FOLLOW IG AUTHOR 👉@author Three ono
Yang gak kuat skip aja!! Bukan novel tentang poligami ya, tenang saja.
Pernikahan sejatinya terjadi antara dua insan yang saling mencinta. Lalu bagaimana jika pernikahan karena dijodohkan, apa mereka juga saling mencintai. Bertemu saja belum pernah apalagi saling mencintai.
Bagaimana nasib pernikahan karena sebuah perjodohan berakhir?
Mahira yang biasa disapa Rara, terpaksa menerima perjodohan yang direncanakan almarhum kakeknya bersama temannya semasa muda.
Menerima takdir yang sang pencipta berikan untuknya adalah pilihan yang ia ambil. Meski menikah dengan lelaki yang tidak ia kenal bahkan belum pernah bertemu sebelumnya.
Namun, Rara ikhlas dengan garis hidup yang sudah ditentukan untuknya. Berharap pernikahan itu membawanya dalam kebahagiaan tidak kalah seperti pernikahan yang didasari saling mencintai.
Bagaimana dengan Revano, apa dia juga menerima perjodohan itu dan menjadi suami yang baik untuk Rara atau justru sebaliknya.
Tidak sa
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Three Ono, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
19. Rencana Licik Lagi
°°°
Pandangan Rara tertuju pada wanita yang sudah berdandan sangat cantik dan berdiri di parkiran.
"Kak, sepertinya sudah ada yang menunggu kedatangan mu."
Rara menyindir suaminya, kemudian ia segera melepaskan seat belt dan turun dari mobil. Dia tidak ingin melihat adegan mesra sepasang kekasih itu lagi, yang pastinya akan melukai perasaannya.
Sementara Revan mendengus kesal melihat Febby yang sudah berjalan ke arah mobilnya.
Sebelumnya Febby berpasangan dengan Rara yang baru saja berjalan meninggalkan mobil, dia menatap sinis pada wanita yang sudah ia anggap musuh itu, sedangkan Rara menyapanya dengan senyuman. Hal itu justru membuat Febby semakin meradang karena merasa gadis itu sedang menebar pesonanya.
"Pagi kak," sapa Rara dengan sopan.
Febby hanya tersenyum tipis menanggapi sapaan itu, kemudian dia berjalan ke arah kekasihnya.
"Rara." Sebuah teriakan dengan suara sedikit melengking menggema.
Walaupun baru sehari Rara mengenal gadis itu, tapi ia sudah bisa mengenali siapa pemilik suara yang memanggil namanya. Gadis itu adalah Lia, si gadis cerewet dan menyenangkan.
"Hai Lia. Kau semangat sekali hari ini," ujar Rara.
"Tentu Ra, kita itu harus selalu menebar energi positif agar hidup kita selalu bahagia."
Rara geleng-geleng kepala melihatnya.
"Oh iya Ra, ada yang mau aku katakan padamu," Ujar Lia dengan wajah yang berubah serius.
"Ada apa?" Rara pun menatapnya serius.
"Jangan disini." Lia melihat sekelilingnya, banyak mahasiswa berlalu lalang di koridor kampus. "Ayo ikut aku," katanya kemudian mengajak Rara pergi ke tempat yang lebih sepi.
Rara mengikuti langkah temannya yang menuntunnya ke taman yang terlihat sepi.
"Ada apa Lia?" tanya Rara yang penasaran.
"Tapi kamu jangan marah ya karena yang mau aku bicarakan itu tentang sepupu kamu."
Mereka duduk di bawah pohon yang ditanam di taman kampus, cukup rindang hingga melindungi mereka dari terik matahari pagi.
"Kak Revan maksudnya?" tebak Rara.
"Iya."
"Ada apa dengan kak Revan," tanya Rara.
"Begini, kamu tau kan kalau kak Revan itu berpacaran dengan Febby."
"Iya, lalu."
"Sebenarnya, aku sudah mengenal Febby sejak dari SMA. Dia kakak kelas ku di SMA dan aku tau seperti apa dia dulu dan sekarang..."
Lia mulai menceritakan apa saja yang ia dengar saat berada di toilet. Tidak ada yang ia tambah dan tidak ia kurangi, meski Lia cerewet dan banyak bicara tapi tidak membuatnya suka mengada-ada.
"Jadi seperti itu Ra, aku hanya cerita soal ini ke kamu karena kamu adalah sepupu kak Revan. Mungkin kamu bisa melindungi sepupumu dari wanita licik seperti Febby itu." Lia serius dengan ucapannya.
"Iya, aku mengerti maksud kamu. Terimakasih karena sudah mengingatkanku, aku akan memperingatkan kak Revan pelan-pelan."
Rara memang sudah pernah diberi tau oleh kakek Tio tentang Febby dan cerita Lia barusan semakin memperkuat dugaan kakek.
,,,
Febby yang sudah menunggu kekasihnya sejak tadi sangat senang melihat Revan datang, meski kemarin ia kesal karena diturunkan di jalan tapi hari ini ia harus bisa membuat lelaki itu merasa bersalah padanya.
"Sayang... " Febby berjalan dengan tertatih kearah Revan.
"Kenapa dengan kakimu?" tanya Revan.
"Tidak kenapa-kenapa, hanya sedikit lecet karena kemarin aku tidak dapat taksi di tempat itu jadi aku jalan agak jauh." Pura-pura memasang wajah memelas.
"Maaf, apa sakit. Biar aku lihat."
Revan menuntun Febby duduk di kursi yang ada di pinggiran, lalu melepaskan sepatunya dan memeriksa lukanya.
"Tidak usah Van, ini tidak sakit kok. Nanti juga sembuh dengan sendirinya."
"Diamlah, tunggu disini." Revan pergi mengambil kotak obat yang ada di mobilnya.
Febby tertawa dalam hati, rencananya membuat Revan kembali bersimpati padanya ternyata berhasil.
Revan kembali dengan kotak obat ditangannya, mengobati luka di kaki Febby bagian belakang dengan hati-hati. Pikirnya ini adalah kesalahannya jadi dia harus bertanggung jawab.
"Selesai," ujar Revan setelah menempelkan plester di kaki Febby yang sakit.
"Terimakasih Van, padahal kau tidak perlu begini. Itu salahku sendiri yang terbawa emosi kemarin, aku minta maaf." Febby menunduk dengan wajah sedihnya.
"Tidak apa-apa, harusnya sebagai laki-laki aku tidak melakukan hal itu padamu. Ayo masuk ke kelas, biar aku mengantarkan mu."
Tentu saja Febby dengan senang hati menyambut tangan Revan. Yang ia rencanakan kemarin benar-benar berhasil merubah sikap kekasihnya dan ia akan melakukan segala cara agar Revan tidak lepas darinya, termasuk melukai dirinya sendiri seperti itu.
Luka itu bukan ia dapat karena berjalan kaki, sudah sangat jelas kemarin ada orang yang datang menjemputnya. Itu ia dapat dengan sengaja saat teman ranjangnya memberikan ide katanya pria itu paling tidak bisa melihat wanita terluka dan ternyata benar, Revano langsung memberikan perhatiannya pada Febby karena merasa jika luka yang wanita itu dapat akibat perbuatannya.
Febby terus mengembangkan senyumnya sepanjang jalan menuju kelasnya karena tangan Revan terus menggenggamnya dan mengantarkannya sampai ke dalam kelas. Sontak pemandangan tidak biasa itu menjadi perbincangan hangat di antara para mahasiswa disana karena setau mereka Febby lah yang selalu mengejar Revano.
"Terimakasih." Febby bangga dan percaya diri sekali saat ini.
"Iya, aku akan kembali ke kelasku. Kau belajarlah dengan baik." Revan mengusap lembut kepala Febby.
Revan pergi ke kelasnya setelah mengantarkan Febby, ia tidak bermaksud apa-apa hanya sebatas menebus kesalahannya saja. Tetapi sayangnya berita itu menyebar dengan begitu cepat dari mulut ke mulut hingga sampai di telinga Rara sang istri.
"Ra kamu tau barusan kak Revan mengantarkan si Febby itu sampai di kelasnya, katanya gadis itu terluka padahal sebelum kakak sepupumu datang dia terlihat baik-baik saja." Lia terlihat sangat tidak menyukai Febby.
"Kamu tau dari mana, bisa saja dia benar-benar terluka," ujar Rara.
"Ihhh tentu saja banyak orang yang melihatnya tadi pagi. Dia itu hanya mencari perhatian kak Revan saja," bisik Lia.
"Husss... sudah jangan membicarakan orang lain lagi, tidak baik jika ada yang mendengar."
Walaupun Rara harus menelan pil pahit karena berita yang ia dengar, tapi ia berusaha untuk tetap tenang dan mencari tau kebenarannya dulu nanti sebelum berburuk sangka pada suaminya.
"Akhirnya selesai juga kelas dari dosen galak itu." Lia menyandarkan tubuhnya, tadi saat kelas berlangsung dia sama sekali tidak berkutik. Beban mendapatkan beasiswa yang ia terima membuat ia harus belajar dengan baik agar nilainya tidak menurun atau dia bisa kehilangan kerja kerasnya selama ini.
"Apa kau lapar, ayo kita ke kantin," ajak Rara.
"Tidak aku mau ke perpus saja," tolak Lia.
"Kalau begitu aku juga ikut kamu ke perpus, ayo."
"Eh tunggu, jika kau lapar kau pergi ke kantin saja Ra,' cegah Lia.
"Aku tidak mau pergi ke kantin sendirian, lebih baik aku ikut kamu ke perpustakaan."
"Maafkan aku Ra." Lia sepertinya sedikit merasa bersalah.
"Kenapa minta maaf segala, ada apa."
"Sebenarnya aku sedang berhemat karena uang gajiku dari bekerja freelance sebagai pengantar makanan sangat kecil, aku harus bisa mengatur pengeluaran ku agar cukup untuk membayar tempat kos dan biaya sehari-hari."
Hidup sebatang kara membuat Lia harus bekerja keras untuk menyambung hidup nya setiap hari.
Ditinggal oleh kedua orangtuanya lalu hidup dengan adik dari ayahnya yaitu om nya sedari kecil membuatnya tumbuh menjadi gadis yang mandiri. Apalagi om nya sama sekali tidak mau membiayai sekolahnya, padahal menurut Lia peninggalan kedua orangtuanya itu cukup banyak tapi om dan tantenya selalu berkata, jika harta peninggalan ayahnya sudah habis untuk membayar hutang yang ditinggalkan oleh sang ayah.
Mau bagaimana lagi, Lia tidak bisa berbuat banyak selain berusaha keras agar tetap bisa sekolah tinggi sesuai keinginan ke dua orang tuanya sewaktu masih hidup.
to be continue...
°°°
...Like, komen , bintang lima jangan lupa....
...Salam goyang jempol guys....
...Sehat selalu pembacaku tersayang....