Elina Widiastuti, dengan rambut sehitam malam yang terurai lembut membingkai wajahnya yang cantik jelita, bukanlah putri seorang bangsawan. Ia hidup sederhana di sebuah rumah kecil yang catnya mulai terkelupas, bersama adik perempuannya, Sophia, yang masih belia, dan kedua orang tuanya. Kehidupan mereka, yang tadinya dipenuhi tawa riang, kini diselimuti bayang-bayang ketakutan. Ketakutan yang berasal dari sosok lelaki yang menyebut dirinya ayah, namun perilakunya jauh dari kata seorang ayah.
Elina pun terjebak di pernikahan tanpa dilandasi rasa cinta, ia pun mendapatkan perlakuan kasar dari orang orang terdekatnya.
bagaimana kelanjutannya?
silahkan membaca dan semoga suka dengan ceritanya.
mohon dukung aku dan beri suportnya karena ini novel pertama aku.
jangan lupa like, komen dan favorit yah 😊
kunjungan kalian sangat berarti buat aku. see you
selamat membaca
see you 😍
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nona Rmaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22
Saat hendak akan menuju ke dapur, tatapan mata Elina tak sengaja bertemu dengan lelaki yang ingin dihindarinya beberapa hari ini. Elina malu dengan kejadian kemarin, ia harus memberi jawaban apa?. dia terlalu baik padanya.
Melihat Elina yang terlalu menghindarinya, Ryan mengikuti Elina masuk ke dapur. sementara itu Luna yang mengerti terhadap keduanya, ia pun pergi meninggalkan mereka agar leluasa berbicara satu sama lain.
"Elina, ada apa? mengapa kau terus saja menghindari ku?" tanya Ryan.
Elina menoleh.
"maafkan saya pak Ryan" Elina kemudian menunduk.
Ryan berjalan ke arah Elina dan mendekat.
"sudah ku bilang jangan panggil aku pak, ini membuatku tidak nyaman. panggil aku Ryan" katanya dengan tersenyum.
Mendengar itu wajah Elina sedikit memerah, entah apa yang ada dalam pikirannya saat ini namun ia merasakan ada sesuatu yang menjalar di sekujur tubuhnya,sambil tertunduk Elina tersenyum samar dan mengangguk.
Ryan memulai percakapannya kembali.
"kamu ada waktu gak? setelah pulang kerja akau akan mengajakmu ke suatu tempat" ajak Ryan. suaranya begitu halus dan memiliki harapan.
Elina mengangkat wajah nya, ia terdiam sebentar menarik napas dalam lalu membuangnya pelan.
"maaf pak. eh maksud saya Ri Ryan " ucap Elina canggung. memanggil nama saja dia belum terbiasa. apalagi ini di restoran dan Ryan adalah atasannya.
Elina pun kemudian melanjutkan perkataannya lagi.
"maaf.aku dan Luna akan pergi ke suatu tempat. mungkin lain kali aku akan mencari waktu" Elina menatap Ryan dengan tersenyum.
"baiklah, aku mengerti Elina. tidak apa apa. aku harap nanti kita bisa pergi bersama" kata Ryan. ia merasa Elina selalu mencari cara untuk menghindarinya. ungkapan rasa suka nya terhadap Elina beberapa hari lalu membuatnya semakin jauh dan Elina menjaga jarak dengan nya. Ryan pun pamit dan keluar.
Beberapa karyawan restoran tersebut saling pandang dan sambil bergosip. dan beberapa karyawan lain tidak menyukai Elina yang terlihat sangat akrab dengan menejer mereka. ada yang iri dan ada juga yang mendukung Elina.
Elina menghampiri Luna yang duduk sendirian dipojokkan sambil melamun. entah apa yang dipikirkannya. Elina duduk dan menepuk sahabatnya itu, Luna tersentak kaget.
"eh Lin. bikin kaget aja" kata Luna
"ada masalah? apa yang kamu pikirkan? " tanya Elina. Ia merasa akhir akhir ini sahabatnya itu menjadi sedikit pendiam. merasa ada yang kurang dengan sifat Luna, Elina pun tampak bertanya tanya dalam hati.
"gak kok Lin,aku baik baik saja"
Lina kemudian melanjutkan perkataannya dan mengalihkan pembicaraan.
"jadi kan? uangnya sudah siap? " Luna merasa khawatir dengan keselamatan Elina maka dari itu ia memastikan untuk ikut bersama Elina. dia yakin Hendra yang kejam itu tidak akan melepaskan Sophia begitu saja meskipun sudah diberikan uang banyak.
"tapi aku sedikit takut Lun " kata Elina.
"tenang saja kan ada aku" balas Luna, ia menggenggam erat tangan Luna dan berusaha menenangkannya. ia bisa merasakan bagaimana trauma sahabatnya itu ketika menerima perlakuan kasar dari Hendra dan telah banyak siksaan juga tekanan batin yang didapat oleh Elina.
.
.
.
Elina mengepalkan tangannya jantungnya berdebar sangat kencang, Campuran antara kegelisahan dan kegembiraan.
"Lun, kita harus bergerak cepat aku takut papa akan berubah pikiran" bisik Elina. matanya berkaca kaca.
mendengar itu, dengan tenang Luna menenangkan Elina.
"tenang Lin, kita akan masuk dari pintu belakang"
ucap Luna pelan.
"tapi bagaimana jika papa telah menyiapkan jebakan" Luna ragu ragu juga takut.
"asalkan kita sudah menyiapkan uang yang diminta papa mu itu. jangan khawatir" Luna terus menenangkan Elina.
Mereka berhasil mencapai pintu belakang yang sedikit terbuka. Luna memberikan isyarat kepada Elina untuk menunggu. Dengan hati-hati, Luna membuka pintu selebar mungkin, mengintip ke dalam. Ruangan itu gelap, hanya sedikit cahaya rembulan yang menerobos celah jendela. Luna memberikan isyarat "aman" kepada Elina.
Elina masuk, diikuti Luna. Bau apek dan lembap memenuhi hidung mereka. Mereka bergerak perlahan, menelusuri lorong sempit yang gelap. Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar dari arah depan. Elina dan Luna langsung merapat ke dinding, menahan napas. Suara langkah kaki itu semakin mendekat, lalu berlalu.
"Hati-hati" bisik Luna, tangannya meraih tangan Elina. Mereka melanjutkan perjalanan, hati berdebar-debar. Di ujung lorong, mereka melihat sebuah ruangan kecil yang sedikit terang. Dan di dalam ruangan itu... Sophia.
Sophia duduk di sudut ruangan, tampak kurus dan lemah, tetapi matanya bersinar dengan secercah harapan saat melihat Elina dan Luna. Hendra, berdiri di depan pintu, tangannya memegang sebuah pistol. Wajahnya dingin dan tanpa ekspresi, namun sorot matanya menunjukkan ketegangan. Di depannya, tergeletak sebuah meja kecil.
Elina dan Luna melangkah maju, hati mereka berdebar kencang. Mereka berhenti beberapa langkah dari Hendra, menjaga jarak aman. Elina mengeluarkan tas kecil berisi uang tebusan dan meletakkannya di atas meja. Keheningan mencekam ruangan, hanya terdengar suara napas mereka yang terengah-engah.
"Uangnya sudah ada di sini," kata Elina, suaranya sedikit gemetar, tetapi berusaha terdengar tegas. Ia berusaha untuk tidak menunjukkan rasa takutnya.
Hendra menatap uang itu dengan saksama, jarinya sesekali menyentuh gagang pistol. Ia tidak berbicara, hanya mengamati Elina dan Luna dengan tatapan tajam. Ketegangan semakin terasa, udara di ruangan itu terasa sesak. Sophia memperhatikan setiap gerakan mereka dengan cemas.
Setelah beberapa saat yang terasa seperti selamanya, Hendra akhirnya angkat bicara, suaranya berat dan dingin.
"Bagus. Kalian tepat waktu." Ia mengambil uang itu dan memeriksa jumlahnya. Kemudian, ia melirik ke arah Sophia.
"Lepaskan dia" pinta Luna, suaranya terdengar lantang meskipun gemetar sedikit.
Hendra tersenyum sinis.
"Kalian pikir sesederhana itu? Ini belum selesai." Senyumnya membuat bulu kuduk Elina dan Luna merinding. Ada sesuatu yang tidak beres.
"apa sebenarnya yang direncanakan papa" batin Elina.
Hendra mengangkat uang tersebut dan memasukkan nya kedalam tas dengan santai seolah olah tidak ada yang lebih penting. uang telah membutakannya padahal yang ia perlakukan itu bukan lah orang lain melainkan anak kandungnya dan darah dagingnya sendiri. Elina tidak habis pikir entah iblis apa yang merasuki papa sambungnya itu hingga jadi tak terkendali seperti ini.
Elina merasakan jantungnya berdebar kencang.
"apa yang papa inginkan? aku hanya ingin membawa Sophia pulang"ucap Elina dengan berusaha tetap tenang.
Mendengar itu, Hendra tertawa sinis.
"kalian berani masuk sarang ku dan berharap pergi begitu saja? itu tidak mungkin" dia melirik Sophia yang duduk disudut, terlihat ketakutan.
"dia adalah jaminan, jika kalian melangkah lebih jauh aku tidak segan segan menghabisinya" ucapnya tanpa sedikit belas kasihan.
Luna pun tidak bisa menahan diri.
"orang tua macam apa kau ini hah!. dasar iblis" ia tidak bisa lagi menahan amarahnya. meskipun dalam hati ia begitu ketakutan melawan Hendra.
Hendra hanya mengangkat bahu tampak acuh tak acuh. ia duduk sambil mengepulkan asap rokoknya ke udara dan tertawa lepas.
.
.
.
Lanjut yah
See you ☺