Di hancurkan berkeping-keping oleh suaminya dan juga ibu mertuanya, kehidupan Laras sangat hancur. selain harus kehilangan anak keduanya, Laras di serang berbagai ujian kehidupan lainnya. Putranya harus di rawat di rumah sakit besar, suami mendua, bahkan melakukan zina di rumah peninggalan orantuanya.
Uluran tangan pria tulus dengan seribu kebaikannya, membawa Laras bangkit dan menunjukkan bahwa dirinya mampu beejaya tanpa harus mengemis pada siapapun. Akan dia balaskan semua rasa sakitnya, dan akan dia tunjukkan siapa dirinya yang sebenarnya.
Sehebat apa luka yang Laras terima? apakah dia benar-benar membalaskan rasa sakitnya?
Yuk simak terus ceritanya sampai habis ya 🤗🥰
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Reni mardiana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Baku hantam
Aiman menyeret Jefri keluar dari kediaman Laras, mereka berkelahi di halaman rumah yang langsung di lerai oleh satpam. Jefri pun sudah di buat babak belur oleh Aiman, dia segera pergi melajukan mobilnya entah kemana.
Laras menghampiri Aiman, dia melihat banyak luka di wajah pria yang berstatus duda itu.
"Mas, terimakasih udah nolongin aku." Ucap Laras menatap Aiman.
"Lain kali, kalau ada mantan suamimu datang, hubungi aku atau Bayu. Jangan sampai hal yang sudah terjadi terulang lagi, dia laki-laki yang pastinya tenaganya lebih besar darimu, cukup satu kali Langit di bawa pergi. Jangan sampai kau juga ikut terluka." Ucap Aiman.
"Iya, Mas. Mari masuk dulu, aku akan mengobati lukanya." Ucap Laras membantu Aiman berjalan, lelaki itu terlihat kesakitan memegang bahunya.
Aiman di bawa masuk oleh Laras menuju rumahnya, untuk menghindari fitnah dari tetangganya, ia menelpon pihak RT dan juga RW karena hari sudah malam Laras memberitahukan kedatangan Aiman. Bukan apa-apa, mengingat Aiman dan Laras adalah Duda dan Janda, takutnya ada tuduhan dari orang lain, jika sudah memberi laporan ia bisa lebih tenang.
Begitu duduk di kursi ruang tamu, bersamaan dengan itu pula Mbok Wati keluar dari kamar Langit. Laras memanggil Mbok Wati untuk membuat air kompresan untuk mengompres luka Aiman, sementara Laras mengambil kotak obat di kamarnya.
"Sin, Mas. Aku obati dulu lukanya." Ucap Laras sambil membuka kotak obat miliknya.
Aiman menahan tangan Laras, dia menggelengkan kepalanya pelan. Baginya, lukanya tidak terlalu parah untuk ukuran seorang laki-laki.
"Tidak perlu, ini hanya luka kecil saja, Ras." Ucap Aiman.
"Luka kecil gimana? Lihat mukanya, Mas. Gimana nanti kalau Elsa lihat kamu bentukannya kayak gini, bisa-bisa nanti dia sedih, emang kamu mau lihat Elsa sedih?" Cerocos Laras, dia tak menghiraukan ucapan Aiman. Tangannya mengambil air kompresan yang di bawakan oleh Mbok Wati, begitu tangan Laras menempelkan kompresannya, Aiman Refleks memegang tangan Laras.
"Sshhh, Pelan-pelan." Ringis Aiman.
Dug Dug Dug ..
Jantung Laras berdebar hebat, begitupun dengan Aiman . Pandangan keduanya saling bertubrukan, beberapa detik mereka terdiam sampai akhirnya Laras menarik tangannya dari wajah Aiman.
"M-maaf." Laras gugup setengah mati, ia memalingkan wajahnya menyembunyikan pipinya yang memanas. Aiman sendiri pun merasakan hal yang sama, dia salah tingkah tetapi berusaha menyembunyikannya.
Sesuai permintaan Aiman, Laras mengompres wajah Aiman dengan perlahan. Setelah selesai, ia mengambil obat merah untuk mengobati sudut bibir dan juga pipi Aiman yang sedikit robek, jarak wajah keduanya sangat dekat sampai Aiman merasakan deru nafas Laras yang menyentuh permukaan kulit wajahnya.
Dubrakkk...
"Astagfirullah!" Pekik Laras terkejut.
Bukan hanya Laras saja yang terkejut, Aiman pun sama. saking terkejutnya, Laras sampai tak sadar duduk di pangkuan Aiman dan Aiman pun mengeratkan tangannya di pinggang Laras.
Satu detik.
Dua detik.
Tiga detik.
"Aaahhhhh.." Laras memekik begitu ia sadar tengah duduk di pangkuan Aiman, sontak Aiman pun melepaskan tangannya.
Jrekkk..
"Yaiisshhh.." Ringis Aiman mengusap kakinya.
Laras tak sengaja menginjak kaki Aiman, lelaki itu pun merasakan kakinya berdenyut nyeri.
"Ah, ya ampun. Maaf, maaf, aku tak sengaja." Panik Laras yang langsung berjongkok mengusap kaki Aiman, dia juga meniup-niupnya berharap rasa sakitnya berkurang.
"Sudah, sudah, Ras. Aku tidak apa-apa, sekarang sudah mendingan kok. Lebih baik kamu sekarang berdiri, jangan berjongkok seperti itu aku tidak nyaman." Ucap Aiman meminta Laras berdiri.
Mbok Wati berjalan dengan sapu di tangannya, ia menghampiri Laras karena mendengar suara teriakan.
"Bu, Bu Laras gapapa? Tadi Mbok denger suara orang teriak." Tanya Mbok Wati khawatir.
"Engga papa kok, Mbok. Tadi suara apa sih Mbok? Kayak suara jatuh dari belakang?" Tanya Laras.
"Mwehehehe, Tadi mbok mau bikinin teh buat tuan Aiman, kaget ada kecoa di kaki Mbok jadinya air yang mau di masak tumpah, pancinya juga jatuh sekalian sama Mboknya." Mbok Wati menjawab dengan cengengesan.
Laras menghela nafasnya panjang, lengkap sudah rasa malunya di depan Aiman. Tiba-tiba terdengar suara Elsa mencari Laras, gadis kecil itu seperti ketakutan, mendengar itu pun Laras dan Aiman segera berlari menuju kamar Langit.
"Ibu! Hiks.. Tante, huuuhuu..." Elsa meringkuk dalam selimutnya, rasa takut menjalari tubuh gadis kecil itu sampai bergetar.
Kriettt ..
Derit pintu terbuka, Laras segera menghampiri Elsa yang tengah menangis, sementara Langit menepuk-nepuk bahu Elsa tanpa membuka matanya. Sebelum Laras melihat keadaan Elsa, ia meminta Aiman untuk menidurkan putranya.
"Sayang, jangan takut ya." Ucap Laras lembut.
"Tente, hiks.." Elsa merubah posisinya menjadi duduk, dia langsung memeluk tubuh Laras dengan erat.
"Nak," Panggil Aiman.
Elsa tidak menyahuti panggilan Aiman, ia tetap menangsis di pelukan Laras yang baginya bagaikan pelukan hangat ibunya. Cukup lama Elsa menangis, akhirnya ia pun terdiam.
"Elsa, kalau boleh tahu Elsa takut apa ya? Coba cerita sama tante, nanti kalau ada yang jahat sama Elsa nanti tante pukul pakai palu sampai benjol kepalanya sampai merah, duk duk duk!" Tanya Laras dengan lembut sambil memeperagakan cara ia memukul.
Elsa menyunggingkan senyumnya, sedetik kemudian ia terdiam tanpa ada jawaban dari mulutnya.
"Elsa lihat--,, ada pisau di perut B-Bunda, A-ayah emm, b-berdarah." Tampaknya gadis kecil itu mencoba mengingat peristiwa yang sudah berlalu itu, bayangannya kembali pada satu tahun lalu dimana ia menyaksikan ayah dan Ibunya bersimbah darah.
Setelah mengatakan hal itu pun Elsa kembali mengatupkan mulutnya, bukan hal yang mudah melihat orang yang di sayanginya bersimbah darah di depan kedua matanya sendiri.
"Pelan-pelan saja sayang," Ucap Laras mengelus pucuk kepala Elsa.
"Elsa, sayang. Kita pulang yuk? Besok pagi kita jemput Ayah pulang, Elsa mau kan?" Aiman berjongkok menghadap kearah Elsa.
Elsa menganggukkan kepalanya antusias. "Mau, Elsa mau ketemu ayah." Ucap Elsa.
Kedua mata gadis kecil itu berbinar, walaupun Aiman berperan menggantikan sosok ayah untuknya, Elsa tetap mengingat Ayahnya..
"Papa, ini sakit?" Elsa menunjuk luka memar di pipi Aiman, dia juga memiringkan kepalanya memeriksa luka lainnya.
Sejak sering berinteraksi dengan Langit, Elsa sudah mulai bisa diajak berinteraksi, tetapi untuk membahas masa lalu gadis kecil itu masih enggan membuka suaranya.
"Sakit, tapi hanya sedikit saja." Jawab Aiman tersenyum.
"Tante, Elsa pulang dulu ya. Elsa mau ketemu Ayah, doain Elsa ya semoga Ayah tidak marah-marah lagi." Celetuk Elsa dengan wajah polosnya.
Aiman pun terdiam, Laras melemparkan tatapannya pada Aiman, seakan paham apa maksud tatapan Laras. Aiman pun memaksakan senyumnya.
"Ayah marah-marah itu karena Ayah sedang sakit, sekarang Ayah sudah sembuh dan bisa bermain dengan Elsa seperti dulu."Ucap Aiman dengan lembut.
"Yeeaayyy!" Sorak Elsa.
"Euugghhh, Elsa tidur lagi jangan berisik ya, Kak Langit ngantuk." Tampaknya Langit terusik mendengar sorakan Elsa, ia menepuk guling yang ada di sampingnya dan menganggapnya sebagai Elsa.
Laras dan Aiman terkekeh melihatnya, sementara Elsa menutup mulutnya menggunakan kedua tangannya agar tawanya tidak terdengar oleh Langit.