Sekuel SEKRETARIS KESAYANGAN
~
Meira pikir, setelah direktur marketing di perusahaan tempat dia bekerja digantikan oleh orang lain, hidupnya bisa aman. Meira tak lagi harus berhadapan dengan lelaki tua yang cerewet dan suka berbicara dengan nada tinggi.
Kabar baik datang, ketika bos baru ternyata masih sangat muda, dan tampan. Tapi kenyataannya, lelaki bernama Darel Arsenio itu lebih menyebalkan, ditambah pelit kata-kata. Sekalinya bicara, pasti menyakitkan. Entah punya masalah hidup apa direktur baru mereka saat ini. Hingga Meira harus melebarkan rasa sabarnya seluas mungkin ketika menghadapinya.
Semakin hari, Meira semakin kewalahan menghadapi sikap El yang cukup aneh dan arogan. Saat mengetahui ternyata El adalah pria single, terlintas ide gila di kepala gadis itu untuk mencoba menggoda bos
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RizkiTa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mau jalan sendiri, atau aku gendong?
Mendengar kata-kata Darel yang ingin membuatnya menangis, Meira jadi kepikiran. Bayang-bayang rumah tangga yang tidak harmonis pun terlintas di pikirannya. Apa mungkin Darel akan menghabiskan malam-malamnya di luar sana dengan mabuk-mabukan, dan di kelilingi oleh perempuan. Bukankah hal-hal demikian yang sering dilakukan orang-orang kaya yang gabut. Bisa dikatakan, saat ini Meira sedang terkena syndrom overthingking atau terlalu memikirkan hal-hal yang belum tentu terjadi, sehingga mengakibatkan ketakutan tersendiri untuknya.
“Nangisnya berhenti, tapi malah melamun.” Darel mencolek pipi halus Meira, hingga gadis itu tersentak.
“Aku nggak melamun, tapi ngantuk.” sangkal Meira.
Lelaki di sampingnya melirik arloji di tangan kanannya, penerbangan yang hanya memakan waktu sekitar satu jam ini, memang terasa membosankan, dan masih tersisa sekitar empat puluh lima menit lagi.
“Kita ngobrol biar kamu nggak ngantuk,” ucap lelaki itu, memberi saran.
Meira menoleh, “Boleh, ngobrol tentang apa? kerjaan? Mas Darel mau aku jelaskan tentang-“
Kalimat Meira terhenti karena Darel menertawakannya. Kaku sekali wanita ini, pikir Darel. “Please Mei…” Darel mendekatkan wajahnya pada Meira. “Sekarang kita suami istri, bukan sekedar bos dan sekretaris. Banyak hal lain yang lebih menarik untuk kita bahas, bukan hanya tentang pekerjaan. Misalnya soal, honeymoon? atau, kamu mau punya anak berapa?”
Belum apa-apa, wajah Meira sudah memerah, karena pembicaraan Darel menjurus pada hal yang tidak dia sangka-sangka.
“A-aku, itu terserah kamu aja, Mas.”
“Kita menjalaninya bersama, jadi baiknya dibahas bersama.” Darel menyentuh dagu Meira agar wajahnya menghadap ke arahnya.
“Kita banyak kerjaan, kayaknya nggak sempat honeymoon atau sejenisnya.” tegas Meira, dari nada bicaranya sepertinya dia tidak mau dibantah.
“Honeymoon nggak mesti jauh, yang penting berkualitas dan berpotensi menghasilkan, dan yang paling penting, nggak ada yang mengganggu kita—“
“Bahas yang lain aja Mas!” tukas Meira. “Kamu mikirnya kejauhan. kita baru menikah beberapa jam lalu!” Meira tertawa kecil, dan terdengar canggung. Ya, dia memang sedang mengusir kegugupannya, Namun, tingkahnya justru membuat Darel semakin gemas dan ingin terus menggodanya.
“Kamu nggak mau bahas ini, berarti kamu nggak menganggap pernikahan ini serius.” Darel yang tadinya duduk tegak, kini kembali menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi di pesawat. “Aku kecewa sama kamu,” ucapnya lagi dengan nada datar.
Meira mencengkeram ujung lengan sweater yang sedang dipakainya, dia menoleh pada Darel. Terlihat lelaki itu sedang memejamkan mata, ekspresinya benar-benar terlihat kecewa hingga Meira merasa bersalah.
“Maaf, Mas… aku cuma-“
“Udah, nggak apa-apa. Nggak perlu minta maaf. Aku tau kamu belum bisa menganggapku suami seutuhnya, dan aku juga tau kalau kamu mau menikah denganku karena terpaksa. Jadi, aku juga nggak mau memaksamu untuk—“
“Mas, aku minta maaf…” lirih Meira.
“Nggak masalah kalau kamu belum terbiasa, kita bisa jalani hubungan ini seperti biasa. Aku atasan kamu, dan kamu sekretaris aku.” tegas Darel.
Meira memegang tengkuknya sendiri, menjadi serba salah. Darel terlihat benar-benar marah. “Mas…” Meira memberanikan diri menarik kaos yang sedang di kenakan suaminya, namun seketika Darel menghindar dan membuang wajahnya ke arah lain, sambil tersenyum tipis.
“Terserah kamu, mau menjalani pernikahan ini bagaimana.” ucap Darel lagi dengan nada yang terkesan tak main-main.
Meira menyatukan kedua tangannya, salah dirinya juga yang tak pandai beradaptasi. Apa ini adalah awal dari mimpi buruk yang akan dia alami. Dia menelan salivanya kasar, kembali membayangkan hal-hal yang tak mengenakkan.
Sampai di Jakarta, mereka masih saling diam tanpa bicara. Sebenarnya, Darel tidak benar-benar marah. Lelaki itu hanya ingin menguji istrinya saja. Sejauh mana Meira peduli dengan pernikahan ini, sejauh mana wanita itu peka terhadap perannya sebagai istri. Meski Darel paham, mereka berdua takkan mudah beradaptasi dengan status baru dan keadaan baru ini, karena mereka saja baru saling mengenal lebih dari satu minggu.
\~
Menyusuri langkah di lantai sebuah rumah berukuran luas dan cukup mewah, Meira berjalan dengan hati-hati. Rumah ini, memang hampir mirip seperti yang ada di dalam mimpinya. Bedanya, saat itu dia menarik koper sendiri. Namun, saat ini ada seorang asisten yang membantunya.
“Anggap ini rumah kamu sendiri, jangan sungkan untuk ngelakuin apapun. Mbak Nur ini yang akan membantu kamu, kamu kalau perlu apa-apa bilang aja ke dia ya?” Inayah mengingatkan, sambil menyentuh pundak menantunya.
Meira mengangguk, hati-hati. Dia takut? tentu saja. Diperlakukan dengan sangat istimewa seperti ini juga, tentu saja dia senang dan harus menjaga sikap. Bahkan ada asisten pribadi yang akan membantunya? “Makasih Bunda, udah menyambut Mei dengan baik.” ucapnya pelan.
Inayah tertawa kecil, “Apa sih kamu ngomong begitu, ya pastilah Bunda memperlakukan kamu dengan baik, kamu kan bukan orang lain. Semoga betah di sini, ya?”
“Iya bunda,” Meira tersenyum ramah.
“El, istri kamu, kok di tinggal?” mata Inayah tertuju pada anaknya yang sedang menaiki anak tangga dengan santai, meninggalkan Meira seolah dia lupa kalau sekarang sudah punya istri.
“Mungkin Meira mau tidur di kamar lain, Bund.” ucapnya asal, membuat mata Meira terbelalak.
“Loh, loh… nggak bisa begitu dong Mei, kalian kan udah—“
“Bunda, Mei nggak bilang begitu kok.” Meira merasa terintimidasi walau Inayah tak memarahinya sama sekali, tapi dia tetap takut.
“Ya bunda ngerti, kalian memang baru kenal, tapi kalian bisa makin akrab kalau tidur satu ranjang, percaya deh sama bunda.” Inayah mengedipkan sebelah matanya, Meira tak mengerti maksudnya.
Meira melirik Darel sekilas, saat ini, yang ingin dia lakukan adalah memaki atau memukul Darel, karena sudah berucap asal hingga dia merasa terpojokkan.
“Tapi, kalau kamu masih merasa nggak nyaman, tidur sekamar dengan El, nggak apa-apa, di atas ada dua kamar kosong, kamu bisa pakai. Bunda ngerti kok, gimana perasaan kamu.”
Darel yang saat sudah sampai ke lantai dua, mendengar pernyataan bunda, membuatnya kesal. Bunda tidak mendukungnya dan malah mengizinkan Meira memakai kamar lain? ini tak bisa dibiarkan.
Meira ingin bersorak dan bergembira ria saat ini, “Beneran nggak apa-apa, bunda?”
“Nggak bisa begitu!” Darel kembali menuruni anak tangga, menghampiri bunda dan istrinya. Menarik tangan Meira agar ikut dengannya. Tapi, kedua kaki Meira seolah menyatu dengan lantai karena tak ada pergerakan sama sekali.
“Mau jalan sendiri, atau aku gendong, hah?” tak peduli dengan keberadaan bunda dan art yang ada di sana, Darel bertanya sekaligus mengancam istrinya dengan tatapan mematikan.
😆