Nadira terbaring koma, di ambang batas hidup, divonis tak akan bisa pulih oleh sang dokter akibat penyakit langka yang merenggut segalanya dengan perlahan.
Di sisa-sisa kesadarannya, ia menyampaikan satu permintaan terakhir yang mengubah hidup Mira, kakaknya: menggantikan posisinya untuk menikahi Revan, seorang pria yang bahkan tak pernah Mira kenal.
Tanpa cinta, tanpa pilihan, Mira melangkah menuju pelaminan, bukan untuk dirinya sendiri, melainkan demi memenuhi permintaan terakhir Nadira. Namun, pernikahan ini lebih dari sekadar janji. Itu adalah awal dari ujian berat, di mana Mira harus berjuang menghadapi dinginnya hati Revan dan penolakan keluarganya.
Ketika Mira mencoba bertahan, kenyataan yang lebih menyakitkan menghancurkan semua: Revan melanggar janjinya, menikahi wanita lain yang memiliki kemiripan dengan Nadira, semua dilakukan di balik punggung Mira.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon WikiPix, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menyesali
Karina menatap mobil Revan yang menjauh perlahan, menghilang di antara deretan kendaraan yang berlalu-lalang di jalan. Ia berdiri diam di pinggir trotoar, menahan napasnya, seolah masih berharap Revan akan berbalik arah. Namun, kenyataan mengatakan sebaliknya. Revan telah pergi, dan kini Karina hanya sendirian dengan segala kekacauan pikirannya.
Dengan langkah lemas, ia melangkah menuju ke dalam rumah. Tangannya gemetar saat ia membuka pintu, dan begitu masuk, ia langsung melemparkan tasnya ke atas kasur. Tubuhnya terasa lelah, bukan hanya secara fisik, tetapi juga mental. Perasaan bercampur aduk menguasai dirinya, antara cinta, penyesalan, dan rasa ragu yang tak kunjung hilang.
Karina duduk di tepi kasur, pandangannya kosong. Ia memutar ulang semua yang terjadi dalam benaknya, terutama malam itu, malam yang mengubah segalanya.
Ia memejamkan mata, tapi ingatan itu kembali menyerangnya: ciuman Revan yang penuh gairah, pelukan hangatnya yang membuatnya merasa aman, dan sentuhan-sentuhan yang membuatnya kehilangan kendali.
Ia menyentuh bibirnya, seolah masih bisa merasakan bekas ciuman Revan. Ada sesuatu yang berbeda dalam cara pria itu mendekatinya. Bukan sekadar nafsu, melainkan campuran dari rasa sakit dan keinginan untuk melupakan. Tapi kini, semua itu terasa semu.
Karina berbaring di atas kasur, menatap langit-langit kamarnya. Napasnya berat, seolah ada beban tak kasatmata yang menghimpit dadanya.
“Kenapa gue harus sayang sama orang kayak dia?” gumamnya pelan.
Ia tahu Revan memiliki dunia yang penuh rahasia, masa lalu yang belum selesai, dan mungkin, hati yang belum sepenuhnya utuh. Tapi Karina tak bisa menyangkal bahwa di tengah semua itu, ada sesuatu yang membuatnya tetap bertahan, perasaan yang tak pernah ia rasakan sebelumnya.
Air matanya mulai mengalir perlahan, tanpa ia sadari. Ia merasa bodoh karena terus menuruti kemauan Revan, meski ia tahu itu bisa melukainya lagi. Tapi bagaimana bisa ia menyerah, ketika hatinya sudah terlanjur jatuh?
Sore ini, Karina terus bergulat dengan pikirannya sendiri. Ia tahu bahwa jalan di depan mereka tidak akan mudah. Tapi di satu sisi, ia juga berharap, mungkin, hanya mungkin, Revan akan benar-benar membuktikan ucapannya. Sampai saat itu tiba, Karina hanya bisa menunggu, sambil mencoba menyembuhkan luka di hatinya.
Di sisi lain, Revan memarkir mobilnya di depan sebuah toko bunga.
Ia mematikan mesin mobil dan menghela napas panjang, menatap pintu toko itu dengan pandangan yang sulit ditebak. Di dalam, Mira sedang membereskan bunga-bunga di rak.
Mira keluar dari toko dengan senyum lembut di wajahnya, membawa seikat bunga mawar merah muda di tangannya. Senyum itu menyentuh Revan, tapi di baliknya, ada rasa bersalah yang tak pernah benar-benar hilang.
“Van,” sapa Mira dengan suara lembut saat ia masuk ke dalam mobil. Ia duduk di kursi penumpang sambil menaruh bunga di pangkuannya.
“Kamu nunggu lama?”
Revan menggeleng pelan. "Nggak, baru aja sampai," jawabnya, meski sebenarnya ia sudah menunggu cukup lama, tenggelam dalam pikirannya sendiri tentang Karina dan situasi rumit yang sedang ia hadapi.
Mira menatapnya sejenak, alisnya sedikit berkerut. "Kamu kelihatan capek banget mas. Tapi apa kamu udah dapet pekerjaan baru?"
Revan menghela napas, matanya tetap fokus pada jalan di depannya. "Belum," jawabnya singkat, dengan nada datar.
Mira menatapnya lebih lama kali ini, ekspresi lembutnya berubah menjadi khawatir. "Mas, aku tahu semuanya nggak gampang buat kamu sekarang. Tapi kamu nggak bisa terus begini. Aku cuma mau lihat kamu baik-baik aja, itu aja."
Revan tersenyum tipis, meski senyumnya terasa dipaksakan. "Aku tahu, Mira. Aku sedang coba, pelan-pelan."
Mira mengangguk, meskipun jelas ia ingin mengatakan lebih banyak. Namun, seperti biasa, ia memilih untuk tidak memaksa Revan. "Kalau kamu butuh bantuan, jangan ragu buat bilang ya. Aku selalu di sini."
Revan mencuri pandang ke arahnya, dan untuk sejenak, ada rasa hangat yang menghampiri hatinya. Mira selalu menjadi tempatnya kembali, tempat di mana ia merasa diterima tanpa syarat. Tapi kini, dengan semua kekacauan yang ia buat sendiri, ia merasa semakin sulit untuk memandang Mira tanpa rasa bersalah.
"Aku tahu, Mir," ujarnya, mencoba menenangkan kegelisahan wanita itu.
"Aku cuma butuh waktu, agar semuanya bisa lebih baik, terutama soal orang tuaku."
Mira mengangguk lagi, memandang keluar jendela. Tapi ada sesuatu di wajahnya yang menunjukkan bahwa ia merasa ada yang tidak beres, sebuah rahasia yang Revan sembunyikan darinya.
Sementara itu, di dalam kepala Revan, pikiran tentang Karina kembali muncul. Bayangan wajahnya, suaranya yang penuh emosi saat ia menuntut tanggung jawab, semuanya masih terasa begitu nyata. Ia tahu, semakin lama ia menunda, semakin rumit situasi ini akan menjadi. Tapi apa yang bisa ia lakukan?
Perjalanan mereka diliputi keheningan yang berat. Dua orang di dalam mobil, masing-masing tenggelam dalam pikiran mereka sendiri, dengan jarak yang terasa lebih lebar daripada yang terlihat.
Revan mengemudi dengan pikiran yang terus melayang, tenggelam dalam konflik batin yang semakin berat. Namun, sebuah bayangan kecil tiba-tiba melintas di depan mobilnya. Refleks, ia menginjak rem sekuat tenaga.
Ban mobil berdecit keras, dan tubuhnya terhempas sedikit ke depan, terhenti hanya beberapa inci dari seorang anak kecil yang berdiri di tengah jalan dengan mata membelalak ketakutan.
"Ya Tuhan!" Mira berteriak sambil memegang dashboard, wajahnya pucat.
Revan langsung keluar dari mobil, napasnya terengah-engah, dan jantungnya berdegup kencang. "Kamu nggak apa-apa?" tanyanya dengan nada panik sambil berlutut di depan anak itu.
Anak kecil itu tidak menjawab, hanya menatap Revan dengan mata berkaca-kaca, seolah terlalu takut untuk mengatakan apa pun. Ia tampak berusia sekitar tiga atau empat tahun, mengenakan baju yang sudah lusuh.
Mira keluar dari mobil, mendekat dengan cepat. "Anak ini di mana orang tuanya?" tanyanya sambil melihat ke sekeliling, tapi jalanan sepi tanpa tanda-tanda adanya orang dewasa.
"Hei, kamu tinggal di mana?" tanya Revan lagi, kali ini lebih lembut.
Anak itu hanya menggeleng pelan, air mata mulai mengalir di pipinya. Mira berjongkok, mencoba menenangkannya dengan senyuman lembut.
"Tenang, nak. Kami nggak akan nyakitin kamu. Kamu tersesat, ya?"
Anak itu akhirnya mengangguk, suaranya kecil ketika ia berkata, "Aku... nggak tahu pulangnya ke mana."
Revan dan Mira saling bertukar pandang, kebingungan. Waktu semakin gelap, dan jelas anak ini tidak bisa dibiarkan sendirian di jalan.
"Kita nggak bisa ninggalin dia di sini," kata Mira dengan suara tegas.
Revan menghela napas panjang, meskipun pikirannya sudah penuh dengan masalah lain.
"Baiklah," katanya.
"Kita bawa dia dulu ke tempat yang aman. Nanti kita cari tahu di mana keluarganya."
Mira mengangguk, lalu membantu anak itu masuk ke mobil. Sambil melanjutkan perjalanan, suasana di dalam mobil berubah. Anak kecil itu duduk diam di kursi belakang, sementara Revan dan Mira saling bertukar pandang.
"Mas, kita nggak bisa biarin dia pakai baju kayak gitu. Kita harus beli pakaian bersih buat dia."
Revan mengangguk tanpa banyak bicara. Ia mengarahkan mobil menuju sebuah toko pakaian terdekat yang masih buka. Sesampainya di sana, Mira turun lebih dulu, menggandeng tangan anak kecil itu dengan lembut.
"Tenang, Nak. Kita cuma mau beliin kamu baju baru," kata Mira sambil tersenyum, mencoba menenangkan anak yang terlihat gugup.
Revan mengikuti dari belakang, memasuki toko dengan langkah berat. Ia memperhatikan Mira yang dengan cekatan memilih beberapa setelan pakaian sederhana, kaos, celana pendek, dan sepasang sandal kecil.
"Nanti di rumah, aku mandikan dia," kata Mira pelan kepada Revan saat mereka membayar di kasir.
"Biar dia merasa lebih nyaman."
Revan mengangguk lagi, merasa tidak punya alasan untuk menolak. Meski pikirannya masih bercabang, ia menghargai tindakan Mira yang penuh perhatian.
Setelah selesai, mereka kembali ke mobil. Anak itu mulai tampak lebih tenang, mungkin karena perhatian yang diberikan Mira.
"Kamu pasti lapar, ya?" tanya Mira lembut saat mereka melanjutkan perjalanan.
Anak itu mengangguk perlahan.
Revan melirik ke arah Mira. "Kita mampir ke tempat makan juga?"
Mira tersenyum kecil. "Iya, tapi cuma beli makanan ringan aja. Biar dia bisa makan di rumah nanti setelah mandi."
Perjalanan menuju rumah Mira terasa sedikit lebih ringan, meskipun masih dipenuhi kebisuan dari Revan. Ia tidak bisa mengabaikan pikiran-pikiran tentang tanggung jawab yang semakin menumpuk.
Setibanya di rumah, Mira segera memandikan anak itu dengan hati-hati, membersihkan kotoran di tubuhnya, dan memakaikan pakaian baru yang mereka beli. Melihat anak itu tersenyum malu-malu setelah bersih dan rapi, Mira merasa lega.
Sementara itu, Revan duduk di ruang tamu, memandang kosong ke arah gelas kopi yang sudah dingin di meja.
Langkah kecil mendekatinya, dan Revan menoleh sekilas. Anak kecil itu kini bersih dan rapi, mengenakan pakaian yang baru saja dibeli. Aroma sabun masih tercium samar-samar dari tubuhnya. Dengan ragu, ia duduk di samping Revan, seperti yang diminta Mira sebelum wanita itu pergi ke dapur untuk menyiapkan makanan.
Revan melirik ke arahnya tanpa banyak bicara, namun sorot matanya lebih lembut kali ini. Anak itu menatap ke lantai, kedua tangannya saling menggenggam di pangkuannya. Suasana di antara mereka begitu hening, hanya terdengar detak jam dinding yang memenuhi ruangan.
"Kamu... tinggal di mana?" tanya Revan akhirnya, suaranya rendah dan pelan, mencoba membuka percakapan.
Anak itu menggeleng kecil, tidak berani menatap Revan. "Aku nggak tahu," jawabnya lirih, hampir seperti bisikan.
Revan terdiam. Ada sesuatu dalam suara anak itu yang membuat dadanya terasa sesak. Entah kenapa, wajah polos anak itu seakan menggambarkan kesepian yang selama ini juga ada di dalam dirinya—sesuatu yang ia coba sembunyikan di balik sikap keras dan dinginnya.
"Nggak apa-apa," ucap Revan pelan, lebih kepada dirinya sendiri daripada kepada anak itu. "Nanti kita cari tahu."
Anak kecil itu akhirnya mendongak, menatap Revan dengan mata besar yang penuh tanda tanya. Mungkin ia tak mengerti maksud ucapan pria itu, tapi setidaknya kini ia merasa tidak sendirian.
Tak lama, Mira datang dari dapur dengan sepiring makanan sederhana dan segelas susu hangat.
"Ini, makan dulu ya," katanya sambil tersenyum kepada anak itu. Ia meletakkan piring di meja kecil di depan mereka.
Anak itu menatap makanan itu dengan mata berbinar, seolah sudah lama tidak melihat makanan hangat. Tanpa banyak bicara, ia mulai makan dengan lahap. Mira duduk di seberang Revan, memandang keduanya dengan ekspresi lembut namun penuh arti.
Revan bersandar di sofa, melirik ke arah Mira yang tampak tenang di tengah situasi ini. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa ada sedikit kehangatan di dalam rumah itu, meski kehangatan yang muncul tidak terduga dan datang dari seorang anak kecil yang bahkan tidak mereka kenal.
Dalam diam, Revan mulai bertanya-tanya: apakah pertemuan ini memang kebetulan, ataukah ada alasan lain di baliknya?