Bintang panggung dan penulis misterius bertemu dalam pertemuan tak terduga.
Rory Ace Jordan, penyanyi terkenal sekaligus sosok Leader dalam sebuah grup musik, terpikat pada pesona Nayrela Louise, penulis berbakat yang identitasnya tersembunyi. Namun, cinta mereka yang tumbuh subur terancam ketika kebenaran tentang Nayrela terungkap.
Ikuti kisah mereka....
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon FT.Zira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
19. LOML 19.
"Selamat datang, Nona,"
Suara seorang pelayan wanita segera terdengar begitu Nayla memasuki sebuah restoran yang dipilih Rory sebagai tempat untuk bertemu. Pelayan itu bahkan segera menuntun Nayla menuju meja yang telah di pesan seolah pelayan itu sudah tahu siapa yang akan ditemui Nayla malam itu.
"Meja Anda ada di belakang, Nona. Mari saya antar." si pelayan berkata lagi sembari membungkukkan sedikit badannya dengan satu tangan mengarah ke dalam.
"Terima kasih," sambut Nayla.
Pelayan itu melangkah lebih dulu, memasuki sebuah ruangan yang terpisah dimana dinding dari ruangan itu terbuat dari kaca, memungkinkan mereka yang berada di dalamnya dapat menikmati pemandangan luar yang menyuguhkan aliran sungai yang berhiaskan lampu. Ruangan itu bahkan hanya memiliki satu meja yang telah dipersiapkan untuk dua orang.
Langkah kaki Nayla terhenti sejenak ketika pandanganya menangkap sosok pria yang berdiri membelakangi dirinya, menatap sungai dengan satu tangan berada dalam saku celana.
Sesaat kemudian, pria itu berbalik. Menangkap penuh wajah yang tertutup masker hitam serta topi senada seperti pertama kali mereka bertemu di cafe menurut ingatan terakhir Nayla.
'Dia memakai masker dan topi lagi, inikah alasan mengapa di sini hanya ada satu meja saja?' batin Nayla.
Pria itu memberikan anggukan tipis, gerakan yang pelayan itu tangkap sebagai kode dimana dirinya harus pergi seperti apa yang diminta pria itu sebelumnya.
Pengunjung restoran yang sengaja memesan satu meja untuk makan malam secara privasi beserta makanan terbaik dari restoran itu tanpa menerapkan kode etik berpakaian.
Selama beberapa saat, pria itu menelisik wanita yang ada dihadapannya, penampilan berbeda dari yang berapa kali ia lihat. Bukan lagi setelan formal seperti pertemuan sebelumnya, melainkan setelan kasual tanpa kacamata yang memberikan nilai tambah untuk wanita itu.
'Dia sudah terlihat cantik dengan kacamata, tapi melihatnya tanpa kacamata seperti sekarang justru membuat dia menjadi lebih cantik dari sebelumnya,'
'Tetapi, apakah dia baik-baik saja tanpa kacamata?' batin Rory.
"Maaf, sudah membuatmu menunggu lama,"
Nayla berkata seraya melangkah mendekat begitu ia menyadari pelayan yang mengantarnya telah menjauh, menyadarkan Rory dari lamunannya.
"Tidak," Rory menggeleng.
"Aku juga baru saja tiba," imbuhnya.
Pria itu melangkah maju hingga keduanya berada dalam jarak dekat dari meja.
"Terima kasih sudah datang Nay." Rory berkata lagi, lalu menarik salah satu kursi untuk wanita itu duduk.
"Terima kasih," sambut Nayla tersenyum.
Pria itu mengangguk, menarik kursi disisi lain untuk dirinya sendiri dan duduk di depan wanita itu. Satu tanganya terangkat, membuat pelayan yang sebelumnya mengantar Nayla kembali mendekat dengan buku menu di tangan, lalu menyerahkan buku itu untuk keduanya.
"Apa yang ingin kamu dapatkan untuk makan malam Nay?" tanya Rory.
Pria itu membiarkan wanita di depannya memilih menu yang dia inginkan. Meski dirinya telah memesan beberapa menu untuk mereka berdua.
Nayla mulai membaca buku menu di tangannya, menelisik tiap tulisan yang tercantum di sana, namun dalam benaknya merasa ragu dengan apa yang akan ia pesan.
"Apakah kamu keberatan jika aku yang memesan sesuatu untukmu, Nay?" tawar Rory.
Wajah Nayla terangkat cepat, lalu tersenyum canggung.
"Ya, tolong." sambut Nayla segera menutup buku menu.
Rory kembali tersenyum disertai gelengan ringan kepalanya, lalu beralih pada pelayan sembari mengangguk untuk menghidangkan makanan yang sudah ia pesan sebelumnya.
"Apakah kau baik-baik saja, Roy?"
"Apakah kau baik-baik saja, Nay?"
Mereka berdua menyuarakan satu pertanyaan yang sama, membuat keduanya saling pandang sejenak, lalu tertawa.
"Baiklah,,, Mulailah lebih dulu," ucap Rory setelah tawanya mereda.
"Aku hanya ingin memastikan apakah kamu baik-baik saja," ucap Nayla.
"Aku baik, mengapa kamu bertanya?" tanya Rory dengan alis terangkat.
"Ehmm,,, Itu_,,,,"
Kalimat Nayla menggantung di udara, menyadari tidak seharusnya dirinya mempertanyakan tentang masker yang pria itu kenakan.
"Apakah yang kamu maksudkan adalah masker ini?" tebak Rory sembari menyentuh maskernya sendiri.
Pelayan menyela pembicaraan mereka tepat setelah Rory menyelesaikan pertanyaan yang ia ajukan, menjeda jawaban wanita itu sampai si pelayan pergi setelah selesai dengan tugasnya.
Pria itu melepaskan topi beserta masker yang menutupi wajahnya, lalu tersenyum
"Apakah seperti ini menghilangkan keraguanmu?" tanya Rory.
'Sejujurnya, dia terlihat tampan tanpa masker, tapi mengapa dia harus menutupi wajahnya? Bukankah itu sangat disayangkan?' batin Nayla.
"Apakah kamu keberatan jika aku bertanya mengapa kamu memakainya?" tanya Nayla
"Apakah menurutmu aku aneh?" Rory balas bertanya.
"Tidak sama sekali." sambut Nayla menggeleng pelan.
"Hanya saja sku ingin tahu mengapa," imbuhnya.
"Tidak ada alasan khusus." Rory menaikkan bahu.
"Hanya saja aku merasa lebih nyaman dengan cara ini. Akan tetapi, andai kamu merasa tidak nyaman melihat ini, aku tidak akan memakainya selama bersamamu," jawab Rory.
"Jangan berlebihan!" sahut Nayla cepat.
"Aku tidak mempermasalahkan sedikitpun tentang itu," imbuhnya.
"Lalu, bagimana denganmu?" tanya Rory.
"Tentang?" Nayla menaikkan alisnya.
"Apakah tidak masalah kamu tidak memakai kacamata? Bahkan kamu tidak terlihat memakai soft lens atau sejenisnya," ucap Rory.
"Ahh,,, Kacamata," sambut Nayla.
"Sebenarnya mataku tidak mengharuskan aku untuk memakai kacamata, bisa dikatakan mataku baik-baik saja dan sehat. Hanya saja, karena kecerobohan yang aku lakukan menyebabkan mataku mengalami iritasi dan dianjurkan untuk memakai kacamata saat beraktivitas di depan komputer, membaca buku ataupun mengemudi selama tiga_,,, ahh,, bukan,, maksudku dua bulan kedepan,"
"Begitukah?" sambut Rory menganggukkan kepala tanda mengerti.
"Jadi, kamu tidak mengemudi sendiri untuk datang kemari?" tanyanya.
"Tidak, aku menggunakan jasa taksi," jawab Nayla.
"Ahh,,, begitu," sahut Rory tersenyum penuh arti.
Mereka berdua mulai menyantap hidangan yang berada di depan mereka, sesekali diselingi obrolan ringan yang membuat keduanya lebih mengenali lawan bicara mereka.
Beberapa saat kemudian, mereka menyelesaikan makan malam mereka. Bersantai sejenak setelah menikmati makan malam bertemankan segelas mocktail ditangan masing-masing. Satu waktu Nayla menyesap mocktail dari gelas miliknya, detik berikutnya mengarahkan pandangan pada pemandangan luar yang dapat mereka nikmati dari tempat mereka duduk.
"Apa yang sedang ingin kamu katakan, Roy?" tanya Nayla beralih pandang pada Rory yang ia sadari telah menatap dirinya tanpa bicara.
"Uhm,,,, T-Ti-tidak,,, Tidak ada," Rory menjawab gugup.
"Apakah kamu yakin?" tanya Nayla memastikan.
"Kamu menatapku selama sepuluh menit tanpa bicara, apa kamu yakin tidak ada yang ingin kamu katakan?" sambut Nayla.
"Atau ada sesuatu yang salah pada wajahku?"
"Apa? Tentu saja tidak," sanggah Rory cepat.
"Kalau begitu katakan!"
"Uhmm,,,,"
"Aku hanya ingin bertanya padamu." jawab Rory sembari mengusap tengkuknya.
"Kalau begitu tanyakan saja! Kau tahu aku tidak menggigit bukan?" sambut Nayla.
"Pft,,,"
Rory tergelak singkat, merasakan kegugupan dalam hatinya sedikit terangkat, lalu tersenyum sebelum kembali membuka suara,
"Sebenarnya banyak yang ingin aku tanyakan padamu." Rory memulai, menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan, lalu menatap lekat kedua mata Nayla yang kini tengah menatap dirinya, menunggu apa yang ingin pria itu tanyakan.
"Baiklah, lanjutkan!" sahut Nayla.
"Seperti,,, Apa yang kamu suka dan tidak suka, apa makanan favoritmu, apa yang kamu lakukan diakhir pekan, kamu lebih suka kucing atau anjing, apakah kamu suka_,,,"
Rory segera menghentikan kalimat yang tengah ia ucapkan begitu ia mengingat sesuatu yang ia lupakan, menatap wanita yang berada di depannya, lalu menundukan kepala, merasa pertanyaan yang ia ajukan terlalu spontan.
"Pft,,,,,,"
Tawa seketika Nayla pecah melihat tingkah Rory yang berada di luar dugaannya.
"Aku tidak menyangka kamu memiliki kejutan," sambut Nayla disela tawanya.
"Ah,,, maafkan aku," ucap Rory gugup.
"Tidak," Nayla menggeleng pelan.
"Jangan minta maaf. Maksudku adalah pertanyaamu cukup banyak, dan aku akan menyimpan jawabannya untuk nanti," jawab Nayla tersenyum.
"Apakah itu artinya, kita bisa bertemu lagi setelah hari ini? " tanya Rory.
"Tentu saja," sahut Nayla.
Mereka berdua akhirnya keluar dari restoran setelah Rory kembali mengenakan masker miliknya.
"Aku antar kamu pulang!" ucap Rory.
"Terima kasih, tapi kamu tidak perlu melakukan itu," jawab Nayla.
"Kamu pernah berjanji padaku bersedia ku antar di pertemuan kita selanjutnya, kamu tidak melupakan itu bukan?" tanya Rory seraya membukakan pintu mobil untuk Nayla.
"Baiklah, kamu menang. Apa kau senang?" ucap Nayla seraya masuk ke dalam mobil.
Rory tersenyum, menutup pintu mobil dengan hati-hati, lalu mengitari mobil untuk masuk ke sisi kemudi dan membuka masker beserta topinya.
"Sangat," jawab Rory tersenyum lebar.
"Baiklah, katakan di mana alamatmu dan biarkan sopir ini mengntarmu dengan selamat." ucap Rory menepuk dadanya sendiri.
"Aman dan damai?" tambah Nayla menaikan alisnya menatap Rory.
Mereka kembali tertawa bersama sebelum Rory mulai menjalankan mobilnya meninggalkan lokasi restoran. Hingga, setelah beberapa menit berlalu, mobil yang di kemudikan Rory memasuki area parkir terbuka di depan sebuah gedung delapan lantai.
...%%%%%%%%%%%%%...
'Pyarr,,,!?!'
Ruang kerja Nayla seketika berubah hening tepat setelah terdengarnya suara benda pecah dari ruangan itu di mana Nayla berada di dalamnya.
. . . . .
. . . . .
To be continued....