Arya Perkasa seorang teknisi senior berusia 50 tahun, kembali ke masa lalu oleh sebuah blackhole misterius. Namun masa lalu yang di nanti berbeda dari masa lalu yang dia ingat. keluarga nya menjadi sangat kaya dan tidak lagi miskin seperti kehidupan sebelum nya, meskipun demikian karena trauma kemiskinan di masa lalu Arya lebih bertekad untuk membuat keluarga menjadi keluarga terkaya di dunia seperti keluarga Rockefeller dan Rothschild.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chuis Al-katiri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 32: Trauma yang Tak Pernah Luntur
Bab 32: Trauma yang Tak Pernah Luntur
Senin, 5 Maret 1984
Dini hari yang hening. Bulan bersinar redup di langit Kota Sekayu, sementara angin malam berembus lembut menyelinap masuk melalui celah-celah jendela kamar Arya. Namun, keheningan malam itu tak mampu menenangkan hati dan pikirannya. Pukul tiga dini hari, Arya terbangun dengan napas memburu. Keringat mengucur deras dari seluruh tubuhnya, membasahi baju tidurnya. Jantungnya berdegup kencang, sementara kepala terasa seperti dihantam palu berulang kali.
Arya duduk di tempat tidur, mencoba mengatur napas yang tersengal-sengal. Pandangannya kabur, tetapi kenangan yang barusan ia alami dalam mimpi terasa begitu nyata. Mimpi itu bukan sekadar bunga tidur—itu adalah kenangan yang tertanam jauh di dalam pikirannya, dari kehidupan sebelumnya yang penuh luka.
Dia menutup wajah dengan kedua tangannya, menggigil bukan karena udara malam, melainkan karena rasa takut dan cemas yang kembali mencengkeram hatinya. Bayangan itu masih terpatri jelas: ruko yang porak-poranda, riana yang terkapar tak berdaya, dan tawa dingin para preman yang menjadi simbol kekejaman manusia. Arya menggelengkan kepala, mencoba mengusir bayangan-bayangan itu, tetapi sia-sia. Semuanya begitu nyata, begitu menyakitkan.
***
Arya mencoba berbaring kembali, berharap bisa memejamkan mata meski hanya sebentar. Namun, tubuhnya terasa panas dingin. Ia menyadari bahwa demam mulai menyerangnya, bukan karena penyakit, melainkan karena pikirannya yang terlalu berat menanggung beban kenangan itu. Arya tahu ia terlahir kembali untuk mengubah masa depan, tetapi mengapa trauma dari kehidupan sebelumnya masih begitu kuat menghantuinya?
Arya memandang ke langit-langit kamarnya, mencari jawaban atas kegelisahannya. Ia bertanya-tanya, apakah mimpi ini adalah peringatan? Apakah takdir berusaha memberitahunya bahwa ia harus bersiap menghadapi sesuatu yang serupa di kehidupan ini?
***
Saat fajar mulai menyingsing, langkah kaki kecil terdengar mendekati pintu kamarnya. Amanda, adiknya yang penuh kasih, muncul dengan wajah polos membawa semangkuk bubur. "Kakak, ini bubur buatan Amanda. Kakak harus makan biar cepat sembuh," katanya dengan senyum yang mencoba menyemangati Arya. Terlihat wajah Arya sangat pucat dan hawa panas keluar dari tubuh Arya.
Arya memaksakan diri untuk tersenyum agar Amanda tidak khawatir. "Terima kasih, Amanda. Kakak pasti cepat sembuh karena bubur dari Amanda."
Amanda mendekat dan meletakkan mangkuk di meja kecil di samping tempat tidur Arya. "Kakak jangan sakit lagi, ya. Kalau kakak sakit, Amanda sedih," katanya sambil memeluk Arya sebentar sebelum berlari keluar kamar.
Tak lama kemudian, Sulastri masuk dengan wajah penuh kekhawatiran. "Arya, kamu sebaiknya tidak usah sekolah dulu hari ini. Ibu akan menelpon sekolah untuk izin," katanya sambil menyentuh dahi Arya. "Kamu demam, Sayang. Apakah kamu ingin kita ke dokter?"
Arya menggeleng pelan. "Tidak usah, Bu. Cukup minum obat. Nanti siang juga sembuh."
Sulastri menghela napas, matanya penuh kasih sayang. "Baiklah, tapi kalau demammu tidak turun, kita harus pergi ke dokter, ya."
Arya hanya menganggukkan kepalanya, mengiyakan perkataan Sulastri. Arya yakin akan segera sembuh karena ini bukan demam penyakit atau virus, Arya hanya perlu menenangkan pikiran nya.
***
Setelah Sulastri meninggalkan kamar, Arya mencoba menenangkan pikirannya. Namun, ingatan tentang mimpi tadi malam kembali menyerang. Ia membayangkan kembali peristiwa di kehidupan sebelumnya: bagaimana ia menemukan ruko pacarnya yang berantakan, wajah ayah Riana yang bersimbah darah, dan suara lirih ibu Riana yang mengatakan bahwa Riana telah diculik.
Arya mengingat dengan jelas rasa panik dan putus asa yang melandanya saat itu. Ia membawa keluarga pacarnya ke tempat aman sebelum kembali mencari Riana sepanjang malam. Namun, apa yang ia temukan kemudian adalah pemandangan yang menghancurkan hatinya: Riana, yang selama ini ia cintai, tergeletak penuh luka di tempat persembunyian para preman. Mata Riana yang dulu penuh semangat kini tampak kehilangan cahaya, sementara tubuhnya penuh memar dan luka.
"Maafkan aku, Arya. Aku tidak bisa bersamamu lagi," suara lirih Riana saat itu terngiang di telinganya, membuat dada Arya sesak dan seperti di cabik-cabik. Ia mengingat bagaimana ia berusaha menyelamatkan Riana, membawa gadis itu ke rumah sakit meski tubuhnya sendiri penuh luka akibat pertarungan dengan para preman. Namun, semua usahanya sia-sia. Riana menghembuskan napas terakhir di pelukannya, meninggalkan Arya dengan rasa sakit dan putus asa yang tak tertahankan.
Padahal mereka sudah berencana untuk mengungsi ke Singapura sebelum nya, Arya menyesal kenapa tidak melakukannya lebih cepat. Sehingga peristiwa menyedihkan ini bisa terjadi.
***
Arya menarik napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. Namun, rasa bersalah dan kehilangan dari kehidupan sebelumnya masih melekat erat di hatinya. Ia bertanya-tanya, apakah semua ini adalah takdir yang tak bisa diubah? Ataukah ini adalah peringatan agar ia lebih waspada?
Hari itu, Arya memutuskan untuk tetap di tempat tidur dan memenangkan diri. Sulastri dan Brata terus memantau keadaannya, memastikan ia mendapatkan istirahat yang cukup. Namun, di dalam hatinya, Arya tahu bahwa demam ini bukan sesuatu yang bisa disembuhkan dengan obat. Ini adalah luka batin yang memerlukan waktu dan kekuatan untuk sembuh.
***
Kenangan yang Menyakitkan
Dalam keheningan kamar, Arya memutar kembali kejadian di rumah sakit saat itu. Ia teringat bagaimana ia memandang wajah Riana untuk terakhir kalinya. Senyum tipis yang terlukis di wajah Riana seolah menjadi penghiburan terakhir bagi Arya, meski rasa sakit di hatinya begitu menusuk.
"Riana, aku tidak akan membiarkan hal ini terjadi lagi," bisik Arya pada dirinya sendiri. "Aku akan melindungi mereka yang aku cintai. Aku akan memastikan bahwa tragedi ini tidak pernah terulang lagi."
Namun, Arya juga tahu bahwa janji ini tidak mudah untuk ditepati. Dunia ini penuh dengan ketidakpastian meskipun ia memiliki ingatan dari masa depan, dan ia harus menghadapi banyak tantangan untuk melindungi orang-orang yang ia sayangi.
Arya tidak pernah peduli dengan efek kupu-kupu, jadi dia akan berusaha mengubah masa depan menjadi lebih baik.
***
Ketika malam tiba, Arya merasa tubuhnya mulai membaik. Namun, pikirannya masih dipenuhi oleh bayangan mimpi buruk itu. Ia tahu bahwa ia harus menemukan cara untuk mengatasi trauma ini, agar bisa melanjutkan hidupnya tanpa dihantui oleh rasa takut.
Sebelum tidur, Arya mengambil buku catatannya dan mulai menulis. Ia mencatat semua yang ia ingat dari kehidupan sebelumnya, mencoba menemukan pola atau petunjuk yang bisa membantunya menghindari tragedi serupa di masa depan. Ia tahu bahwa ia tidak bisa mengubah masa lalu, tetapi ia bisa mempersiapkan diri untuk menghadapi masa depan.
Dengan tekad yang baru, Arya menutup buku catatannya dan berbaring di tempat tidur. Meskipun rasa sakit di hatinya masih ada, ia merasa sedikit lebih tenang. Ia tahu bahwa perjalanan ini masih panjang, tetapi ia berjanji pada dirinya sendiri bahwa ia tidak akan menyerah.
kopi mana kopi....lanjuuuuttt kaaan Thor.....hahahahhaa