NovelToon NovelToon
Bos Jutek Itu Suamiku

Bos Jutek Itu Suamiku

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Duda / CEO / Berbaikan
Popularitas:4.3k
Nilai: 5
Nama Author: Edelweis Namira

Ayra tak pernah menyangka bahwa hidupnya bisa seabsurd ini. Baru saja ia gagal menikah karena sang tunangan-Bima berselingkuh dengan sepupunya sendiri hingga hamil, kini ia harus menghadapi kenyataan lain yang tak kalah mengejutkan: bos barunya adalah Arsal—lelaki dari masa lalunya.

Arsal bukan hanya sekadar atasan baru di tempatnya bekerja, tetapi juga sosok yang pernah melamarnya dulu, namun ia tolak. Dulu, ia menolak dengan alasan prinsip. Sekarang, prinsip itu entah menguap ke mana ketika Arsal tiba-tiba mengumumkan di hadapan keluarganya bahwa Ayra adalah calon istrinya, tepat saat Ayra kepergok keluar dari kamar apartemen Arsal.

Ayra awalnya mengelak. Hingga ketika ia melihat Bima bermesraan dengan Sarah di depan matanya di lorong apartemen, ia malah memilih untuk masuk ke dalam permainan Arsal. Tapi benarkah ini hanya permainan? Atau ada perasaan lama yang perlahan bangkit kembali?

Lantas bagaimana jika ia harus berhadapan dengan sifat jutek dan dingin Arsal setiap hari?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Edelweis Namira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

ANTARA GENGSI DAN PEDULI

Arsal menutup buku dongeng di tangannya pelan-pelan. Ia menoleh ke samping, melihat Kalya yang sudah terlelap dengan nafas teratur. Tersenyum kecil, ia membetulkan selimut putrinya sebelum bangkit berdiri. Namun, langkahnya terhenti saat mendengar suara pintu terbuka.

Ia menoleh, mendapati Ayra baru saja masuk. Sekilas, tatapan mereka bertemu.

Arsal mengamati istrinya dari ujung kepala hingga ujung kaki. Lengan bajunya sedikit kusut dengan noda samar di sana. Roknya juga tampak kotor, dengan bercak cokelat yang jelas terlihat.

Rahangnya mengeras. Pemandangan tadi siang di kantin kembali melintas di benaknya, kekhawatiran dan cara Haikal menunjukkan rasa cemasnya pada Ayra terlihat tidak antara senior dan juniornya.

Tiba-tiba Ayra menghampirinya. Tangan gadis itu terulur di depannya. Arsal menatap itu dengan bingung hingga Ayra pun bersuara.

"Cuma mau salaman kok. Biar kelihatan sopan." Ayra tersenyum kecil.

Ini adalah kali kedua kulitnya bersentuhan langsung dengan Ayra. Saking gugupnya ia hanya diam namun membiarkan Ayra mengambil tangannya sendiri.

"Maaf, ya, aku pulangnya kemaleman. Ada banyak deadline soalnya."

"Iya," sahut Arsal datar. Matanya menatap penampilan Ayra yang terlihat berantakan. Wajahnya begitu terlihat lelah.

Alih-alih mengomentari keadaan istrinya, Arsal memilih bersandar di kusen pintu kamar Kalya dan berkata datar, "Gimana persiapan produksi bukunya? Aman?"

Ayra tampak sedikit terkejut dengan pertanyaan itu, tapi ia menjawabnya dengan lancar. "Produksi buku berjalan sesuai jadwal. Naskah dari Bima sudah final dan sedang dalam tahap cetak. Penulis pendukung acara juga sudah siap."

Arsal mengangguk, mencoba fokus pada jawaban Ayra. Namun, perhatiannya tetap tertuju pada noda di baju gadis itu.

"Kamu ikut di kepanitiaannya juga?" tanyanya lagi, berusaha terdengar biasa saja.

"Nggak. Aku cuma bantu di bagian illustrator bukunya aja."

Lagi-lagi, Ayra menjawab dengan tenang. Seakan tidak menyadari bagaimana Arsal diam-diam mengamatinya.

Ada banyak hal yang ingin Arsal tanyakan, tentang noda di bajunya, tentang luka di lengannya tadi siang. Namun, pada akhirnya, Arsal hanya diam.

Ia berdeham pelan sebelum akhirnya berkata, "Kalya tadi nungguin kamu. Dia penasaran sama ibu tirinya katanya."

Mata Ayra membulat. "Oh iya? Kamu nggak bilang kalau ibu tirinya itu aku?" tanya Ayra heran.

Pasalnya Ayra bahkan memanggilnya tadi di kantin, membuat hampir semua yang disana menatap Kalya. Anehnya, Kalya justru tidak tahu bahwa dirinya adalah ibu sambungnya itu.

"Belum. Biar dia tau sendiri," jawab Arsal datar.

Ayra mengangguk pelan. "Wajar sih. Aku kalau jadi dia juga bakalan marah."

Arsal lalu berlalu dari hadapan Ayra. Sementara Ayra pun segera masuk ke kamar.

Arsal berdiri di dapur, memanaskan makanan yang tadi ia beli untuk dirinya dan Ayra. Setelah selesai, dengan gerakan tenang, ia menata makanan di atas piring. Tangannya bekerja cekatan. Setidaknya walaupun tidak bisa memasak, ia bisa memberikan makanan yang layak untuk Ayra.

Tiba-tiba Arsal teringat sesuatu. Ia tidak tahu, apakah istrinya sudah makan atau belum. Arsal merutuki kebodohannya. Suara langkah pelan membuatnya menoleh.

Ayra keluar dari kamar, kini sudah tampak lebih segar. Rambutnya yang masih sedikit lembap terurai rapi, wajahnya terlihat lebih segar walaupun tanpa make up. Ia berjalan ke arah meja makan, matanya melirik makanan yang sedang Arsal siapkan.

"Kamu masak ini buat aku?" tanya Ayra tampak berbinar.

"Nggak. Ini saya beli untuk saya sendiri."

"Hmmmh." Ayra hanya bergumam lalu melangkah menuju kulkas. Tidak ada yang berubah dari pagi tadi. Kosong.

"Sini, Ay. Saya nggak bisa menghabiskan ini sendiri." Suara Arsal membuat Ayra menoleh.

Disana sudah tersedia beberapa jenis makanan. Namun tidak ada nasi disana. Dengan sigap Ayra segera mengambil dua piring nasi di rice cooker. Tak lama kemudian ia segera menuju meja makan.

"Ini buat kamu." Ayra meletakkan sepiring nasi di depan Arsal.

"Saya nggak-"

"Kamu perlu makan. Kamu belum makan, kan?" tanya Ayra memotong ucapan Arsal.

Arsal tidak mengatakan apa-apa. Ia menyendokkan makanan ke piring, lalu tanpa banyak bicara, ia mendorong beberapa piring lauk ke hadapan Ayra. Gadis itu menatapnya sejenak sebelum akhirnya mengambil sendok dan mulai makan.

Suasana kembali hening. Yang terdengar hanyalah suara sendok beradu dengan piring. Awalnya Arsal enggan peduli, namun matanya tidak sengaja melihat luka di lengan bawah Ayra. Ia ingin bertanya, namun sudut hatinya yang lain tidak ingin menunjukkan bahwa ia masih perhatian pada Ayra.

Arsal masih sibuk dengan pikirannya sendiri saat tiba-tiba suara Ayra memecah keheningan.

"Kalya bagaimana?"

Sendok di tangannya berhenti sejenak. Alisnya sedikit berkerut, menoleh ke arah Ayra yang masih fokus pada makanannya.

"Kenapa tiba-tiba tanya Kalya?" tanyanya heran.

Ayra mengangkat bahu. "Aku cuma penasaran. Apa dia baik-baik saja? Seharian ini dia pasti sibuk di sekolah."

Arsal sempat ingin mengabaikan pertanyaan itu, tapi entah kenapa ada sesuatu dalam nada suara Ayra yang membuatnya berpikir ulang. Seolah gadis itu menanyakan sesuatu yang lebih dari sekadar kabar biasa.

"Dia baik-baik saja," jawab Arsal akhirnya, menyesap air minumnya. "Kenapa memangnya?"

Ayra menghela napas pelan. Kali ini, ia menatap Arsal langsung. "Aku cuma khawatir… setelah kejadian tadi siang. Mungkin dia masih shock."

Dahi Arsal berkerut. "Kejadian apa?"

"Di toko roti," kata Ayra tenang. "Aku tadi melihat seorang anak hampir tertabrak mobil. Dia berlari ke jalanan mengejar mainannya. Untungnya aku sempat menariknya sebelum mobil itu lewat."

Arsal menegakkan tubuhnya. Tatapannya kini penuh selidik. "Hubungannya dengan Kalya?" tanyanya penasaran.

Ayra menaruh sendoknya. Wajahnya seperti menimbang sesuatu sebelum akhirnya menjawab, "Aku baru sadar setelah melihatnya di kantin tadi. Baju yang dia pakai mirip dengan yang Kalya pakai. Aku juga tidak sengaja mendengar seseorang memanggil Kalya. Aku pikir itu Kalya...kita," ucap Ayra terdengar pelan menyebutkan kata 'kita'.

Mendengar yang diucapkan Ayra, Arsal terdiam. Pikirannya tertuju pada saat Kalya yang memang bercerita bahwa ada seorang kakak perempuan yang menolongnya. Namun, Kalya sendiri tidak tahu siapa karena Amanda lebih dulu datang dan membawanya pergi.

Dan ternyata… orang itu adalah Ayra. Arsal merutuki dirinya dalam diam.

"Luka itu?" tanya Arsal.

"Aah ini, ini karena aku menarik Kalya terlalu kuat, jadi malah jatuh deh. Cuma Kalya sih kayaknya nggak apa-apa."

Rahangnya mengeras. Bagaimana bisa ia tidak peduli bahkan tidak berkata apapun tentang luka Ayra, padahal luka itu karena telah menyelamatkan Kalya.

Ia menatap Ayra lama. Namun, Ayra tidak menunjukkan ekspresi apa pun, seolah hal itu bukan masalah besar baginya.

Saat Ayra baru saja bangkit dari kursinya, membawa piring dan gelas kosong ke wastafel, tiba-tiba Arsal menahan pergelangan tangannya.

"Jangan." Suaranya datar, tapi cukup tegas untuk membuat Ayra terhenti.

Gadis itu menatapnya bingung. "Apa?"

"Duduk di sofa."

Ayra semakin heran. "Kenapa?"

Arsal tidak menjawab. Sebaliknya, ia mengambil piring dari tangan Ayra, meletakkannya kembali di meja makan, lalu berjalan ke arah lemari kecil di sudut ruangan.

Ayra, yang masih belum mengerti maksudnya, akhirnya memilih menuruti perintah itu. Ia berjalan ke sofa dan duduk dengan hati penuh tanda tanya.

Tak lama kemudian, Arsal kembali dengan sebuah kotak P3K di tangannya. Tanpa mengatakan apa pun, ia duduk di samping Ayra, membuka kotak itu, lalu mengambil perban dan plester baru.

"Kamu mau—"

"Diam."

Ayra spontan diam. Gadis itu lebih memperhatikan langkah Arsal selanjutnya. Arsal menarik tangan Ayra dengan hati-hati, lalu mulai membuka plester yang menempel di lengan bawah gadis itu. Saat melihat goresan merah yang sedikit mengering di kulit Ayra, napasnya terdengar lebih berat.

Tanpa bicara, ia menuangkan cairan antiseptik ke kapas, lalu dengan perlahan menekannya ke luka itu.

"Sakit?" tanyanya singkat.

Ayra menggeleng, walaupun sebenarnya perih. Tapi lebih dari itu, ia masih terpaku pada sikap Arsal yang dingin, tapi penuh perhatian ini.

Setelah membersihkan luka Ayra, Arsal membalutnya dengan perban baru, lalu menutupnya dengan plester. Semua dilakukan tanpa satu kata pun. Arsal begitu telaten mengganti plester Ayra, baik untuk luka di lutut maupun di lengan bawah.

Begitu selesai, ia mengembalikan tangan Ayra ke pangkuan gadis itu dan beranjak berdiri. "Sudah."

Ayra masih terdiam, menatap perban barunya. Lalu perlahan, ia mengangkat wajah, menatap pria itu dengan tatapan aneh.

"Arsal…" gumamnya.

Arsal hanya menatapnya sebentar sebelum berbalik, kembali memasukkan kotak P3K ke tempatnya.

Ayra menghela napas pelan. Tadi ia pikir Arsal benar-benar tidak peduli padanya. Tapi tampaknya lelaki itu hanya tidak tahu bagaimana cara menunjukkannya atau ia hanya gengsi saja.

"Istirahat sana." Tiba-tiba Arsal sudah duduk kembali di sofa.

Ayra mengangguk. Ia lalu beranjak berdiri dan hendak ke kamar, hingga suara Arsal kembali terdengar.

"Saya melakukan ini karena kamu sudah menyelamatkaj Kalya, bukan karena saya peduli sama kamu."

1
Kesatria Tangguh
🔥❤️
Siti Septianai
up nya lebih sering dong ka
Siti Sukaenah
bagus
Edelweis Namira: makasih banyak
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!