"Kamu harus menikah dengan Seno!"
Alea tetap diam dengan wajah datarnya, ia tidak merespon ucapan pria paruh baya di depannya.
"Kenapa kamu hanya diam Alea Adeeva?"
hardiknya keras.
Alea mendongak. "Lalu aku harus apa selain diam, apa aku punya hak untuk menolak?"
***
Terlahir akibat kesalahan, membuat Alea Adeeva tersisihkan di tengah-tengah keluarga ayah kandungnya, keberadaannya seperti makhluk tak kasat mata dan hanya tampak ketika ia dibutuhkan!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Favreaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 34
"Perjanjian pernikahan...."
"Ada apa dengan perjanjian pernikahan?"
"Aku ingin kita mendiskusikannya sekarang!"
Seno mengalihkan perhatiannya kembali dari wajah Alea ke tab di tangannya, berbicara tanpa melihat Alea yang sedang berdiri di hadapannya.
"Aku belum membuatnya, lagipula tanpa perjanjian tertulis aku yakin kamu bukan orang yang ingkar dan aku... Aku orang yang menepati janji, tidak akan jadi masalah walaupun kita hanya membuat kesepakatan secara lisan!"
Alea bergeming tidak mengatakan apa-apa tapi terus menatap Seno intens.
Seno yang merasakan, mengangkat wajahnya. "Ada apa?"
"Kita tidak saling mencintai!"
"Aku tahu, lalu apa masalahnya? Jangan pernah memikirkan perceraian, karena keluarga Ravindra mengharamkan sebuah perceraian!" Seno berkata dengan tegas.
"Aku tidak mencintaimu dan kamu tidak mencintaiku, bohong kalau aku tidak pernah memikirkan perceraian bahkan aku sudah memikirkannya sebelum pernikahan dilaksanakan!"
Ungkapan Alea berhasil menyulut emosi Seno, ekspresi wajahnya mengeras lalu ia menyentak kasar pergelangan tangan Alea dan sedikit meremasnya, ia membalik punggung tangan Alea ke hadapan gadis itu, memperlihatkan jari manisnya yang terdapat cincin emas bertahta berlian melingkar indah di sana.
"Kamu lihat ini? Cincin ini sebagai bukti hidupmu sekarang terikat denganku, jangan berpikir ini hanya sementara karena ini berlaku selamanya. Aku tidak peduli kamu mencintaiku atau malah mencintai orang lain, aku tidak akan pernah menceraikanmu!" Seno berucap dengan tegas yang membuat Alea tertegun.
Tidak ingin emosinya semakin meledak dan berakhir menakuti Alea, Seno memilih pergi keluar kamar setelah lebih dulu melepaskan cekalan tangannya di pergelangan Alea.
"Hei! Hei! Hei! Pengantin baru, ada apa dengan wajahmu?" Mendengar teguran Paman Emir ketika keduanya berpapasan di depan lift, Seno semakin menekuk wajahnya masam.
"Biar ku tebak, pasti istrimu menolak saat kamu meminta hakmu!" ledek Paman Emir dengan wajah menyebalkan miliknya.
"Ck!" Seno berdecak malas, yang disambut kekehan oleh Paman Emir.
Malas mendengar ledekan lebih jauh, Seno lebih memilih mengabaikan dan menekan remot otomatis yang membuat kursi rodanya berjalan sendiri. Ia menuju ruang kerjanya di lantai satu.
Tiba di lantai satu, Seno langsung menuju ruang kerjanya. Ia memeriksa CCTV sewaktu kejadian di meja makan, di sana ia bisa melihat dengan jelas Alea tidak melakukan apa yang dituduhkan Nina.
Seno meraih gagang telepon dan menghubungi Bi Harum, kepala pelayan di kediaman Ravindra.
"Tolong ke ruang kerjaku sekarang, Bi!"
Ia lalu menutup sambungan telepon ketika Bi Harum mengiyakan. Menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi dan memejamkan matanya, benaknya memikirkan kejadian di kamar, ia akan meminta maaf karena berbicara sedikit keras pada Alea.
Suara pintu yang diketuk membuat Seno membuka matanya dan bersuara meminta orang tersebut masuk.
"Saya, Tuan. Ada yang Tuan perlukan?" Bi Harum bertanya dengan sopan.
"Berikan gaji full dan pesangon untuk wanita yang bermasalah dengan istriku tadi siang. Mulai besok aku tidak ingin melihatnya masih berkeliaran di rumah ini."
Bi Harum melebarkan matanya. "Tuan, Anda memecat Nina?"
"Apa kurang jelas?" Seno mendongak menatap Bi Harum tajam.
Bi Harum sedikit gugup tapi ia berusaha tenang. "Bukan seperti itu, Tuan. Saya hanya menyayangkan Anda memecat Sari hanya dengan satu kesalahan, dia sudah lebih dari dua tahun bekerja di sini dan selama ini dia tidak pernah membuat masalah!"
"Kamu jangan mengguruiku, Bi Harum. Apa jabatanmu yang sekarang membuatmu lupa diri sehingga kamu berani sekali mempertanyakan keputusanku?" Seno menaikkan sebelah alisnya dan menatap tajam Bi Harum yang berdiri dengan kepala tertunduk di hadapannya.
Nada bicara Seno terdengar tidak ramah dan Bi Harum paham pria itu sedang tidak ingin didebat.
"Tidak, Tuan. Maaf! Saya akan melakukannya dan jika tidak ada hal lain yang Anda perlukan saya permisi!"
"Pergilah dan ingat, mulai besok pagi wanita itu sudah harus keluar dari rumah ini!"
"Baik!" Bi Harum membungkuk sopan lalu keluar dari ruang kerja Seno.
***
Alea menghela nafas panjang melihat kepergian Seno, gadis itu terus berpikir apa yang salah dengan ucapannya. Toh kenyataannya memang benar, mereka tidak saling mencintai dan kenapa pria itu harus marah. Tentang perceraian, bukankah apa yang ia pikirkan wajar, pernikahan mereka memang bukan di dasari cinta tapi Alea sendiri bingung menyebutnya apa. Semacam barter tapi entahlah Alea sendiri tak mengerti, tapi mendapat respon seperti itu dari Seno, Alea merasa bersalah.
"Biarlah, aku akan menunggunya untuk meminta maaf."
Sembari menunggu Seno kembali, Alea menyalakan televisi untuk mengusir kebosanan. Hingga pukul lima sore belum ada tanda-tanda pria itu akan kembali, Alea memilih membersihkan diri dan saat memasuki kamar mandi, ia melihat perlengkapan mandi wanita sangat lengkap di sana.
Diam-diam Alea mengulum senyum, hatinya menghangat. Selesai ijab qobul dilaksanakan, Alea sudah merasakan getaran yang tak biasa dihatinya ditambah perhatian-perhatian kecil dari Seno, Alea sangat tersentuh.
Ia semakin bertekad akan bersikap baik dan memperlakukan Seno layaknya istri pada suaminya. Apalagi pria itu dengan tegas mengatakan tidak akan menceraikannya, tapi Alea juga bertekad tidak akan menyerahkan seluruh hatinya dan membiarkan perasannya berkembang bebas pada Seno, karena siapa yang tahu ujian apa yang menimpa rumah tangganya di masa depan.
Alea mandi dengan cepat, mengenakan dress rumahan yang santai lalu mengeringkan rambutnya yang basah.
Duduk di meja rias, berkaca pada cermin yang memantulkan gambarnya, tangannya terulur meraih beberapa produk kecantikan dan memoleskan tipis ke wajahnya.
Lagi-lagi Alea melihat pantulan wajahnya di cermin. "Aku tidak tahu harus mengatakan perjodohan ini sebagai apa, kesialan atau malah keberuntungan. Apakah aku harus berterima kasih pada keluarga Wicaksana karena mencarikan jodoh yang baik untukku?"
Ia terkekeh miris. "Jika mereka tahu aku akan mendapatkan segala kebaikan seperti ini, aku yakin mereka akan menyodorkan Bianca untuk menjadi menantu keluarga Ravindra."
Alea masih sibuk dengan isi pikirannya sendiri hingga suara pintu yang dibuka dari luar mengalihkan perhatiannya.
Seno masuk seraya mendorong kursi rodanya. Tatapannya bertemu dengan netra hitam milik Alea dan Seno yang lebih dulu memutus pandangan dengan mengarahkan kursi rodanya ke kamar mandi.
Alea menghela nafas, berniat mengalah dan dirinya yang akan menyapa Seno lebih dulu. Ia menyusul Seno ke kamar mandi dan pria itu tersentak saat menyadari Alea yang tiba-tiba berdiri di belakangnya.
"Aku akan membantumu!" Alea berjongkok di depan Seno lalu meraih kancing celana pria itu, ia hendak membantu Seno itu melepaskannya. Tapi, Seno segera menahan tangan Alea.
"Aku bisa melakukannya sendiri!"
"Aku tidak membutuhkan pendapatmu!" Alea tetap membantu Seno melepaskan celananya dan pria itu hanya bisa pasrah, memperhatikan apa yang sedang Alea lakukan dalam diam.
Dia pria normal, posisi mereka sangat intim dan bohong jika mengatakan ia tidak tertarik untuk meniduri istrinya. Namun, lagi-lagi ia hanya bisa mengumpat dalam hati karena kondisi kakinya.
'Aahh, sial. Aku tidak akan membiarkan Paman Emir pergi ke London sebelum kakiku bisa berjalan!' batinnya seraya memandang intens Alea, pandangannya lurus tepat pada bibir manis berwarna pink segar milik Alea yang sedang terkatup.