Anson adalah putra tunggal dari pemilik rumah sakit tempat Aerin bekerja. Mereka bertemu kembali setelah tiga belas tahun. Namun Anson masih membenci Aerin karena dendam masa lalu.
Tapi... Akankah hati lelaki itu tersentuh ketika mengetahui Aerin tidak bahagia? Dan kenapa hatinya ikut terluka saat tanpa sengaja melihat Aerin menangis diam-diam di atap rumah sakit?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mae_jer, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 28
Pandangan Aerin lurus ke Mansion mewah didepannya.
"Rumahmu? Kenapa membawaku ke sini?"
Aerin menatap Anson. Ia tahu ini rumah Anson. Ia pernah datang sekali ke sini, bersama Kyle kakaknya. Dulu sekali, waktu mereka masih remaja.
"Malam ini kau akan tidur di sini. Sebenarnya aku ingin meminjamkan kamar tidurku di rumat sakit agar kau bisa beristirahat, tapi orang-orang yang melihat pasti akan bergosip. Kau pasti tidak akan nyaman. Jadi tidur di sini saja."
"Aku bisa tidur di rumahku." tolak Aerin. Padahal dia sendiri tahu benar dia tidak mungkin ke rumahnya lagi. Ia sudah menentang orangtuanya, bagaimana mereka bisa mengijinkan untuk tetap tinggal di sana?
"Jangan membantahku Aerin, aku bilang tidur di sini ya tidur di sini." suara Anson mendominasi.
"Ayo," ia pun menarik Aerin keluar selesai memarkir mobil di garasi. Aerin ingin melepaskan diri dari laki-laki itu namun tangan kokoh Anson membuatnya tak berdaya.
Dengan terpaksa ia mengikutinya. Mereka masuk lewat ruang depan. Ada cukup banyak orang berseragam yang berbaris di sana. Aerin terpana melihatnya.
"Tuan muda," mereka membungkuk hormat seraya memanggil Anson dengan panggilan tadi. Bibir Aerin sedikit tersungging ke atas. Kayak di film-film saja.
Perlukah?
Tapi kediaman sebesar ini tanpa ART sih rasanya memang aneh. Kenapa bikin rumah besar-besar dan megah kalau tidak mau mempekerjakan pembantu coba? Lagian keluarga Anson sangat kaya. Bayar gaji puluhan pembantu tidak akan membuat mereka bangkrut.
Karena terlalu sibuk dengan pikirannya sendiri Aerin sampai-sampai tidak sadar mereka sudah sampai di lantai dua, depan kamar. Mungkin kamar tamu. Anson membuka pintu kamar dan masuk ke dalam.
"Kau tidur di kamar ini saja." ucap Anson lalu melepaskan pergelangan tangan Aerin yang sejak tadi masa dalam genggamannya.
Pria itu berdeham salah tingkah. Begitu pun Aerin. Keduanya baru menyadari kalau mereka berdiri sangat dekat satu sama lain. Aerin-lah yang lebih dulu menjauhkan diri dan berusaha menutupi rasa gugupnya. Anson menatapnya lama dan dalam. Sayangnya Aerin tidak lihat tatapan dalam Anson, karena posisi gadis itu berdiri membelakanginya.
Aerin memperhatikan ruang kamar, alisnya bertaut. Aroma maskulin menyeruak masuk ke dalam hidungnya. Kamar itu sangat besar, tertata begitu rapi dan ada banyak sekali buku yang tersusun di meja, juga rak kecil dekat meja.
Pandangan Aerin terus mengitari ruangan mewah tersebut. Di sisi lain terdapat kasur berukuran besar, sofa hitam, tv besar yang tertempel di dinding dan kamar mandi. Sungguh sangat mewah di mata Aerin.
Ini bukan kamar tamu.
Gadis itu akhirnya sadar. Ketika ia menoleh ke belakang, Anson menyodorkan segelas air di depannya. Entah kapan pria itu mengambilnya namun Aerin memang sedikit kehausan sekarang.
"Minum dulu," gumam Anson.
Aerin mengambil air putih dari tangan Anson dan meneguknya dengan cepat.
"Te ... Terimakasih." gadis itu mengembalikan gelas yang sudah kosong tak lupa mengucapkan berterimakasih. Suaranya sedikit terbata. Perlakuan Anson malam ini cukup manis.
Tapi Aerin tidak berani berharap. Pasti Anson bersikap baik begitu karena kasihan. Mungkin besok sikapnya akan kembali seperti biasa lagi, dingin.
"Apa ini kamarmu?" tanyanya kemudian. Tidak mungkin kamar tamu karena jelas sekali terlihat kalau kamar ini ada pemiliknya.
"Mm." Anson mengangguk. Tuh kan benar.
"K ... Kalau begitu aku tidur di kamar tamu saja. Aku tidak enak tidur di kamarmu." balas Aerin. Ia cepat-cepat melewati Anson dan bergegas keluar dari situ, namun Anson dengan cepat meraih pergelangannya lagi, menghentikan gadis itu.
"Kenapa?"
"Hah?" pertanyaan Anson membuat Aerin bingung.
"Kenapa tidak mau tidur dikamarku?"
Ohh ...
"Tidak enak saja."
Anson menatap ke dalam mata Aerin.
"Kenapa tidak enak?"
Aduhh ... Kok tanya terus sih? Ya iyalah tidak enak. Ini kamar laki-laki. Lelaki yang membencinya pula. Bagaimana kalau besoknya Anson bilang dia sengaja terlihat menyedihkan agar pria itu bersimpati padanya. Lelaki itu sulit ditebak. Aerin tidak mau terlibat terlalu jauh lagi dengannya. Takut patah hati.
"Aku tidak mau pembantumu bergosip yang tidak-tidak pada kita." sahut Aerin tanpa menatap Anson.
Ia tidak lihat seringaian di wajah pria itu.
"Jangan terlalu banyak berpikir. Aku mengijinkanmu tidur di sini karena semua kamar tamu sedang dibersihkan. Hanya tersisa kamarku, orangtuaku, dan adikku. Adikku tidak suka berbagi kamar dengan orang lain, memangnya kau mau tidur di kamar orangtuaku? "
Aerin ternganga. Kalimat yang sangat membagongkan. Astaga, dia tak mampu berkata-kata lagi.
"Kalau aku tidur di sini, lalu kau tidur di mana?" tanyanya kemudian.
Anson menunjuk sofa hitam sebelah kiri mereka dengan dagunya.
"Hah? Sekamar denganku?"
Tidak, tidak. Ini bukan kemauan Aerin. Sekamar dengan Anson? Astaga!
"Kau keberatan? Ini bukan seperti kita berdua akan tidur seranjang. Sudah kubilang tadi kan semua kamar tamu sedang dibersihkan."
"T .. tapi ..."
"Ini kamarku, aku berhak tidur di mana saja."
Benar sih. Aerin-lah yang tidak berhak mengusirnya. Toh ini kamar Anson, suka-suka pria itu mau tidur di manapun.
Ia melihat Anson berbalik, melangkah ke dinding dan menggesernya hingga terbuka. Ahh, ternyata itu lemari. Pantas sejak tadi Aerin merasa aneh kenapa hanya bagian itu yang pakai kayu.
Anson mengambil sesuatu dari dalamnya, lalu berjalan mendekati Aerin lagi dan memberikan benda yang dia ambil tadi ke gadis itu.
Handuk dan pakaian.
"Sudah hampir tengah malam, sebaiknya kau mandi sekarang dan langsung tidur." katanya. Aerin pun mengambil pakaian dan handuk itu dari tangan Anson.
"Tidak ada pakaian wanita?" tanyanya polos.
"Menurutmu?"
Astaga gadis ini. Bisa-bisanya dia bertanya pakaian wanita saat berada dikamar seorang laki-laki lajang yang belum pernah berpacaran seumur hidupnya.
Aerin tersenyum kikuk. Berada di posisi serba salah itu ya seperti dirinya sekarang ini.
"Aku akan menelpon sebentar. Kau pergi bersihkan diri. Aku mungkin akan lama di luar. Ingat, jangan kunci pintunya. Kalau sudah mengantuk, tidur saja." lalu Anson berbalik pergi.
Apa dia mau telponan dengan pacarnya?
Aerin mengira-ngira. Dengan siapa coba seorang laki-laki telponan tengah malam begini, kalau bukan pacar.
Sebenarnya menelpon hanyalah alasan Anson. Lelaki itu tidak mau Aerin merasa kurang nyaman karena dia ada dalam kamar saat gadis itu sedang mandi.
Alasan kenapa Anson harus tidur diruangan yang sama dengan Aerin, adalah karena ia tidak mau gadis itu kembali frustasi seperti di atap rumah sakit tadi dan melakukan hal ceroboh lagi. Kejadiannya belum lama, emosi gadis itu mungkin belum stabil, jadi Anson harus berjaga-jaga.
Kamar tamu sedang dibersihkan? Itu hanyalah alasan. Anson tertawa sendiri dengan kebohongannya. Sekarang dia sedang berada di balkon. Merasakan hembusan angin malam menerpa kulitnya dengan pikiran yang dipenuhi dengan Aerin.
Apa yang telah kau alami
bertahun-tahun ini?