Novel ini terinspirasi dari novel lain, namun di kemas dalam versi berbeda. Bocil di larang ikut nimbrung, bijaklah dalam memilih bacaan, dan semua percakapan di pilih untuk kata yang tidak baku
-Entah dorongan dari mana, Dinar berani menempelkan bibirnya pada mertuanya, Dinar mencoba mencium, berharap Mertuanya membalas. Namun, Mertuanya malah menarik diri.
"Kali ini aja, bantu Dinar, Pak."
"Tapi kamu tau kan apa konsekuensinya?"
"Ya, Saya tau." Sahutnya asal, otaknya tidak dapat berfikir jernih.
"Dan itu artinya kamu nggak boleh berenti lepas apa yang udah kamu mulai," kata Pak Arga dengan tegas.
Bagaimana kelanjutan kisahnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon An, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 33
Dinar membalikan badannya untuk kembali menuangkan kuahnya di dalam panci. Namun, saat dia akan men-centong kuah, Latifa mengeluarkan suaranya.
"Mbak benar-benar gak suka sama saya?"
"Menurut kamu?"
"Mbak, Latifa cuman rekan kerja aja, atasan sama bawahan. Gak ada yang lebih, Mbak."
"Saya lebih tau itu." Sahut Dinar malas.
"Tapi apa harus Mbak gak suka sama saya? Saya ngerasa bersalah karna Mbak gak suka sama saya." Istri Vano itu menghela napas mendengar lawakan perempuan kodok ini. Dinar berbalik dengan wajah datarnya.
"Apa saya harus suka liat kamu? Nggak ada alasannya kan?" Dinar sengaja tersenyum di akhir perkataannya. Dinar merasa satu langkah lebih unggul di banding Latifa. Latifa langsung terdiam melihat Dinar.
"Calon pelakor satu ini harus di tunjukin jalan yang benar, supaya dia gak beneran jadi ultramen nantinya." Gumam Dinar, jengkel dalam hati.
Arin yang datang ke dapur, terhenti melihat Dinar dan Latifa yang saling tatap, namun enggan untuk berbicara satu sama lain.
"Eh.., Ehh.., ini knapa? Kok pada dieman?" Dinar menoleh pada Arin dan tersenyum. "Rin, bawa perempuan ini pergi. Gak sopan, masa tamu mau ikut masak kan? Tamu, harusnya di muliakan yakan Rin?"
Sengaja Dinar tekan kata "Tamu" agar perempuan itu berkali-kali ingat dia adalah orang asing di rumah ini. Oh tidak.., Dinar tidak akan membiarkan perempuan itu berubah menjadi ultramen sungguhan.
"Oh iya, Mbak Latifa.., kamu ngapain sih di dapur. Udah, jangan ganggu Mbak Dinarku yang lagi masak. Dapur itu areanya Mbak-ku ini, Iya kan Mbak?"
"Benar Rin. Nanti juga kalau kamu jadi istri, dapur suami kamu juga area kamu, hihi..." Dinar cekikikan melihat wajah Latifa yang berubah pias.
Arin mengangguk, lalu menarik tangan Latifa, "Ayo! Aku mau tunjukin sesuatu sama kamu, Mbak Fa. Ayo!"
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Dinar menyiapkan makan malam, membawa semuanya ke meja makan. Di saat Dinar menyusun, ada Pak Arga di sana.
"Pak." Dinar merapikan meja makan, menatanya. Kebiasaannya memang lah selalu begini, harus rapi, supaya merasa nyaman dan tentunya enak di pandang.
"Masak apa kamu malam ini, Din?"
"Ayam gulai Pak. Mungkin Mas Vano rindu masakan yang aku buatin saat pertama kali ketemu sama suami."
"Apa karna kamu terusik sama kedatangan Latifa? Kamu pasti coba tekankan kalau Vano, suami kamu?" Astaga naga! Kenapa Bapak mertuanya itu bisa tau? Seperti cenayang saja, dia begitu mengenal Dinar, dan peka terhadap perasaannya.
"Nggak juga Pak. Cuman biasa aja. Aku coba jalani kehidupanku sebagai istri. Mencoba yang terbaik, Pak."
Pak Arga menatap cukup lama. Dinar tentu saja sadar dia menatap kaki Dinar cukup lama, membuat wanita itu tidak nyaman. Dinar mencoba abai.
Saat dia mau mengambil sendok dan menyusunnya, Dinar terkejut. Tangan Pak Arga menyusup di balik roknya, lalu meremas bokongnya yang berbentuk sempurna itu.
"Pak?!" Refleksnya kaget.
Dinar menatapnya kaget. Tidak percaya mertuanya itu mulai seberani itu.
"Kenapa? Saya cuman ngeremasnya, bukan masuki jari saya di sana."
"Pak! gimana kalau Mas Vano—" Marahnya terpotong.
"Apa perlu saya bilang?"
Dinar meneguk saliva dan membelalakan mata, "A-apa yang mau coba Bapak lakuin?"
"Nggak. Cuman ngeremas pantat, Ahh.., kamu tau Dinar? Kamu selalu ngegoda saya sama kain satin yang kamu pakai."
Dinar memang senang sekali mengenakan kain satin di atas lutut. Dia bahkan memiliki rok yang berbeda warna, bukan maksudnya mengubar segala bentuk rupa di tubuhnya, hanya saja memang dia terlihat nyaman dan santai berpenampilan seperti itu.
Dinar merasakan remasannya kembali menyusup ke dalam roknya. Dinar tidak mungkin berteriak, karena bisa saja orang rumah mendengar mereka.
"Pak, jangan kayak gitu," Gumamnya, sambil menyingkirkan tangan nakal Pak Arga. Dia bahkan dibuat sedikit emosi oleh ulah Pria itu.
"Kenapa? Kamu melenguh nikmat waktu malam itu Dinar.
"Pak, Dinar mohon jangan-"
"Nara? Kamu lagi ngapain itu?"
Deg!
Suara itu suara Vano, suaminya. Dinar menoleh dan terbelalak. dengan kedatangan suaminya yang sudah berdiri tidak jauh darinya dan Pak Arga.
"Mas Vano."
...BERSAMBUNG, ...