Pinky, gadis rusuh dan ceplas-ceplos, tergila-gila pada Dev Jaycolin meski cintanya selalu ditolak. Suatu kejadian menghancurkan hati Pinky, membuatnya menyerah dan menjauh.
Tanpa disadari, Dev diam-diam menyukai Pinky, tapi rahasia kelam yang menghubungkan keluarga mereka menjadi penghalang. Pinky juga harus menghadapi perselingkuhan ayahnya dan anak dari hubungan gelap tersebut, membuat hubungannya dengan keluarga semakin rumit.
Akankah cinta mereka bertahan di tengah konflik keluarga dan rahasia yang belum terungkap? Cinta Gadis Rusuh & Konglomerat adalah kisah penuh emosi, perjuangan, dan cinta yang diuji oleh takdir.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon linda huang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18
"Angkuh sekali, sudah hampir mati masih saja tidak mau mengalah. Kalau kau berlutut minta maaf padaku, mungkin saja aku akan memaafkanmu," ucap Sania dengan nada dingin.
"Lebih baik mati dengan harga diri daripada hidup tanpa harga diri seperti dirimu," jawab Pinky tegas.
"Mulutmu terlalu banyak bicara. Tapi... aku masih bisa memberimu satu kesempatan untuk hidup. Demi ayahmu, aku akan membiarkanmu pergi. Tapi dengan satu syarat: kau harus mengaku di depan media bahwa aku dan Mark bukan pasangan," ujar Sania tajam.
"Kalian sudah memiliki seorang anak, dan masih ingin menyembunyikan kenyataan," balas Pinky dengan berani.
"Itu urusanku! Aku tahu tempat ibumu bekerja. Kalau kau berani melawan atau membantah, jangan salahkan aku jika sesuatu terjadi pada ibumu," ancam Sania penuh intimidasi.
"Kalau kau menyentuh ibuku, anakmu juga tidak akan aman," balas Pinky, nada suaranya tegas meski tubuhnya lemah. Matanya menatap tajam ke arah Sania, penuh dengan keberanian yang tidak terduga.
Plak!
Tamparan keras Sania mendarat di pipi Pinky, membuatnya tersentak. Namun, Pinky tidak menundukkan kepala.
"Berani sekali kau mengancamku!" bentak Sania dengan suara melengking, wajahnya memerah karena marah.
Pinky mendongak, senyumnya tipis tapi penuh sindiran. "Bunuh saja aku, untuk apa membuang waktumu di sini bersamaku?" katanya, seolah mengejek keberanian Sania.
Dua pria bertubuh besar, anak buah Sania, Tanpa ampun, mereka menjambak rambut Pinky dengan kasar, membuat gadis itu meringis menahan rasa sakit. Namun, tidak ada teriakan yang keluar dari mulutnya.
"Apa yang bisa kau lakukan sendirian di sini?" Sania mendekat dengan langkah lambat, senyumnya penuh dengan ejekan. "Kau memarahiku sebagai pelacur? Sepertinya aku punya ide. Bagaimana kalau aku membuatmu menjadi pelacur yang paling hina?"
Pinky menatap Sania dengan mata berkilat. "Apa yang ingin kau lakukan?" tanyanya dengan nada dingin, meskipun rasa sakit mulai menggerogoti kekuatannya.
Sania menyeringai, wajahnya mendekat ke arah Pinky. "Layani saja mereka berdua," katanya sambil menunjuk kedua pria di belakangnya. "Apa kau sudi?"
"Kalau berani, jangan gunakan mereka," balas Pinky dengan suara serak namun tegas. "Kita yang saling berhadapan."
Tawa Sania menggema di lokasi itu. "Ha... ha... kau pikir aku sebodoh itu? Untuk apa aku harus kotor karena menyentuhmu? Cukup mereka saja yang melayanimu. Setelah itu, aku akan merekam semua yang terjadi padamu. Di saat itu, dunia akan percaya bahwa pelacur sebenarnya adalah dirimu!"
Pinky menarik napas dalam-dalam, menenangkan dirinya. "Lakukan saja kalau kau berani," tantangnya, meskipun ancaman itu membuatnya gemetar di dalam.
Sania mendengus, lalu mendekatkan wajahnya hingga hanya berjarak beberapa inci dari Pinky. "Sepertinya kau sudah bosan hidup," ujarnya dingin.
Namun, Pinky tidak menunjukkan rasa takut. Dengan senyum tipis, ia berkata, "Aku tidak akan tunduk padamu, pelacur murahan."
Ucapan itu membuat wajah Sania berubah merah padam. Amarahnya hampir meledak, tapi ada keraguan di matanya. Pinky tidak menunjukkan sedikit pun tanda menyerah, meski posisinya sangat terjepit.
Tidak lama kemudian, Jenny yang mengenakan topi hitam dan masker tiba di atas gedung itu. Senyumnya lebar, dan tawanya menggema saat ia melihat Pinky yang dikuasai oleh dua pria berbadan besar. Dengan penuh semangat, Jenny mendekati ibunya.
"Ma, kenapa tidak mengajakku saat ada pertunjukan hebat seperti ini?" tanya Jenny sambil tertawa, matanya berbinar penuh kebencian. Ia membuka maskernya.
Pinky, meski tubuhnya lemah, tidak kehilangan keberanian. Ia menatap Jenny dengan pandangan tajam. "Anak dan ibu sama saja, tidak punya harga diri," ejeknya dingin, suaranya bergetar karena emosi.
Jenny mendengus, tapi ejekan Pinky hanya membuat senyumnya semakin lebar. "Mama, segera beri dia pelajaran. Aku ingin lihat reaksinya seperti apa," ujarnya penuh antusias sambil melirik ke arah Sania.
Sania mengangguk dengan wajah penuh amarah. "Ikat kedua tangannya!" perintahnya tegas.
Salah satu pria besar itu tanpa ragu menarik tangan Pinky ke belakang. Tali kasar melilit pergelangan tangan gadis itu, membuatnya tak berdaya. Pinky meringis kesakitan, namun ia tetap berusaha mempertahankan martabatnya.
Jenny melangkah lebih dekat, wajahnya penuh dengan rasa puas. "Bawa dia ke tempat yang cocok untuk kalian bersenang-senang!" perintahnya sambil melirik kedua pria itu.
Sania hanya tersenyum dingin sebelum menoleh ke Jenny. "Baiklah. Setelah itu, kirim videonya ke media dan biarkan semua orang melihatnya," ucapnya dengan suara yang penuh kemenangan. "Jangan tutup wajahnya, cukup tutup mulutnya agar tidak berisik!"
Jenny mengeluarkan ponselnya sambil menyeringai. "Ma, biar aku yang merekamnya," katanya penuh semangat.
Pinky menatap mereka dengan pandangan penuh kebencian, tapi ia tidak menunjukkan rasa takut. "Kalian akan mendapatkan karmanya," teriaknya, suaranya lantang meski tubuhnya lemah.
Jeritan Pinky tidak mengurangi tawa Jenny. Ia hanya tertawa lebih keras, puas melihat gadis itu ditarik kasar oleh kedua pria yang menguasainya. "Lihat dia sekarang! Gadis angkuh yang dulu merasa tinggi kini terpuruk," ejeknya sambil mengikuti mereka.
Pinky mencoba melawan, tubuhnya terus meronta. Namun, kekuatannya tidak cukup melawan cengkeraman kasar para pria itu. Jenny terus tertawa, suara tawanya menggema di tempat itu seperti cerminan kejahatan yang penuh kemenangan.
Kedua pria itu membawa Pinky ke toilet yang sepi di ujung gedung, lalu dengan kasar mendorongnya masuk. Bau busuk menyengat menyeruak, membuat tempat itu terasa semakin menyesakkan.
"Hei, lepaskan aku!" teriak Pinky sambil berusaha memberontak, meskipun kedua tangannya masih terikat.
Jenny, yang berdiri di depan pintu dengan masker menutupi wajahnya, tertawa kecil sebelum melangkah masuk. "Bagaimana rasanya? Takut? Berlutut saja. Toiletnya sangat busuk, cocok dengan levelmu," ejeknya sambil memegang hidung, berpura-pura jijik.
Namun, Pinky tetap menatap Jenny dengan tatapan penuh keberanian. Senyum sinis muncul di wajahnya meskipun tubuhnya lemah. "Kau ini benar-benar bajingan murahan. Hanya anak luar nikah saja, sudah berani sombong," balas Pinky tajam.
Jenny tertegun sejenak, tapi segera menutupi amarahnya dengan seringai. Ia melirik kedua pria yang berdiri di dekat pintu. "Kalian keluar dulu! Aku ingin memberi dia pelajaran sebelum dia melayani kalian!" perintahnya dengan nada penuh otoritas.
Kedua pria itu saling melirik, lalu mengangguk dan keluar dari toilet wanita, meninggalkan Jenny dan Pinky berdua.
Jenny mendekat, matanya menelusuri tubuh Pinky yang lemah dengan rasa puas. Ia menyadari kedua tangan Pinky terikat erat. "Kau pikir kau bisa menghinaku tanpa konsekuensi? Lihat di mana kau sekarang," ucap Jenny sambil meraih dagu Pinky dengan kasar, memaksanya menatap langsung ke matanya.
Di luar toilet, kedua pria itu mendengar suara teriakan dari dalam. Suara keras bergema, membuat mereka saling melirik dengan cemas, tapi tidak bergerak.
"Aaahh!" Teriakan Pinky terdengar, disusul suara tamparan keras.
Plak!
"Diam, dasar jalang!" teriak Jenny, suaranya penuh kemarahan.
Plak!
Tamparan kedua mendarat di pipi Pinky, lebih keras dari sebelumnya. Suara tamparan itu terdengar jelas hingga keluar toilet, membuat kedua pria itu mendengarkan dengan ekspresi yang sulit diartikan.
sebenarnya kamu itu suka ma pinky
awas lho jgn menyesal