Hanya karena Fadila berasal dari panti asuhan, sang suami yang awalnya sangat mencintai istrinya lama kelamaan jadi bosan.
Rasa bosan sang suami di sebabkan dari ulah sang ibu sendiri yang tak pernah setuju dengan istri anaknya. Hingga akhirnya menjodohkan seseorang untuk anaknya yang masih beristri.
Perselingkuhan yang di tutupi suami dan ibu mertua Fadila akhirnya terungkap.
Fadila pun di ceraikan oleh suaminya karena hasutan sang ibu. Tapi Fadila cukup cerdik untuk mengatasi masalahnya.
Setelah perceraian Fadila membuktikan dirinya mampu dan menjadi sukses. Hingga kesuksesan itu membawanya bertemu dengan cinta yang baru.
Bagaimana dengan kehidupan Fadila setelah bercerai?
Mampukah Fadila mengatasi semua konflik dalam hidupnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon lijun, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19
Fadila dan yang lainnya saat ini sedang duduk untuk makan malam di apartemen mereka.
Anan makan dengan lahapnya sampai mulutnya belepotan. Bukan hanya mulut, tapi kedua pipi gembulnya juga sudah terdapat nasi dan cuilan kecil sayur yang menempel di sana.
"Enak gak masakan Buna, Nak?" Tanya Sinta pada Anan.
Anan mengangguk sembari mengunyah, bocah itu juga sesekali menggoyang-goyangkan kedua kakinya. Terkadang kepalanya di goyangkan ke kanan dan kiri sebagai bentuk kegembiraannya.
"Anan, makannya jangan begitu." Fadila memperingatkan Anan agar tak banyak tingkah saat makan.
Tapi bocah itu tak mendengarkan dan masih saja berbuat sesukanya saat hatinya senang.
"Biar saja, Fa. Capek kamu nasehati dia, gak bakalan mempan." Dwi menatap Anan yang maish saja melakukan hal yang di sukainya sembari makan.
"Iya, Fa. Yang penting dia mau makan." Sinta ikutan bicara.
"Mudah-mudahhan besar nanti dia gak begitu," ucap Fadila.
"Ya, gak lah. Itukan dia mengekspresikan kebahagiaannya karena masakanku sangat enak." Bangga Sinta pada dirinya sendiri.
"Sepertinya setiap duduk sendiri, Anan bakalan begitu deh. Siapapun yang masak? Dia bakalan begitu kalau makan, walaupun sudah sering di nasehati."
Sinta yang tadi membanggakan dirinya jadi cemberut mendengar ucapan Dwi yang benar adanya.
"Jangan jatuhin perasaan adek yang lagi melambung tinggi, Bang. Sakit tahu di giniin." Sinta memasukkan nasinya ke mulut dengan wajah sedih.
"Makanya kalau melambung jangan ketinggian, Dek. Karena gak ada yang namanya jatuh itu enak, apa lagi jatuh ke atas." Dwi menatap Sinta mengejek.
"Kalau ke atas, ya terbang namanya." Fadila menatap kedua temannya.
"Tebang? capa tebang, Mi?" Anan menanggapi ucapan maminya saat mendengar kata yang menarik baginya.
"Gak ada yang terbang. Sudah makannya?" Anan mengangguk.
Di piring bocah itu masih terdapat sisa makanan sedikit lagi yang berserakan.
Fadila berdiri dari duduknya lalu meraih tisu. Di lapnya lumut dan kedua pipi Anan dengan lembut sampai bersih.
Setelahnya tubuh bocah yang kumayan berisi itu di angkat menuju wastafel.
"Ail, ail, ail." Anan malah memainkan air yang di keluarkan dari keran.
"Cuci tangannya." Fadila memegangi kedua tangan Anan dan menggosok dengan sabun.
"Main ail, Mi. Aku mau main ail," ucap Anan saat kedua tangannya di pegangi Fadila.
"Sudah lama, Nak. Jangan main air lagi, nanti masuk angin kamu."
"Macuk anin? Tenapa aninnya bica macuk?" Tanya Anan ingin tahu.
"Karena Anan main air malam-malam."
"Mau main ail, Mi." Rengek bocah itu dengan wajah cemberutnya.
"Akhir pekan nanti kita ke water boom. Anan, bisa main air sepuasnya di sana." Dwi datang membawa piring dan mangkuk kotor.
"Mau, Ma. Aku mau main ail banak-banak," sahut Anan antusias.
Anan sudah paham jika di janjikan sesuatu oleh ke tiga ibunya. Tapi bocah itu akan menangihnya keesokan harinya, bukan akhir pekan. Karena Anan belum paham waktu yang di janjikan.
"Jangan banyak-banyak main airnya, nanti kamu tenggelam." Sinta menakut-nakiti Anan.
Anan yang sudah di gendong Fadila untuk di bawa pergi dari dapur menatap heran Sinta.
"Mi, elelam itu apa?" Polos Anan beralih menatap Fadila.
Fadila tersenyum gemas mendapati tatapan polos anaknya.
"Kamu gemesin banget sih, Nak." Di kecupnya seluruh wajah Anan hingga bocah itu tertawa geli.
Keduanya duduk di ruangan tengah yang ada televisinya.
"Tenggelam itu artinya, Anan gak bisa naik lagi ke daratan." Fadila menjelaskan secara singkat.
"Tenapa ndak bica naik, Mi?" Tanya Anan.
"Karena airnya dalam," sahut Fadila.
"Lalam itu, apa?" Fadila menghela napas mendengar pertanyaan lain dari anaknya.
Bukan tidak ingin menjawab, Anan hanya akan kembali bertanya hal lain nantinya.
"Mi!" Anan memanggil Fadila yang diam.
"Ah, dalam itu gak bisa di jangkau." Fadila menjawab sekenanya saja.
"Tenapa ndak bica dangcau?"
Hah ...
Dwi dan Sinta yang baru datang dari dapur membawa cemilan hanya bisa terkikik geli. Anan selalu menjadi penghibur bagi mereka dengan segala tingkah dan ucapannya.
"Mama sama Buna, punya ini." Dwi dan Sinta meletakkan cemilan di karpet yang menjadi alas.
"Mau, mau." Anan melupakan pertanyaannya dan mendekati cemilan di piring itu.
Fadila hanya bis ageleng kepala saja melihat tingkah anaknya.
"Sabar, Fa. Anak kamu itu cerdas dan keingin tahuaannya tinggi. Aku yakin, Anan bakalan jadi orang sukses nantinya. Dan ku rasa, mungkin Anan bakalan jadi arsitek atau pelukis handal." Dwi mengangguk-anggukkan kepalanya dengan apa yang di pikirkannya.
"Kenapa kamu bisa memikirkan hal itu?" Tanya Sinta.
"Karena Anan jago gambar, itu sudah bisa di jadikan gambaran kalau dia bakalan jadi pelukis atau arsitek." Yakin Dwi.
"Tapi itu gak bisa di jadikan patokan juga kali, Dwi." Sinta tak terima dengan pendapat Dwi.
"Lah, trus cocoknya jadi apa?" Tanya Dwi melihat kedua temannya.
"Yang penting dia bisa jadi dirinya sendiri dan gak pernah memandang rendah orang lain. Berjiwa besar dan rendah hati." Fadila tersenyum menatap Anan yang masih sibuk makan cemilan sembari menonton kartun ke sukaannya.
"Kalau itu jelas dong," ucap Dwi dan Sinta bersamaan.
Mereka duduk bersama menemani Anan menonton tv. Sembari bercengkrama bersama mengingat masa-masa kuliah mereka.
"Oh iya, Fa. Bulan depan kita harus pulang ke Indo bareng juga." Fadila menatap Sinta dengan alis bertaut.
"Kenapa?" Tanyanya.
"Kan 2 bulan lagi pernikahan ku, kalian harus temani aku persiapkan segalanya lah." Dwi yang menjawba pertanyaan Fadila.
"Trus perusahaan gimana kalau kita tinggal selama itu?" Tanya Fadila menatap kedua temannya.
"Bang Riki, sudah siapkan pengganti yang handal. Kamu tinggal terima uangnya saja nanti, tanpa harus repot-repot bekerja. Kata papa kamu hanya perlu urus Anan dengan baik." Sinta menyampaikan pesan papanya.
Fadila diam. Memang setelah ia melahirkan, perusahaan yang sekarang di kelolanya di berikan papa Vian untuknya sebagai hadiah atas kelahiran Anan.
Apa lagi memang saat itu perusahaan mulai stabil karena ketekunan Fadila bekerja saat hamil. Papa Vian tanpa ragu memberikan perusahaan itu pada anak angkatnya.
"Ayolah, Fa. Sudah cukup lama kita di sini, sudah saatnya kamu bersantai dan menikmati hasil kerja keras kamu selama ini." Dwi membujuk Fadila yang di yakinnya sedang ragu.
"Iya, Fa. Kita harus kembali dan biarkan perusahaan di kelola orang suruhan bang Riki. Nanti kita juga bisa ke sini lagi untuk memantau kalau kamu mau." Sinta ikut membujuk.
"Baiklah, memang sudah saatnya jug Anan tahu negara kelahiran maminya." Pasrah Fadila yang tak bisa menolak.
Dwi dan Sinta tersenyum bahagia karena bisa kembali ke negara asal mereka. Walau Fadila masih merasa malas untuk kembali, tapi demi sahabatnya ia akan ikut.
"Mami, bobok." Anan mendekati Fadila sembari mengucek kedua matanya yang mulai berat.
Fadila mengangkat tubuh Anan ke gendongannya untuk di bawa ke kamar.