Cinta, sebuah anugerah yang tak selalu mudah didapatkan. Apalagi ketika harus memilih di antara dua hati yang begitu dekat, dua jiwa yang begitu mirip. Kisah mengharukan tentang cinta, pengorbanan, dan pencarian jati diri di tengah pusaran emosi yang membingungkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon HniHndyni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tuduhan Kanaya
Anya dan Migo panik melihat Kanaya tiba-tiba pingsan. Migo segera memeriksa nadi Kanaya, sementara Anya memanggil petugas kampus untuk meminta bantuan.
"Kanaya! Kanaya, bangun!" seru Anya, panik. Wajahnya pucat pasi. Ia mengusap keringat dingin yang membasahi dahi Kanaya.
Migo menggelengkan kepala. "Nadinya lemah, Anya. Kita harus segera membawanya ke rumah sakit."
Petugas kampus datang beberapa menit kemudian, membawa tandu. Mereka dengan hati-hati mengangkat Kanaya dan membawanya ke mobil ambulans yang sudah menunggu. Anya dan Migo ikut naik ke ambulans, mata mereka berkaca-kaca. Kecemasan dan kepanikan memenuhi hati mereka.
Di rumah sakit, dokter segera memeriksa Kanaya. Setelah beberapa pemeriksaan, dokter menjelaskan kepada Anya dan Migo bahwa Kanaya mengalami kelelahan fisik dan mental yang ekstrem, akibat tekanan yang dialaminya beberapa bulan terakhir. Ia membutuhkan istirahat total dan perawatan intensif.
"Untungnya, ia tidak mengalami kerusakan organ," kata dokter, "tetapi ia harus menjalani perawatan selama beberapa hari ke depan. Ia juga membutuhkan konseling untuk mengatasi trauma psikologis yang dialaminya."
Anya dan Migo merasa lega mendengar penjelasan dokter. Meskipun Kanaya harus dirawat di rumah sakit, setidaknya ia dalam kondisi yang stabil. Mereka bergantian menjaga Kanaya di rumah sakit, memberinya dukungan dan semangat.
Selama beberapa hari Kanaya dirawat, Anya dan Migo bergantian menemaninya. Mereka bercerita, bercanda, dan berusaha menghibur Kanaya agar ia merasa lebih tenang. Mereka juga menceritakan kembali kisah persahabatan mereka, dari awal hingga kejadian dengan Bianca, sebagai bentuk penguatan dan dukungan emosional.
Setelah beberapa hari dirawat, kondisi Kanaya membaik. Ia sudah bisa duduk dan berbicara dengan lancar. Meskipun masih terlihat lemah, senyumnya kembali merekah. Ia sangat bersyukur atas dukungan Anya dan Migo.
"Terima kasih, Anya, Migo," kata Kanaya, suaranya masih sedikit lemah, "kalian adalah sahabat terbaik yang pernah kumiliki."
Anya dan Migo tersenyum haru. "Kita selalu ada untukmu, Kanaya," kata mereka bersamaan.
Kejadian ini semakin memperkuat ikatan persahabatan mereka. Mereka belajar untuk lebih menghargai kesehatan fisik dan mental, serta pentingnya saling mendukung dalam menghadapi kesulitan hidup. Mereka berjanji untuk selalu ada satu sama lain, dalam suka maupun duka. Kisah mereka menjadi bukti nyata bahwa persahabatan yang sejati mampu melewati segala rintangan dan tantangan hidup.
Suasana ruangan berubah drastis. Kanaya, yang sebelumnya terlihat lemah dan rapuh, tiba-tiba saja menatap Migo dengan tatapan tajam dan penuh amarah. Tangannya mengepal, dan napasnya memburu.
"Migo," suara Kanaya bergetar, namun dipenuhi dengan kemarahan yang tak terduga, "Kau berbohong padaku!"
Anya terkesiap, terkejut dengan perubahan sikap Kanaya yang begitu mendadak. Ia menatap Migo dan Kanaya bergantian, bingung. Migo sendiri terlihat sama terkejutnya, matanya melebar tak percaya.
"Kanaya… apa maksudmu?" tanya Migo, suaranya sedikit gemetar.
"Jangan berpura-pura tidak tahu!" Kanaya maju selangkah, mendekati Migo. "Aku tahu kau yang menyebarkan gosip itu!"
Anya semakin bingung. Tuduhan Kanaya sangat mengejutkan. Ia selalu menganggap Migo sebagai sahabat yang setia dan dapat dipercaya. Bagaimana mungkin Migo melakukan hal seperti itu?
"Kanaya, itu tidak benar!" bantah Migo, suaranya meninggi. "Aku tidak pernah menyebarkan gosip tentangmu. Aku selalu membelamu!"
"Lalu, bagaimana bisa gosip itu menyebar begitu cepat? Siapa lagi yang tahu selain kita bertiga?" Kanaya membentak, matanya berkaca-kaca, namun bukan karena sedih, melainkan karena amarah.
Anya mencoba menenangkan situasi. "Kanaya, tenanglah. Kita perlu bicara dengan kepala dingin. Mungkin ada kesalahpahaman."
Kanaya menolak untuk tenang. Ia terus menuduh Migo, mengatakan bahwa Migo iri padanya dan ingin menghancurkan reputasinya. Ia menceritakan beberapa kejadian di masa lalu yang menurutnya menunjukkan sikap Migo yang sebenarnya. Anya mendengarkan dengan seksama, mencoba memahami sudut pandang Kanaya. Migo hanya bisa membela diri, menjelaskan bahwa semua tuduhan Kanaya tidak benar.
Suasana semakin tegang. Anya merasa terjebak di tengah pertengkaran dua sahabatnya. Ia mencoba memisahkan mereka, menyarankan agar mereka berdua menenangkan diri dan bicara lagi nanti setelah pikiran mereka lebih jernih. Namun, Kanaya menolak untuk mendengarkan. Ia terus menuduh Migo, hingga akhirnya pingsan lagi karena kelelahan.
Anya menatap Migo, matanya dipenuhi dengan keraguan dan kecemasan. Ia tidak tahu harus percaya kepada siapa. Ia harus mencari tahu kebenarannya, untuk menyelamatkan persahabatan mereka yang sudah berada di ujung tanduk. Kejadian ini membuat Anya menyadari bahwa ada sesuatu yang tersembunyi di balik persahabatan mereka, sesuatu yang selama ini mereka abaikan.Ia harus mengungkapnya sebelum semuanya terlambat.