Selama 10 tahun lamanya, Pernikahan yang Adhis dan Raka jalani terasa sempurna, walau belum ada anak diantara mereka.
Tepat di ulang tahun ke 10 pernikahan mereka, Adhis mengetahui bahwa Raka telah memiliki seorang anak bersama istri sirinya.
Masihkah Adhis bertahan dalam peliknya kisah rumah tangganya? menelan pahitnya empedu diantara manisnya kata-kata cinta dari Raka?
Atau, memilih meladeni mantan kekasih yang belakangan ini membuat masalah rumah tangganya jadi semakin pelik?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon moon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
#26•
#26
Mendengar desah nafas serta suara-suara nikmat di dalam kamarnya membuat langkah kaki Adhis terhenti, “Kamu yang terbaik, Sayang, jangan pergi lagi, aku tak bisa hidup tanpamu.” Suara parau Raka terdengar jelas ditelinga Adhis.
Baginya yang sudah mengenal Raka lebih dari sepuluh tahun, tentu suara Raka sudah sangat Adhis kenali. Ketika bahagia, ketika sedih, atau ketika menginginkan sesuatu, termasuk saat ini, suara parau tersebut biasa berbisik mesra di telinganya usai pelepasan.
Walau kembali hancur ketika mendengar sendiri betapa suaminya memuja Anggita, Adhis tetap memaksakan diri masuk ke kamar yang biasa jadi tempat intim mereka, dan melihat dengan jelas di dalam gelapnya pencahayaan kamar tersebut. Bukan karena apa, tapi agar dirinya yakin, agar keinginannya untuk berpisah semakin kuat, dan kelak, ia tak akan pernah lagi menyesali keputusannya.
Aroma khas percintaan terhidu sangat kuat di indera penciuman Adhis, hingga membuat Adhis tanpa sadar menjatuhkan paperbag yang berada di tangannya.
Brug!
Setelah menjatuhkan barang bawaannya, Adhis mundur beberapa langkah, kemudian menutup pintu kamar dengan kecang. Sedetik kemudian, kedua kelopak mata Raka membola, ia kembali ke alam sadar seketika dan melihat dengan jelas, siapa yang kini tengah berbagi rasa nikmat dengannya. “Oh, Sh^iit!!” Raka mengumpat keras, padahal sudah beberapa kali pelepasan itu ia rasakan.
Raka bergegas bangkit, dan mengenakan pakaian seadanya, ia berlari keluar kamar dan sekelebat nampak tubuh Adhis berjalan cepat melalui pintu depan.
Raka tak mungkin bergeming di tempatnya, wanita yang ia rindukan berhari-hari telah kembali. Namun kini Adhis kembali bergegas pergi setelah melihat apa yang ia lakukan di dalam kamar yang seharusnya hanya tempat dirinya dan Adhis memadu kasih.
“Sayang!! …” Raka berlari cepat mengejar Adhis yang kini tengah berjalan melalui taman.
“Lepas, Mas! Biarkan aku pergi!” sentak Adhis ketika Raka berhasil meraih tangannya.
“Tidak, sayang, Mas merindukanmu, mencarimu kemana-mana, dan setelah kamu datang, mana mungkin Mas melepaskanmu?” tolak Raka memelas. “Sampai kapanpun, Mas tidak akan membiarkanmu pergi.”
Adis tertawa miris. “Rindu? Mas bilang rindu? tapi yang kulihat di kamar tadi, sepertinya Mas tidak serindu itu padaku.”
“Mas … bisa jelaskan, sayang.” Wajah Raka begitu memelas, ia benar-benar putus asa dengan nasib rumah tangganya bersama Adhis.
“Penjelasan apa lagi, Mas!? Aku masih bisa terima ketika Mas ternyata mendua, hanya demi keturunan. Karena aku merasa bahwa mungkin Tuhan tak menakdirkan aku untuk memiliki anak.”
“Sayang … “ lirih Raka putus asa.
Tapi Adhis tak peduli, ia bahkan mendorong tubuh Raka yang berusaha memeluknya, “Tapi kurasa, kalian memang sudah keterlaluan, kalian bahkan memadu cinta di rumahku. Rumah yang kita desain dan siapkan tiap detailnya berdua, setiap sudut dan sisi dari bangunan ini bahkan menyimpan cerita kita, terutama kamar. Itu ruangan pribadi yang hanya boleh kita masuki, ruangan yang sudah menjadi saksi cinta kita selama bertahun-tahun, tempat kita berbagi.” Adhis berbicara panjang lebar dengan hati hancur, dan entah sudah berapa banyak air mata yang ia tumpahkan.
Raka mencengkeram rambutnya gusar, rupanya tadi ia benar-benar berhalusinasi, bukan Adhis yang bersamanya di kamar, melainkan Anggita. dan lebih parahnya lagi Adhis memergoki dirinya bersama Anggi sedang bersama dikamar utama. Kini Raka tak tahu lagi harus dengan cara apa membujuk Adhis agar tak pergi meninggalkannya.
“Tidak begitu, sayang, sungguh, kamu pergi berhari-hari, aku tak bisa menghubungimu, seluruh Yogyakarta sudah aku kelilingi, bahkan semua hotel kudatangi. Nyatanya aku tak bisa menemukan namamu di daftar pengunjung.”
Adhis melengos, ketika Raka mendekat kearahnya, sengaja Adhis melipat kedua lengannya di dada, agar Raka tak lagi menyentuh tangannya. “Sejak semalam Mas demam tinggi, karena Mas terlalu merindukan kamu.”
“Jadi, karena itu, Mas memanggil Anggi kerumah ini, rumah yang seharusnya hanya jadi istanaku, rumah kita! tak cukupkah kalian melakukannya di rumah kalian sendiri? kenapa masih begitu serakah, hingga ingin memadu kasih di rumahku juga?!” Adhis kembali berteriak meluapkan emosinya.
“Tidak cukupkah jika kalian bermesraan di belakangku? aku terima, Mas, sungguh. Sampai detik aku melangkahkan kaki, melewati pintu beberapa saat yang lalu, aku sudah mengikhlaskan semua yang Mas lakukan dibelakangku. Karena aku juga sadar tidak bisa memberikan apa yang sangat kamu inginkan. Tapi kali ini, kalian benar-benar telah menginjak harga diriku.”
Usai mengatakannya, Adhis berbalik, “Sayang! jangan pergi,” cegah Raka, yang kembali berhasil menangkap lengan Adhis.
Brugh!! Namun dengan sekuat tenaga pula, Adhis kembali mendorong tubuh Raka, Adhis tak peduli lagi dengan semua ucapan Raka.
“Sayang!” Raka masih terus berusaha mengejar Adhis, namun beruntung bagi Adhis yang masih melihat mobil Dean terparkir tak jauh dari rumahnya. Pria itu bahkan sedang berdiri di samping mobil sedang menerima panggilan, entah dari siapa.
Dean cukup terkejut melihat kedatangan Adhis, sementara di belakang Adhis, Raka berlari mengejar istrinya.
“Bawa aku pergi, cepat!!!”
Adhis bergegas masuk ke mobil, walau belum paham apa yang terjadi, tapi ia bergegas menyalakan mesin mobil begitu pintu tertutup sempurna.
…
#huft, tarik nafas dulu, berasa Othor yang kabur dikejar suami 😑😑
…
Beberapa saat sebelumnya.
Ting!!
Bunyi notifikasi pesan masuk ke ponsel Dean beberapa detik setelah bayangan Adhis hilang di balik gerbang rumahnya.
“Shi^iit!!” Dean mengumpat ketika melihat isi pesan tersebut.
Dean bergegas menghubungi si pengirim pesan.
“Wah, ternyata setelah kamu jadi duda, petualanganmu tak seburuk yang aku kira.” Selorohan Darren seketika menyapa pendengaran Dean.
Dean mengepalkan tangan, sambil memejamkan mata. “Dari mana kamu dapat foto itu?”
“Tentu saja dari hasil bidikan kamera ponselku sendiri,” jawab Darren santai.
“Kamu di Yogyakarta?”
“Huum, bersama istriku, bukan istri orang pastinya,” sindir Darren.
Dean menghembuskan nafasnya, “Baru saja, aku bermaksud menghubungimu, tak kusangka aku melihat pemandangan pagi yang menyegarkan.” Darren terkekeh.
“Ya!! Itu tak seperti yang kamu kira, kami tak sengaja bertemu,” sanggah Dean.
“Tapi yang kulihat tidak begitu?” Lagi-lagi Darren terkekeh jahil.
“Sungguh, aku tak bohong, kamu kira, di usiaku sekarang aku masih ingin bermain-main?”
“Syukurlah, jika tidak, apalagi Adhis sudah bersuami.”
Dean terdiam, ia tak hendak membeberkan apa yang tengah Adhis alami, karena menyebar aib orang bukanlah hobinya. “Tak perlu kamu mengatakan itu, aku tahu kok.”
“Bisakah kamu menjaga rahasia ini? Terutama sekali dari Mommy,” sambung Dean.
“Baiklah, by the way, kapan kamu kembali ke Jakarta?”
“Belum tahu.”
“Uncle bilang, kamu berencana menetap di Yogyakarta selama setahun?”
Dean mengangguk, “Ada Rumah Sakit disini yang membutuhkan keahlianku.”
“Apa keahlianmu? Mengencani istri orang?” seloroh Darren diiringi tawa yang menggema.
“Yaaakk!!” Tanpa sadar, Dean berteriak kesal.
Tiba-tiba ia melihat Adhis berjalan cepat ke arah mobilnya, tanpa aba-aba atau berpamitan, Dean mengakhiri panggilannya, bahkan tanpa sadar tangannya menekan tombol power, hingga ponselnya mati total.
“Bawa aku pergi, cepat!!”
Dean yang masih kebingungan dengan apa yang terjadi, hanya bisa bergegas masuk kemudian menyalakan mesin mobil.
Dari kaca spion Dean melihat Raka masih berlari mengejarnya, “tambah kecepatannya!! Kenapa Kakak mengemudi seperti siput!?”
Sesuai perintah Adhis, Dean menambah kecepatan mobilnya. Mobil pun bergerak cepat meninggalkan Raka yang terlihat semakin kecil akhirnya hilang dari pandangan.
Adhis terus menangis sepanjang perjalanan, dan yang bisa Dean lakukan hanya melaju di tengah ramainya jalanan, walau tanpa tujuan.