Misteri Rumah Kosong.
Kisah seorang ibu dan putrinya yang mendapat teror makhluk halus saat pindah ke rumah nenek di desa. Sukma menyadari bahwa teror yang menimpa dia dan sang putri selama ini bukanlah kebetulan semata, ada rahasia besar yang terpendam di baliknya. Rahasia yang berhubungan dengan kejadian di masa lalu. Bagaimana usaha Sukma melindungi putrinya dari makhluk yang menyimpan dendam bertahun-tahun lamanya itu? Simak kisahnya disini.
Kisah ini adalah spin off dari kisah sebelumnya yang berjudul, "Keturunan Terakhir."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ERiyy Alma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MRK 30
“Sukma…” Suara seorang wanita memanggil, Sukma berbalik badan mengikuti arah suara. Ia melihat seorang wanita berhijab dengan dandanan menawan. Terlihat sekali jika wanita itu adalah orang kaya, pakaian dan tas mewah yang dibawanya menjelaskan semua. “Sukma, kamu Sukma kan?” tanya wanita itu lagi.
Sukma mengangguk, wanita itu lantas berjalan mendekat. Meraih tangan Sukma dengan mata berbinar, “masya Allah Sukma, aku kangen… sudah lama sekali kita tidak bertemu. Kamu apa kabar?”
“Ibu, Ibu kenal?” bisik Nadira ketika melihat ibunya hanya diam terpaku.
“Kamu tidak ingat siapa aku, Sukma? ini aku, Sarah.”
Mendengar wanita menyebutkan namanya, Sukma memukul keras pundaknya. Mereka lantas berpelukan dengan tawa berderai, sementara Nadira menggeleng heran, rupanya ibunya sudah tua hingga melupakan teman dekatnya sendiri.
“Ibu, sungguh memalukan,” bisik Nadira lagi. Sukma masih tak bisa berhenti tertawa, air mata meleleh di sudut matanya. Ia mengusapnya pelan, sambil terus mengusap-usap pundak wanita bernama Sarah itu.
“Gimana nggak lupa, Sarah yang kukenal dulu tak pandai berdandan. Wajahnya kusam dan banyak jerawat, tubuhnya pun kurus kering. Tapi yang berdiri di depanku jadi gemoy,” ucap Sukma tanpa sungkan.
“Astaga Sukma, nggak harus diceritakan juga. Itu masa-masa jahiliyyah,” jawab wanita itu malu-malu.
Mereka bertiga lantas berjalan menuju aula yang terletak di depan ndalem, saling bertukar kabar tentang kehidupan masing-masing. Dan dari Sarah juga, Sukma tahu jika kyai Sholih sedang bepergian keluar kota bersama keluarga besar, wanita itu datang dengan tujuan yang sama dengan dirinya, ingin sowan pada kyai. Tapi terpaksa harus kembali di lain kesempatan.
“Kita kurang beruntung sepertinya, oh iya ini putrimu Sukma?”
“Iya, sampai lupa aku. Kenalin ini putriku, namanya Nadira.”
Nadira tersenyum mengangguk, wanita di depannya terus menatap tanpa henti hingga gadis itu merasa malu. “Tunggu, kenapa dia cantik sekali Sukma? dia tak seperti dirimu,” seloroh Sarah enteng.
“Asem kau ya,” jawab Sukma berpura-pura kesal, meski dalam hati juga membenarkan ucapan Sarah padanya. Bagi Sukma, Nadira memang lebih mirip Bagas daripada dirinya, jika ada yang bilang Nadira cantik seperti dirinya, sudah dipastikan itu hanya basa basi atau kebohongan yang nyata.
Di saat bersamaan muncullah seorang pemuda seumuran Rendra, lelaki yang mengenakan pakaian santri itu berjalan mendekat dan mengucap salam.
“Assalamulaikum.”
“Waalaikum salam, sudah selesai kelasnya Le?” tanya Sarah.
“Sudah Bunda,” jawab pemuda itu sopan, Sukma tak berkedip menatap pemuda tampan itu. Ia menunggu dengan sabar hingga Sarah mengenalkan mereka.
“Oh iya, Sukma ini putraku. Namanya Aldi, dia santri disini, mengikuti jejak bundanya. Gimana? aku santri yang baik kan?” bisik Sarah di akhir kalimat, Sukma memasang wajah pura-pura kesal tapi segera tersenyum kala Aldi mengangguk sopan padanya.
“Maksudmu, aku bukan santri yang baik karena putriku tidak nyantri disini.”
“Astaga, kamu masih gampang baper kayak dulu rupanya, tapi… nggak apa-apa lah kalau kamu mikirnya gitu.” Sarah tertawa puas, dan sejurus kemudian Sukma pun mengimbangi tawanya.
Dua wanita itu memang benar-benar receh jika sedang bersama, sementara Nadira hanya menghela nafas panjang menyaksikan tingkah konyol sang ibu. Dan Aldi diam-diam menatap Nadira.
Waktu berlalu begitu cepat, tibalah saat perpisahan bagi mereka. Sarah dan putranya—Aldi mengantar Sukma sampai di parkiran. “Sungguh kamu nggak mau menginap di rumahku saja, dekat kok dari sini,” ucap Sarah.
“Maaf Sarah, mungkin lain waktu. Aku meninggalkan ibu mertuaku yang sedang tidak enak badan di rumah, jadi nggak bisa lama-lama.”
Sarah kembali memeluk temannya itu, ia sungguh tak menyangka kehidupan Sukma begitu berat. Suaminya meninggal, dan ia ditipu oleh seseorang yang sudah dianggapnya sebagai saudara sendiri.
“Baiklah, insya Allah lain waktu aku yang mengunjungimu, asal pastikan aja nomor ponselmu itu tetap aktif ya. Jangan ganti-ganti lagi.”
Sukma melepas pelukan, mengangguk dan tersenyum manis pada sahabatnya itu. “Insya Allah,” jawabnya. “Ya sudah, kalau begitu aku pergi dulu ya, kalau memang mau main ke rumahku telepon dulu, oke!”
Sarah mengangguk mantap, Nadira bersalaman dengan sahabat ibunya itu, lantas mengangguk sopan pada Aldi. Kemudian masuk ke dalam mobil bersama ibunya. Mesin kendaraan sudah dinyalakan, Nadira melihat Sarah dan Aldi menepi, melambaikan tangan ke arah mereka.
Sukma membalas lambaian tangan sahabatnya itu, lantas mulai melajukan kendaraan keluar dari halaman masjid. Sebelum benar-benar meninggalkan tempat, Sukma sempatkan mengucap salam, dan mobil pun melaju membelah jalanan kota yang padat.
***
3 Bulan Kemudian…
Cuaca benar-benar tak menentu, terkadang panas tapi tiba-tiba mendadak turun hujan lebat disertai petir dan guntur. Beberapa hari lalu bahkan tersiar kabar seorang kakek-kakek meninggal di sawah karena tersambar petir.
Warga desa membatasi diri untuk keluar rumah jika tidak terlalu penting. Tapi sore itu, beberapa lelaki dewasa tampak membersihkan rumput di sekitar jalan, serta memasang bendera negara. Ya, sekarang sudah masuk bulan Agustus. Seperti biasa warga berlomba-lomba merayakan kemerdekaan negara Indonesia.
Tampak diantara para lelaki itu seorang kakek-kakek yang semangatnya tak pernah luntur, di hari hujan itu ia mengabaikan beberapa saran juniornya untuk beristirahat saja di dalam rumah. Ia bertekad ikut memasang bendera di sepanjang jalan desa.
“Kek Mat, pulang saja Kek, biar kami yang muda-muda ini saja yang meneruskan,” ucap Seno. Lelaki itu bersama beberapa rekannya mencangkul rumput di depan rumah mbah Sani. Sementara kakek Mat hendak memasang bendera di depan rumah nenek Ratih.
“Urus saja tugasmu anak muda, pejuang kemerdekaan sepertiku tak takut hujan badai maupun petir halilintar. Dulu, kami melawan penjajah dengan semangat juang tinggi, cuaca seperti ini saja tiada berarti.”
Seno tersenyum mendengar ucapan kakek Mat, ia lantas melanjutkan tugasnya sendiri. Memutuskan membiarkan kakek tua itu dengan semangat menggebunya.
Kakek Mat terus menggali dengan cangkul di tangannya, ia hendak memastikan tiang bendera benar-benar tertancap dengan aman di tanah. Agar jika terkena angin kencang saat hujan tak roboh dan mencelakai pengguna jalan ataupun masyarakat setempat.
Cangkulnya terus bekerja, menimbulkan bunyi berdebum saat menghantam tanah yang keras. Namun, tiba-tiba saja mata cangkul mengenai benda tumpul di dalam sana.
Pyar…..
“Hmm, apa ini?” gumam Kakek Mat. Tangannya menggali dan tak sengaja tergores pecahan beling. Sudah menjadi hal umum jika menggali tanah dan menemukan pecahan beling seperti itu, kakek tua itu tak menghiraukan luka di tangannya. Ia memilih mengambil pecahan beling lantas membuangnya ke tempat sampah. Dan melanjutkan kegiatannya kembali.
.
Tbc