Aluna, gadis berusia delapan belas tahun dengan trauma masa lalu. Dia bahkan dijual oleh pamannya sendiri ke sebuah klub malam.
Hingga suatu ketika tempat dimana Aluna tinggal, diserang oleh sekelompok mafia. Menyebabkan tempat itu hancur tak bersisa.
Aluna terpaksa meminta tolong agar diizinkan tinggal di mansion mewah milik pimpinan mafia tersebut yang tak lain adalah Noah Federick. Tentu saja tanpa sepengetahuan pria dingin dan anti wanita itu.
Bagaimana kehidupan Aluna selanjutnya setelah tinggal bersama Noah?
Langsung baca aja kak!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Senja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 008
Vincent berdecak kesal. Mengusap wajahnya yang mulai frustasi. Jangan-jangan setelah ini, Vincent akan menjadi budak gadis lemah dan menyebalkan itu. Pikirnya.
“Sebentar lagi, Tuan. Aku sedikit kesulitan memakai celana dalam karena terlalu sempit,” teriak Aluna.
“W—what? Apa dia bilang tadi, celana dalam?” pekik Vincent terkejut dan hampir menjatuhkan rahangnya.
Wajahnya dan telinganya memerah.
Sebenarnya Aluna itu benar-benar polos atau hanya berpura-pura polos? Bisa-bisanya dia mengatakan itu pada seorang pria?
Tak lama, pintu tersebut terbuka. Aluna berjalan keluar dengan senyuman lebar di bibirnya.
“Tuan, lihatlah.” Aluna menarik lengan Vincent dan mengajaknya masuk ke dalam.
Vincent melirik Aluna yang berdiri di depan cermin lalu memalingkan wajahnya ke arah lain. “Kamu menyukai gaun itu?”
Aluna mengangguk. “Ya, aku sangat menyukainya, Tuan.”
Gadis itu nampak cantik dengan gaun berwarna putih, bermotif bunga matahari. Rambut hitam panjangnya terurai ke bawah sampai batas pinggang.
Meski terlihat kebesaran saat dipakai, setidaknya ini lebih baik daripada Aluna tidak memakai apapun seperti tadi.
“Terima kasih, Tuan,” ucap Aluna.
“Untuk?”
“Semuanya,” jawab Aluna.
Mendengar kalimat terima kasih yang terasa begitu tulus, membuat hati Vincent bergetar. Entah perasaan macam apa ini.
Vincent luluh hanya dengan melihat tatapan polos Aluna. Tatapan sama seperti milik Queen.
“Mikir apa aku. Queen sudah lama tiada. Dan gadis menyebalkan ini bukanlah Queen.” Vincent berusaha menepis pikiran ngawur nya.
“Em... Tuan. Sebenarnya ada yang ingin aku tanyakan,” ucap Aluna. “Ngomong-ngomong darimana anda mendapatkan gaun seindah ini?”
Aluna memutar tubuhnya, menghampiri Vincent. Pria itu duduk di sofa sambil terus mencuri pandang padanya.
“Bukankah ini sudah larut malam? Dan semua toko penjual pakaian tutup,” lanjutnya.
“Pertanyaan macam apa ini? Benar-benar tidak penting untuk aku jawab!” ketus Vincent.
Dia berjalan menuju balkon, mengambil sebatang rokok dan menyesapnya.
Lalu, menghembuskan asapnya keluar.
“Lebih baik kamu pikirkan saja, setelah ini akan kemana. Aku tidak bisa menampung kamu lebih lama bersamaku. Karena aku ini...”
Vincent membisu. Dia tidak mungkin mengatakan pada Aluna kalau dia adalah asisten seorang mafia.
“Kamu apa, Tuan? Kenapa tidak dilanjutkan?” tanya Aluna semakin penasaran.
Walaupun Aluna sempat melihat Vincent membunuh Ethan di depan kedua matanya. Itu belum cukup membuktikan siapa Vincent sebenarnya.
“Lupakan!”
Vincent membuang puntung rokok dan menginjak dengan kakinya.
“Mau ikut denganku atau tetap berada di sini bersama mereka?” tanya Vincent, berhenti di depan Aluna dan menunjuk kedua rekannya.
“Tidak. Aku tidak mau berada di sini. Aku ingin ikut kemanapun kamu pergi,” jawab Aluna menatap Jeremy dan pria yang ada di sebelahnya.
Aluna bersembunyi di belakang Vincent, gadis itu sedikit ketakutan.
Vincent tersenyum datar. Padahal, wajah Vincent nampak lebih kejam dan bengis dibandingkan dengan mereka berdua.
Kenapa Aluna malah tidak takut padanya sama sekali?
“Baiklah. Mulai sekarang, jadilah gadis penurut,” kata Vincent menepuk pelan puncak kepala Aluna.
Kemudian, mengambil senjatanya dari dalam laci dan menyelipkan ke pinggang.
“Tunggu, aku, Tuan!” pekiknya mengejar Vincent yang sudah lebih dulu naik lift.
Mereka menuju basement lantai bawah, dimana mobil Vincent berada. Di belakang mereka juga ada Jeremy yang turut serta.
“Cepat naik,” ucap Vincent.
Aluna bergegas masuk ke mobil. Duduk di jok belakang.
“Aku sudah siap, Tuan.”
“Turun!” titahnya.
“Hah?” Aluna mengernyit. “Bukankah tadi kamu menyuruhku untuk naik, kenapa sekarang memintaku turun?”
“Aku memang menyuruhmu untuk naik. Tapi, bukan untuk duduk di belakang, melainkan di depan. Kamu pikir aku ini supir pribadimu!” ucap Vincent dengan nada membentak.
Aluna diam membeku dengan mata berkaca-kaca ingin menangis.
Sejak mereka bertemu sampai sekarang, Vincent tidak pernah bicara lembut padanya.
“Sial!” Vincent mendesah kasar. Kepalanya mulai terasa berat.
Seharusnya, malam ini Vincent sudah berada di atas ranjang empuknya dan tidur dengan nyenyak. Tapi nyatanya, dia malah direpotkan oleh kehadiran Aluna.
“Maafkan aku, Tuan...” lirihnya menundukkan kepala dan meremas jari-jari tangannya.
Vincent menjadi serba salah jika Aluna terus memasang wajah memelas begini.lenyapkan “Apa yang terjadi padaku? Jangan sampai dia membuatku lemah. Dia hanya seekor kucing kecil yang bisa dengan mudah aku lenyapkan, ” batinnya.
Tak mau terlalu memikirkan hal ini, Vincent melajukan mobilnya. Pergi dari sana. Membiarkan Aluna tetap berada di posisinya tanpa protes lagi pada gadis itu.
“Kenapa dia diam saja? Apa dia marah karena aku tidak duduk di depan?” gumamnya.