Amara adalah seorang wanita muda yang bekerja di sebuah kafe kecil dan bertemu dengan Adrian, seorang pria sukses yang sudah menikah. Meski Adrian memiliki pernikahan yang tampak bahagia, ia mulai merasakan ketertarikan yang kuat pada Amara. Sementara itu, Bima, teman dekat Adrian, selalu ada untuk mendukung Adrian, namun tidak tahu mengenai perasaan yang berkembang antara Adrian dan Amara.
Di tengah dilema cinta dan tanggung jawab, Amara dan Adrian terjebak dalam perasaan yang sulit diungkapkan. Keputusan yang mereka buat akan mengubah hidup mereka selamanya, dan berpotensi menghancurkan hubungan mereka dengan Bima. Dalam kisah ini, ketiganya harus menghadapi perasaan yang saling bertautan dan mencari tahu apa yang sebenarnya mereka inginkan dalam hidup.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon cocopa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kehangatan Yang Tak Terucapkan *2
Ketika Adrian akhirnya beranjak dan meninggalkan kafe, Amara kembali merasa ada kekosongan yang menyertainya. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, namun satu hal yang pasti—kehadiran Adrian telah mengubah suasana di kafe yang selama ini begitu biasa baginya. Ada sesuatu yang berbeda dalam dirinya, yang bahkan ia sendiri belum sepenuhnya bisa pahami. Setiap kali Adrian berada di sana, Amara merasa seolah dunia di sekelilingnya menjadi sedikit lebih cerah, namun sekaligus lebih berat.
Ia tidak bisa mengabaikan rasa itu. Ketertarikan yang tak terucapkan, yang tak bisa ia hindari. Hanya saja, apa yang harus ia lakukan dengan perasaan itu? Amara berusaha kembali fokus pada pekerjaan, mengatur meja, mengelap permukaan kaca, namun pikirannya selalu terarah pada sosok Adrian. Ketika ia melihat meja kosong tempat Adrian duduk, ada perasaan hampa yang tiba-tiba datang. Pikirannya berputar, mencoba menganalisis setiap detail kecil—setiap kata, setiap tatapan yang pernah Adrian berikan padanya.
Namun, apa yang lebih mengganggunya adalah ketidakpastian tentang apa yang sebenarnya diinginkan Adrian darinya. Apakah itu hanya ketertarikan biasa, atau ada lebih banyak yang tersembunyi di balik sikap Adrian yang terlihat tenang? Sementara itu, Amara merasa dirinya tak memiliki jawaban pasti, hanya perasaan bingung yang semakin mendalam.
Di tengah kegelisahan itu, suara bel pintu kembali memecah keheningan kafe, mengalihkan perhatian Amara dari perenungannya. Seorang pelanggan baru masuk, dan Amara menyapa dengan senyum profesional, mencoba untuk menenangkan diri. Meskipun kafe mulai penuh kembali, pikirannya tetap terikat pada pertemuan dengan Adrian yang singkat namun berkesan itu.
Seiring berjalannya waktu, pelanggan datang dan pergi, namun kehadiran Adrian tetap teringat di benaknya. Sesekali, ia berpikir untuk bertanya lebih lanjut, mencari tahu apa yang ada di pikiran pria itu, tetapi selalu ada rasa takut yang menghalangi. Mungkin, Amara berpikir, inilah saatnya ia harus lebih berhati-hati. Mungkin perasaan ini hanya ilusi belaka, sesuatu yang ia ciptakan sendiri karena kecemasannya yang tak berujung.
Ketika jam menunjukkan hampir tengah hari, Amara mulai merapikan area kasir, menyiapkan kopi untuk pelanggan berikutnya. Tapi pikirannya kembali berkelana ke Adrian. Bagaimana jika ia terlalu berharap pada sesuatu yang tidak mungkin? Bagaimana jika segala perasaan yang tumbuh dalam dirinya hanyalah sesuatu yang harus ia simpan rapat-rapat?
Amara menggelengkan kepala, berusaha mengusir perasaan cemas itu. Ia tahu bahwa ia harus fokus pada hidupnya yang sekarang, pekerjaan yang telah menjadi bagian dari dirinya. Kafe ini adalah tempatnya untuk mencari kenyamanan, bukan untuk memikirkan hal-hal yang tak pasti. Tapi perasaan yang ada tetap saja mengganggu. Adrian, dengan sikapnya yang selalu membuatnya bingung, seolah menyadarkan Amara bahwa ada banyak hal di dunia ini yang tak bisa ia kontrol.
Hari semakin siang, dan kafe mulai lebih sepi. Sambil merapikan meja, Amara memandang keluar jendela, seolah mencari jawaban di luar sana. Namun yang ia temui hanya bayangannya sendiri yang terpantul di kaca. Ia tahu, bahwa kehadiran Adrian akan selalu ada dalam pikirannya, dan bahwa setiap kali pria itu datang, perasaan yang ada akan semakin sulit untuk dipahami.
Amara menarik napas panjang, mencoba menenangkan hatinya. Ia tahu bahwa kehidupan tidak bisa selalu diprediksi, dan mungkin, tak ada salahnya jika ia sedikit membiarkan dirinya terbawa oleh perasaan yang datang begitu saja. Namun satu hal yang pasti—kehadiran Adrian telah membuka pintu baru dalam hidupnya, dan ia tidak bisa kembali ke kehidupan lama yang penuh dengan rutinitas tanpa rasa penasaran yang tak terungkapkan.
Seiring berjalannya waktu, kafe semakin lengang, hanya menyisakan beberapa pelanggan yang menikmati kopi mereka sambil berbincang. Amara duduk di belakang meja kasir, mengusap tangannya yang sedikit kering karena seharian berinteraksi dengan air dan deterjen. Namun pikirannya tetap terganggu oleh Adrian, meski ia berusaha keras untuk tetap fokus pada pekerjaan.
Tiba-tiba, pintu kafe berbunyi lagi. Amara menoleh, dan kali ini, bukan Adrian yang masuk. Seorang wanita muda, mengenakan pakaian kasual dengan tas kecil di tangan, melangkah masuk. Amara mengenalnya—ini adalah Vera, teman dekatnya yang sering datang ke kafe setelah jam kerjanya. Namun, kali ini Vera tampak berbeda. Ada ekspresi serius yang terukir di wajahnya, dan langkahnya terasa lebih berat dari biasanya.
"Hei, Vera! Ada apa? Kamu terlihat tidak seperti biasanya," sapa Amara dengan cemas, melihat temannya yang tampak tidak dalam suasana hati yang baik.
Vera tersenyum lemah, duduk di meja yang tidak jauh dari tempat Amara berdiri. "Aku cuma butuh sedikit waktu untuk diri sendiri. Bisa aku duduk di sini sebentar?"
"Tentu saja," jawab Amara, segera menyiapkan segelas air putih untuk Vera. "Ada yang ingin kamu ceritakan? Kenapa tampak begitu cemas?"
Vera menghela napas panjang sebelum akhirnya membuka mulut. "Aku baru saja bertemu dengan seseorang yang... aku rasa, mungkin bisa mengubah banyak hal dalam hidupku." Wajah Vera menunjukkan campuran antara kebingungan dan ketegangan. "Tapi aku juga takut. Aku tidak tahu apakah aku siap untuk itu."
Amara sedikit terkejut dengan cerita Vera. Temannya yang biasanya percaya diri, kini tampak ragu dan bingung. "Siapa dia? Apa yang membuatmu merasa seperti ini?" tanya Amara, mencoba mengerti perasaan Vera.
Vera menundukkan kepalanya, menatap gelas air yang ada di depannya, seolah mencari jawaban di dalamnya. "Dia... sebenarnya bukan orang baru. Aku mengenalnya, tapi kami berdua selalu berada di jalur yang berbeda. Aku takut perasaan ini hanya sementara. Aku takut aku akan terluka lagi."
Amara mendengarkan dengan seksama. Ada sesuatu yang familiar dalam cerita Vera. Sebuah kisah yang sama sekali tidak asing, tapi tetap terasa berat. Perasaan yang datang tiba-tiba, yang membuat hati menjadi bingung dan cemas. Seolah-olah, Vera sedang menghadapi perasaan yang tak jauh berbeda dengan perasaannya sendiri terhadap Adrian.
Namun, Amara tidak bisa memberi banyak nasihat. Ia sendiri masih terjebak dalam kebingungannya. Bagaimana bisa ia memberi saran, jika dirinya sendiri tak tahu apa yang sebenarnya ia rasakan? Tapi setidaknya, mendengarkan Vera membuatnya merasa sedikit lebih baik. Ada kenyamanan dalam berbagi, meski tidak ada solusi yang pasti.
"Vera, kamu tahu, tidak ada yang bisa memprediksi masa depan. Kita hanya bisa berusaha sebaik mungkin. Kalau kamu merasa ini penting, kamu harus mengejarnya. Jangan biarkan keraguan menghalangi apa yang bisa menjadi kebahagiaanmu," ujar Amara dengan suara lembut, meskipun dalam hatinya, ia juga merasa bingung dengan nasihat itu sendiri.
Vera mengangkat wajahnya, tersenyum lemah. "Aku tahu, Amara. Tapi kadang-kadang aku merasa takut. Takut kehilangan lagi."
Amara mengangguk pelan, merasa seolah ia bisa merasakan ketakutan yang sama. Perasaan yang begitu familiar, yang ia sendiri rasakan setiap kali memikirkan Adrian. Sebuah rasa takut yang datang tanpa permisi, yang sulit dijelaskan, tapi begitu mengikat.
"Aku mengerti. Tapi ingat, kita tidak akan tahu apa yang akan terjadi jika kita tidak mencoba. Jika ini membuatmu bahagia, kamu harus memberi kesempatan pada dirimu untuk merasakannya," ujar Amara, meskipun hatinya masih dipenuhi oleh keraguan sendiri.
Vera menghela napas lagi, kali ini dengan sedikit lebih lega. "Terima kasih, Amara. Kamu selalu bisa membuatku merasa lebih baik."
Amara tersenyum tipis, meskipun hatinya masih penuh dengan perasaan yang belum terjawab. Ada banyak hal yang belum ia pahami tentang dirinya sendiri, dan tentang hubungan yang berkembang dengan Adrian. Tapi, untuk sementara, mendengarkan cerita Vera memberikan sedikit ketenangan. Mungkin, seperti Vera, ia juga harus memberi kesempatan pada perasaan yang datang begitu saja, tanpa takut untuk mengejarnya.
Setelah beberapa saat, Vera akhirnya memutuskan untuk meninggalkan kafe, dengan senyum yang sedikit lebih lebar dan langkah yang lebih ringan. Amara mengantar temannya hingga pintu keluar, dan setelah itu kembali ke meja kasir, duduk dalam keheningan yang hanya ditemani suara detak jam dinding. Ia memandangi kursi kosong tempat Vera duduk tadi, merasa bahwa mungkin, seperti temannya, ia juga harus menemukan keberanian untuk mengejar apa yang ia inginkan.
Adrian, dengan segala ketegangan yang ia bawa, masih tetap hadir dalam pikirannya. Entah mengapa, kini ia merasa bahwa perasaan ini bukanlah sesuatu yang harus ia hindari. Mungkin, seperti yang dikatakan Vera, ia hanya perlu memberi kesempatan pada dirinya sendiri untuk merasakannya. Tanpa takut, tanpa ragu.