tubuhnya gemetar, wajahnya penuh kekhawatiran. Brandon duduk di bangku yang tak jauh darinya, kepalanya tertunduk dalam diam, mencoba meredam kepanikan yang tak kalah besar dari Kanara, yang juga membingungkan dirinya.
Kanara tidak bisa diam. Ia bolak-balik di depan pintu ruangan, langkahnya tidak menentu, pikirannya kacau. Setiap kali melihat dokter atau perawat keluar masuk ruangan, ia merasa dadanya sesak. Semakin khawatir dengan keadaan putranya.
Brandon kini memperhatikannya. Matanya tak lepas dari Kanara. Melihat wanita itu terlihat rapuh dan penuh kegelisahan, membuat hatinya terusik. Ia ingin mendekat, tetapi langkahnya tertahan.
Dia tidak bercerai dengan suaminya, untuk apa kau mendekatinya Brandon? Apa yang kau harapkan?
Gumamnya galau.
Langkah kaki Kanara berhenti di depan jendela kecil yang mengarah ke ruang tindakan. Ia memandang ke dalam, tetapi yang terlihat hanya bayangan samar para dokter yang sedang bekerja keras menyelamatkan anaknya. Air mata yang sejak tadi ia tahan akhirnya tumpah membasahi pipinya.
Brandon mengepalkan tangannya kuat. Ia ingin menghibur wanita itu, tetapi tidak tahu harus berkata apa. Untuk saat ini, ia hanya bisa diam, membiarkan dirinya menyaksikan perjuangan seorang ibu yang sedang melawan ketakutannya.
Setelah menunggu hampir satu jam yang terasa seperti seumur hidup, pintu ruang tindakan akhirnya terbuka. Dokter keluar dengan wajah serius, menatap Kanara dan Brandon yang segera mendekat pada petugas medis tersebut.
"Bagaimana keadaan anak saya, dok?" tanya Kanara, suaranya gemetar.
Si dokter menghela napas pelan.
"Anak kalian mengalami cedera serius di kepala. Kami perlu melakukan operasi secepat mungkin untuk menghentikan perdarahan internalnya."
Mendengar itu, tubuh Kanara langsung lemas, tetapi dokter belum selesai berbicara.
"Anak itu juga kehilangan banyak darah, kami membutuhkan donor darah. Sayangnya, stok darah dengan golongan AB- di rumah sakit ini sudah habis." kata dokter tersebut. Dia pikir pria dan wanita yang berdiri di depannya sekarang ini adalah pasangan suami istri.
Kata-kata yang keluar dari mulut dokter itu seperti palu yang menghantam dada Kanara. Ia terdiam, wajahnya pucat pasi. Tubuhnya mundur selangkah ke belakang, hampir saja ia terjatuh kalau Brandon tidak segera menahannya. Tangan pria itu menahan bahu Kanara, tapi wajahnya menatap lurus ke dokter di depan mereka.
"Kami butuh darah secepatnya. Jika tidak ..."
Sebelum dokter selesai berbicara, Brandon sudah memotongnya.
"Ambil darah saya saja. Saya memiliki golongan darah yang sama dengannya." kata pria itu. Kanara langsung menoleh padanya. Ia merasakan tangan Brandon meremas bahunya, lali lelaki itu menatapnya.
"Kebetulan golongan darahku AB- Sama dengan Bian. Bisa pakai darahku, sudah kubilang kau jangan terlalu khawatirkan? Bian pasti baik-baik saja." ucap Brandon tersenyum lembut pada Kanara.
"Te- terimakasih." gumam Kanara, matanya sembab sekali.
Dokter lalu menyuruh Brandon mengikutinya untuk menjalani pemeriksaan awal. Kanara masih berdiri terus menatap kepergian pria itu. Setelah beberapa menit, dokter kembali dan mengonfirmasi bahwa Brandon cocok menjadi donor. Tanpa ragu, Brandon bersiap mendonorkan darahnya. Sebelum masuk ke ruang donor, ia sempat menatap Kanara, lalu berkata pelan,
"Bian akan baik-baik saja, percayalah."
Air mata Kanara mengalir tanpa bisa ia tahan. Ia tidak pernah menyangka bahwa Brandon, yang hanya bosnya, akan menjadi penyelamat untuk anaknya.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Operasi Bian berjalan lancar. Setelah melewati waktu panjang yang penuh ketegangan, Kanara merasa sedikit lega saat dokter mengabarkan bahwa anaknya selamat. Brandon, yang selama ini diam di sampingnya ikut menghela napas panjang. Meski tubuhnya terasa lelah setelah mendonorkan darah, ia tetap bersikeras menemani Kanara hingga Bian siuman.
Beberapa jam kemudian, Kanara dan Brandon diperbolehkan masuk ke kamar rawat Bian. Anak itu masih tertidur lemas, infus terpasang di tangannya, sementara perban melilit kepalanya. Kanara duduk di samping ranjang, menggenggam tangan Bian dengan lembut. Brandon berdiri tak jauh, memperhatikan pemandangan itu dengan diam.
Seorang perawat masuk untuk memeriksa kondisi Bian. Ia tersenyum ramah pada Kanara sebelum mengalihkan pandangannya ke Bian.
"Anaknya tampan sekali, bu," katanya. Ia lalu menambahkan sambil tertawa kecil, "Wajahnya mirip sekali dengan ayahnya."
Perkataan itu membuat suasana berubah seketika. Kanara tersentak, begitu pula Brandon. Ia melirik Kanara sebentar, ruangan menjadi hening dan canggung.
Brandon menatap Bian lebih lama, mencoba memproses ucapan perawat tadi. Awalnya ia merasa itu hanya kebetulan, tapi semakin diperhatikan, garis wajah anak itu memang mengingatkannya pada dirinya sendiri. Dari bentuk mata, hidung, bibir, semuanya memang terlihat mirip.
Tidak hanya itu, ingatan makan siang tadi juga tiba-tiba terlintas di benak Brandon. Bian mengatakan bahwa dirinya alergi udang. Brandon pun memiliki alergi yang sama. Ia merasa jantungnya berdetak lebih cepat. Semakin dia berpikir, semuanya semuanya terasa seperti kebetulan. Belum lagi Kanara yang terasa familiar sekali.
Sambil menatap Bian, sebuah ingatan lama mendadak muncul di kepalanya. Sepuluh tahun lalu.
Ia menoleh ke arah Kanara yang masih duduk diam sambil menggenggam tangan Bian dengan kuat.
Apakah wanita ini adalah wanita yang sama dengan gadis perawan yang dia tiduri dulu?
Sesaat kemudian Kanara tiba-tiba tertawa kecil, mencoba memecah suasana yang canggung. Ia menoleh ke arah perawat dengan senyuman tipis.
"Pria ini bukan suami saya sus, bukan ayah dari anak saya. Dia adalah bos saya. " katanya sambil berusaha terdengar santai.
Perawat tersebut agak kaget mendengarnya dan tersenyum canggung.
"Maaf, bu. Saya pikir kalian suami istri karena merasa anak ini benar-benar mirip dengan bapaknya," katanya, kemudian keluar dari ruangan setelah selesai memeriksa kondisi Bian.
Ruangan kembali sunyi. Kanara mengalihkan pandangannya ke arah Brandon, yang masih berdiri diam dengan ekspresi yang tak dapat di jelaskan. Kanara menelan ludah,
"Maaf, suster itu tidak tahu apa-apa." katanya pelan, dengan sedikit senyuman yang dipaksakan.
Brandon tetap diam, matanya terpaku pada Bian. Pikirannya masih dipenuhi oleh berbagai kebetulan yang terus terjadi antara dia dan wanita satu anak ini. Suasana di antara mereka tetap terasa canggung sekali dan sulit di jelaskan.
Brandon semakin ingin tahu semua hal tentang wanita ini. Ia tidak tahan lagi dengan kebenaran yang akan dia ketahui nanti. Ada sebuah harapan besar di dalam dirinya. Lalu ia terpikirkan sesuatu.
Apakah dia melakukan tes DNA saja? Antara Bian dan dirinya.
Daripada tersiksa oleh rasa penasaran.
iya bos tes dna aja sambil nunggu info lengkap dr pengawalmu,,,
bian sini onty bisikin lg,, bos brandon itu daddymuuuu😍