Permainan Tak Terlihat adalah kisah penuh misteri, ketegangan, dan pengkhianatan, yang mengajak pembaca untuk mempertanyakan siapa yang benar-benar mengendalikan nasib kita
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Faila Shofa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
jebakan yang mematikan
Beberapa minggu setelah Nanda meninggalkan sekolah, Diana mencoba kembali ke rutinitasnya. Namun, setiap kali ia melewati tempat-tempat di sekolah yang pernah menjadi saksi kebersamaan mereka, hatinya terasa kosong. Meskipun ia tahu bahwa ia telah melakukan hal yang benar untuk menyelamatkan Nanda, rasa kehilangan itu tetap menggantung di hatinya.
Di kelas, teman-teman mereka bertanya-tanya tentang alasan kepindahan Nanda yang mendadak. Banyak gosip yang beredar, beberapa di antaranya cukup aneh dan mengada-ada. Diana hanya diam, tidak ingin membocorkan apa pun yang sebenarnya terjadi. Ia tahu, rahasia ini harus tetap terjaga.
Namun, suatu hari, rumor yang lebih mengerikan mulai tersebar di sekolah. Beberapa siswa mengatakan bahwa Nanda terlibat dengan masalah yang serius sebelum pindah. Mereka bahkan menyebut-nyebut bahwa ada organisasi berbahaya yang terkait dengan kepindahannya. Diana semakin tertekan, takut rahasia sahabatnya akan terbongkar. Ia ingin membela Nanda, tetapi rasa takut akan menarik perhatian kelompok itu lagi membuatnya memilih diam.
Di tengah rasa kesepian dan kekhawatiran itu, seorang siswa pindahan masuk ke kelasnya. Namanya Adrian. Dia tampak tenang dan pendiam, namun mata tajamnya selalu memperhatikan sekitar. Diana yang awalnya tidak peduli, mulai merasa ada yang aneh saat Adrian beberapa kali terlihat memperhatikannya.
Suatu hari saat pulang sekolah, Diana merasa ada yang mengikutinya. Perasaannya bercampur antara takut dan curiga, mengingat apa yang terjadi dengan Nanda sebelumnya. Ketika ia mempercepat langkahnya, suara seseorang terdengar dari belakang.
"Diana, tunggu."
Diana menoleh dan melihat Adrian. Wajahnya tenang, namun ada kilatan serius di matanya yang membuat Diana semakin waspada.
"Apa kamu… baik-baik saja?" tanya Adrian dengan suara yang nyaris berbisik.
Diana merasa bingung. "Maksud kamu apa?"
Adrian tampak ragu sejenak sebelum akhirnya berkata, "Aku tahu sedikit tentang masalah yang kamu alami. Tentang… sahabatmu yang pindah mendadak."
Diana terdiam, kaget bahwa seseorang yang baru ia kenal tampaknya tahu lebih dari yang seharusnya. "Kamu… bagaimana kamu bisa tahu?"
"Aku punya saudara yang pernah terlibat dengan kelompok itu," jawab Adrian, menatap Diana dengan ekspresi penuh pengertian. "Aku hanya ingin memastikan kamu baik-baik saja. Aku tahu apa yang kelompok itu bisa lakukan."
Diana merasakan campuran rasa takut dan lega. Akhirnya, ada seseorang yang bisa mengerti dan mungkin memberinya jawaban. "Jadi… kamu tahu apa yang sebenarnya terjadi dengan Nanda?"
Adrian mengangguk pelan. "Aku tahu. Dan aku ingin membantu kamu, kalau kamu butuh bantuan. Kamu mungkin tidak menyadarinya, tapi kelompok itu tidak mudah melupakan orang yang sudah pernah terlibat dengan mereka. Mereka mungkin masih mengawasi kamu, bahkan setelah Nanda pergi."
Ucapan Adrian membuat Diana merinding. Ia pikir setelah Nanda pergi, masalah itu akan selesai. Namun, jika kelompok itu memang masih mengawasinya, itu berarti bahaya belum sepenuhnya berlalu.
Beberapa hari berikutnya, Adrian mulai mendekati Diana dan mereka sering berbicara di sekolah. Adrian selalu memperingatkan Diana untuk berhati-hati dan tidak menarik perhatian orang-orang yang mungkin terkait dengan kelompok tersebut. Diana merasa bersyukur ada seseorang yang memahami situasinya, namun ia tetap merasa khawatir.
Suatu sore, saat Diana dan Adrian sedang duduk di taman sekolah yang sepi, Adrian memberikan sebuah amplop kecil padanya.
"Ini informasi tentang kelompok yang dulu terlibat dengan Nanda," kata Adrian dengan nada serius. "Aku berharap ini bisa membantu kamu memahami apa yang sedang kita hadapi. Mereka adalah organisasi rahasia yang menggunakan siswa-siswa seperti Nanda untuk pekerjaan kotor mereka."
Diana membuka amplop itu perlahan, melihat beberapa dokumen yang penuh dengan informasi tentang aktivitas organisasi tersebut. Ia membaca dengan cermat, merasa semakin ngeri dengan setiap kalimat yang tertera. Organisasi itu tidak hanya beroperasi di satu kota, tetapi sudah memiliki jaringan di berbagai tempat, dengan sistem yang sulit ditembus.
"Kenapa kamu membantuku sejauh ini?" tanya Diana, masih merasa bingung dengan perhatian Adrian.
Adrian tersenyum tipis. "Kamu mengingatkanku pada saudara perempuanku yang dulu juga pernah terlibat. Aku tidak bisa menyelamatkannya, tapi aku merasa… mungkin ini kesempatan untuk menebus kesalahanku."
Diana merasa iba mendengar cerita Adrian. Ia mengangguk dengan penuh pengertian, merasakan koneksi yang mendalam dengan Adrian. Meskipun situasi ini berbahaya, mereka berdua merasa kuat karena mereka saling mendukung.
Namun, saat mereka pulang sore itu, seseorang dari kejauhan tampak mengamati mereka. Diana tidak menyadari kehadiran sosok tersebut, tetapi Adrian melihat sekilas bayangan itu dan segera menyadari bahwa mereka mungkin dalam pengawasan.
Keesokan harinya, Diana menerima pesan ancaman lain di ponselnya. Pesan itu berisi foto dirinya bersama Adrian, dengan kalimat pendek yang mengancam: "Jangan main-main dengan kami. Kamu tidak akan suka akibatnya."
Diana merasakan jantungnya berdetak kencang. Foto itu adalah bukti bahwa mereka diawasi lebih dekat dari yang ia duga. Dengan tangan gemetar, ia menunjukkan pesan itu kepada Adrian. Adrian tampak marah, tetapi berusaha tetap tenang.
"Kita harus lebih berhati-hati," kata Adrian. "Kelompok itu lebih berbahaya dari yang aku kira. Mereka tidak akan segan-segan bertindak keras kalau merasa terancam."
Diana merasa takut, tetapi ia tidak berniat mundur. Bersama Adrian, ia bertekad untuk menemukan cara melindungi dirinya sendiri dan memastikan bahwa ia dan Nanda benar-benar bebas dari ancaman kelompok itu. Adrian mulai menyusun rencana, tetapi mereka tahu bahwa perjalanan ini akan penuh risiko dan pengorbanan.
Malam itu, Diana menulis pesan untuk Nanda, berharap sahabatnya tetap aman. Ia tahu, persahabatan mereka telah diuji dan mungkin akan terus menghadapi bahaya di masa depan. Tetapi satu hal yang pasti—Diana tidak akan menyerah, demi sahabatnya, demi Adrian, dan demi kedamaian yang telah lama hilang dari hidupnya.
Setelah pesan ancaman yang diterima Diana, ketegangan semakin meningkat. Ia dan Adrian berusaha untuk tetap tenang, meski mereka tahu bahwa situasi ini menjadi semakin berbahaya. Diana merasa hidupnya kini penuh dengan ketakutan dan keraguan, namun ia tetap kuat demi Nanda dan keselamatannya sendiri.
Pagi itu, ketika Diana tiba di sekolah, ia menemukan sebuah amplop cokelat yang terselip di loker pribadinya. Hatinya berdegup kencang saat ia membuka amplop tersebut, merasa ngeri akan apa yang mungkin ia temukan di dalamnya. Di dalam amplop itu, terdapat foto-foto dirinya bersama Nanda, Adrian, dan bahkan beberapa momen ketika mereka sedang berbicara serius di taman belakang sekolah.
Di bawah foto tersebut, terdapat tulisan tangan yang jelas: "Jika kamu tidak ingin rahasiamu terungkap, datanglah sendiri ke tempat yang kami tentukan."
Tempat yang tertulis dalam surat itu adalah gedung tua di dekat tepi kota, sebuah bangunan yang sudah lama tidak dipakai. Diana merasa ketakutan, tetapi ia tahu bahwa ia tidak bisa mengabaikan ancaman ini. Jika ia tidak pergi, ada kemungkinan mereka akan membahayakan Nanda atau Adrian. Keputusan untuk menghadapi kelompok tersebut tampaknya tak terelakkan.
Adrian memperhatikan ekspresi ketakutan Diana saat mereka berpapasan di lorong sekolah.
"Diana, ada apa? Kamu terlihat sangat pucat," tanya Adrian dengan khawatir.
Diana ragu sejenak, lalu memperlihatkan amplop itu kepada Adrian. Ia bisa melihat raut serius di wajah Adrian setelah membaca isi surat tersebut.
"Kamu nggak boleh datang ke tempat itu sendirian," kata Adrian dengan tegas. "Ini pasti jebakan. Mereka mungkin berencana membuatmu dalam posisi yang lebih sulit."
Diana menggigit bibirnya, merasa bingung. "Tapi, kalau aku nggak pergi, mereka mungkin akan mengancam Nanda lagi. Aku nggak bisa membiarkan itu terjadi."
Adrian berpikir sejenak, lalu berkata, "Baiklah. Kalau kamu benar-benar ingin pergi, aku akan ikut denganmu. Tapi kita harus punya rencana agar mereka tidak punya kesempatan untuk menyakiti kita."
Diana akhirnya setuju. Bersama Adrian, mereka mulai menyusun strategi untuk menghadapi kelompok tersebut di gedung tua yang telah ditentukan. Rencana mereka sederhana: Adrian akan masuk beberapa menit lebih awal dan bersembunyi di tempat yang tidak terduga, sementara Diana akan mengikuti instruksi dan berpura-pura datang sendirian. Dengan cara itu, Adrian bisa memantau situasi dan memastikan Diana tetap aman.
Sore hari itu, mereka berdua menuju gedung tua tersebut. Sesampainya di sana, suasana begitu sunyi dan menakutkan. Gedung tersebut tampak tak terawat, dengan jendela-jendela yang pecah dan dinding yang mulai retak. Ketika mereka berjalan mendekat, suara angin berdesir membuat suasana semakin mencekam.
Adrian melangkah masuk lebih dulu dan mencari tempat persembunyian yang cukup baik untuk mengawasi situasi. Diana menunggu beberapa menit sebelum ia melangkah masuk, mengikuti instruksi di surat tersebut. Perasaan takut memenuhi hatinya, tetapi ia mencoba menenangkan diri, mengingat bahwa Adrian berada di dekatnya.
Saat Diana berjalan memasuki ruangan yang lebih dalam, tiba-tiba suara langkah kaki terdengar dari arah belakangnya. Ia berhenti dan memutar tubuh, melihat tiga pria berdiri di hadapannya. Salah satu dari mereka adalah pria yang pernah mengancam Nanda, mengenakan jaket hitam dengan tatapan dingin yang menakutkan.
"Jadi, kamu datang juga," ujar pria itu sambil tersenyum sinis. "Berani sekali, ya."
Diana mencoba menenangkan diri dan tidak menunjukkan rasa takut. "Apa yang kalian inginkan dariku? Nanda sudah pergi. Bukankah itu cukup?"
Pria itu tertawa kecil. "Nanda memang sudah pergi, tapi sekarang kamu yang menarik perhatian kami. Teman-temanmu terlihat sangat peduli padamu, Diana. Akan sangat disayangkan jika sesuatu terjadi padamu, bukan?"
Diana mencoba menahan amarah dan ketakutannya. "Kalau kalian berani menyakiti aku atau teman-temanku, kalian akan mendapat masalah besar."
Pria itu hanya tertawa dan melangkah lebih dekat. "Oh, jadi kamu mengancam kami sekarang?"
Saat pria itu semakin dekat, tiba-tiba suara keras terdengar dari arah belakang. Adrian, yang ternyata berhasil mendekati mereka tanpa ketahuan, melemparkan batu besar ke arah salah satu pria yang berada di dekat Diana, membuat pria itu terjatuh. Adrian segera berlari mendekat dan berdiri di samping Diana.
"Jika kalian berani menyentuhnya, kalian akan berurusan denganku," kata Adrian dengan suara dingin dan tegas.
Pria berjaket hitam itu tampak marah, tetapi juga sedikit terkejut melihat keberanian Adrian. Ia menyadari bahwa situasinya mungkin tidak semudah yang ia kira. Setelah beberapa detik hening, pria itu akhirnya mengeluarkan ponsel dan berbicara cepat dengan seseorang di seberang sana.
"Saya nggak peduli apa yang perlu dilakukan. Pastikan anak-anak ini tidak meninggalkan tempat ini tanpa pelajaran," katanya dengan nada mengancam.
Diana dan Adrian semakin waspada. Mereka tahu bahwa lebih banyak orang mungkin sedang menuju ke lokasi ini. Tanpa pikir panjang, Adrian menggenggam tangan Diana dan berbisik, "Kita harus keluar dari sini sekarang."
Dengan cepat, mereka berdua berlari keluar dari gedung tua itu, mendengar langkah kaki orang-orang yang mengejar dari belakang. Di tengah kegelapan dan lorong-lorong yang menyeramkan, Diana dan Adrian berusaha mencari jalan keluar. Napas mereka terengah-engah, tetapi mereka tidak berhenti berlari.
Ketika mereka hampir mencapai pintu keluar, tiba-tiba beberapa pria muncul dari arah lain, menghadang jalan mereka. Diana dan Adrian terpaksa berhenti, napas mereka semakin berat karena kelelahan.
Pria berjaket hitam itu mendekat dan tersenyum puas. "Kalian tidak akan bisa kabur begitu saja. Kalian pikir kalian bisa lepas dari kami? Kalian salah besar."
Diana merasa ketakutan, tetapi ia tidak mau menyerah. Ia berusaha melawan meski tahu situasinya tidak menguntungkan. Namun, tiba-tiba terdengar suara sirene di kejauhan, semakin mendekat ke gedung tersebut. Suara itu membuat para pria yang mengancam mereka terlihat panik.
Tanpa menunggu lebih lama, pria-pria itu segera melarikan diri ke arah lain, meninggalkan Diana dan Adrian sendirian. Beberapa menit kemudian, polisi tiba di lokasi dan menemukan mereka. Dengan cepat, mereka dibawa ke tempat yang aman dan diberikan bantuan.
Di kantor polisi, Diana dan Adrian memberikan keterangan mengenai apa yang terjadi. Meski merasa lega bahwa mereka berhasil selamat, Diana masih merasa khawatir akan ancaman yang mungkin datang di masa depan. Namun, setidaknya untuk saat ini, ia tahu bahwa ia tidak sendiri.
Adrian menggenggam tangannya dengan lembut dan berkata, "Kita sudah melewati ini bersama. Kamu nggak perlu takut lagi, Diana. Aku akan selalu ada di sini untukmu."
Diana tersenyum samar, merasa tenang dengan kehadiran Adrian di sampingnya. Mereka tahu bahwa ini mungkin bukan akhir dari ancaman yang ada, tetapi mereka juga tahu bahwa selama mereka bersama, mereka akan menghadapi semuanya dengan keberanian.