Ini kisah Riana , gadis muda yang memiliki kekasih bernama Nathan . Dan mereka sudah menjalin hubungan cukup lama , dan ingin melangkah ke jenjang yang lebih serius yaitu pernikahan .
Namun kejadian tak terduga pun terjadi , Riana memelihat Nathan sedang bermesraan dengan teman masa kecilnya sendiri. Riana yang marah pun memutuskan untuk pergi ke salah satu klub yang ada di kotanya .Naasnya ada salah satu pengunjung yang tertarik hanya dengan melihat Riana dan memberikannya obat perangsang dalam minumannya .
Dan Riana yang tidak tahu apa-apa pun meminum minuman itu dan membuatnya hilang kendali atas tubuhnya. Dan saat laki - laki tadi yang memasukan obat akan beraksi , tiba-tiba ada seorang pria dewasa yang menolongnya. Namun sayangnya obat yang di kasi memiliki dosis yang tinggi sehingga harus membuat Riana dan laki - laki yang menolongnya itu terkena imbasnya .
Dan saat sudah sadar , betapa terkejutnya Riana saat tahu kalau laki-laki yang menidurinya adalah calon ayah mertuanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rodiah Karpiah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sebuah Awal Baru
Setelah ijab kabul selesai, suasana di halaman rumah Rania berubah menjadi semakin haru. Para tamu berdiri, memberi ucapan selamat kepada kedua mempelai, hanya satu orang yang memasang raut wajah masam. Siapa lagi jika bukan Nathan, ia masih tidak menyangka mantan kekasihnya itu sudah resmi menjadi ibu barunya.
Nathan terperanjat ketika merasakan ada yang menepuk bahunya, ia pun buru-buru menghapus air mata yang tiba-tiba sudah ada di pipinya saja. Dan Nathan pun menoleh kesampingnya , melihat siapa yang menepuk pundaknya .
"Nasi sudah menjadi bubur. Salahkan diri sendiri dulu, sebelum menyalahkan orang lain !" Ucap Rendra sambil memandang adiknya yang kini sedang difoto oleh fotografer. Nathan hanya bisa terdiam mendengar perkataan mantan calon kakak iparnya itu, ia harus mengakui kalau ia juga salah dalam hal ini.
Setelah berfoto, Rania dan Bagaskara diminta untuk melakukan acara berikutnya, yaitu sungkeman. Dengan penuh perhatian, Bagaskara memegang tangan istri barunya itu. Ia menjaga Rania agar tidak terjatuh dengan baju yang sekarang tengah dipakainya itu.
Di bawah tenda, karpet merah telah digelar di depan pelaminan. Kursi-kursi untuk orang tua diletakkan di sisi kanan dan kiri. Rania dan Bagaskara, dengan busana pengantin adat Sunda yang kini telah dikenakan — kebaya putih panjang dengan hiasan siger di kepala untuk Rania, serta pangsi lengkap dengan iket kepala untuk Bagaskara — melangkah perlahan ke tengah.
Rania menunduk, matanya sudah berkaca-kaca bahkan sebelum ia sampai di depan ayah dan ibunya. Bagaskara berdiri di sampingnya dengan tenang, menggenggam tangan istrinya sejenak untuk memberi kekuatan.
Pak Rudi dan Bu Ani duduk di kursi yang telah disiapkan, menunggu dengan mata berkaca-kaca. Mereka berdua berlutut perlahan di hadapan orang tua Rania. Tangis mulai terdengar dari keluarga yang duduk di sekeliling, mereka terharu melihat Rania sangat cantik hari ini.
Rania lebih dulu bersimpuh di hadapan ayahnya. Ia menggenggam kedua tangan Pak Rudi dengan erat. Tangisnya pecah tanpa bisa ditahan.
"Maafkan Rania, Bapak… atas semua kesalahan Rania. Terima kasih sudah membesarkan Rania, menjaga, melindungi, dan menyayangi tanpa lelah. Rania tahu… Bapak pasti marah dan kecewa… tapi Rania janji, Rania akan jadi istri yang baik, dan jadi ibu yang kuat untuk cucu Ayah nanti." Ucap Rania dengan haru, tidak lupa ia berkata cukup pelan diakhir kalimatnya. Ia masih memiliki malu, jadi ia tidak ingin semua tamu yang hadir mengetahui kondisinya saat ini.
Pak Rudi mengusap kepala putrinya dengan tangan gemetar, air matanya menetes. "Rania… Bapak tidak pernah marah… Bapak cuma takut tidak cukup kuat untuk melepaskanmu. Tapi hari ini, Bapak ikhlas. Jadilah istri yang baik, jadilah ibu yang hebat untuk anak-anakmu nanti. Bapak selalu mendoakanmu." Ucapnya yang tidak kalah haru, ia benar-benar ingin melakukan yang terbaik untuk anak perempuan satu-satunya itu.
Rania lalu beralih ke ibunya, memeluk lutut Bu Ani erat-erat, membasahi kain batiknya dengan air mata.
"Ibu… maafkan semua salahku. Terima kasih sudah menjadi ibu terbaik untuk Rania. Doakan Rania ya, Bu… supaya bisa seperti Ibu… lembut, sabar, dan kuat." Ucap Rania dengan terbata. Dan Bu Ani yang mendengar perkataan anak ya itu pun sudah tak sanggup berkata-kata. Ia hanya memeluk kepala putrinya, membiarkan air matanya jatuh deras.
Setelah itu, Bagaskara pun bersimpuh di hadapan kedua mertuanya. Dengan suara parau menahan haru, ia berkata, "Pak, Bu… mohon restu… mohon diterima saya sebagai bagian dari keluarga ini. Saya akan menjaga Rania… akan menjaga cucu Bapak dan Ibu dengan segenap hidup saya." Ucapnya dengan tulus, tidak ada keraguan sedikitpun dalam dirinya.
Pak Rudi menepuk pundaknya pelan. "Jaga anak saya, Bagas… dia anak perempuan satu-satunya. Tanggung jawabmu sekarang besar… tapi Bapak yakin kamu mampu." Ucapnya pada menantunya itu. Dan Bagaskara yang mendengar itu pun mengangguk dengan tegas.
"Saya janji, Pak. Saya janji akan membahagiakan Rania, dan saya janji akan menyayangi Rania sampai kapanpun!" Ucap Bagaskara dengan tegas, pak Rudi yang mendengarnya pun menepuk pundak Bagaskara. Ia cukup puas dengan janji yang telah dibuat menantunya itu.
Setelah sungkeman selesai, Rania dan Bagaskara berjalan ke arah pelaminan, dan acara resepsi adat Sunda pun dimulai.
Musik degung Sunda mengalun lembut dari sudut halaman, menambah nuansa hangat dan syahdu. Tamu-tamu mulai mengambil tempat duduk, sementara pembawa acara memulai dengan ucapan selamat datang.
Rangkaian prosesi adat pun berjalan perlahan. Pertama adalah Sawer Panganten. Sebuah tampah besar diisi beras kuning, uang logam, dan bunga warna-warni dibawa ke depan pelaminan.
Seorang sesepuh keluarga membaca doa, lalu memercikkan campuran air bunga ke arah pengantin. Setelahnya, beras kuning, uang logam, dan bunga ditaburkan ke arah Rania dan Bagaskara. Ini melambangkan keberkahan, rezeki, dan kebahagiaan yang melimpah. Anak-anak kecil berebut mengambil koin dan bunga yang jatuh ke tanah sambil tertawa riang.
Setelah itu dilanjutkan dengan prosesi Nincak Endog, di mana Bagaskara berjalan perlahan lalu menginjak telur ayam kampung yang telah disiapkan. Setelah telur pecah, Rania membersihkan kaki suaminya dengan air bunga dan kain putih — simbol bahwa istri akan senantiasa melayani dan menghormati suami dengan tulus.
Suasana penuh makna. Beberapa tamu tak kuasa menahan air mata haru.
Acara berlanjut dengan Huap Lingkup, prosesi suap-menyuapi. Sepiring nasi kuning dengan lauk sederhana disiapkan. Rania menyuapi Bagaskara, lalu Bagaskara menyuapi Rania kembali, melambangkan saling memberi dan saling menghidupi dalam rumah tangga.
Setelah semua prosesi adat selesai, barulah tamu-tamu dipersilakan menikmati hidangan. Meja panjang penuh dengan aneka makanan tradisional Sunda dan Jawa: nasi liwet, pepes ikan, ayam goreng serundeng, karedok, sambal terasi, dan tak lupa es cendol serta kolak pisang sebagai penutup.
Di pelaminan, Rania dan Bagaskara duduk berdampingan, menerima ucapan selamat dari kerabat dan tetangga yang bergantian bersalaman. Beberapa kerabat membisikkan doa, beberapa lainnya memeluk Rania hangat, memberikan restu tanpa banyak kata.
Matahari perlahan menurun, langit mulai berubah jingga. Namun senyum di wajah Rania tidak pudar sedikit pun. Meskipun awalnya berat, hari ini ia merasa penuh… penuh dengan cinta, penerimaan, dan harapan.
Di sampingnya, Bagaskara menggenggam tangan Rania pelan. "Kamu baik-baik saja?" bisiknya, ia takut Rania dan anaknya kelelahan karena acara ini.
Rania yang mendengar itu pun menoleh, tersenyum kecil. "Aku baik, Mas… kami baik-baik saja."
Bagaskara membalas senyum itu dengan tatapan yang dalam. Mungkin memang belum ada cinta di antara mereka… tapi rasa tanggung jawab dan ketulusan hari itu telah menanamkan benihnya.
Dan mereka tahu… di balik langkah yang tertatih hari ini, ada masa depan yang sedang menanti untuk tumbuh bersama.
.
.
Bersambung....
Dimohon untuk tidak menjadi silent reader ya , aku menunggu keritik dan saran dari kalian 🤭🤗😍