Reiner merupakan ketua Mafia/Gengster yang sangat di takuti. Ia tak hanya di kenal tak memiliki hati, ia juga tak bisa menerima kata 'tidak'. Apapun yang di inginkan olehnya, selalu ia dapatkan.
Hingga, ia bertemu dengan Rachel dan mendadak sangat tertarik dengan perempuan itu. Rachel yang di paksa berada di lingkaran hidup Reiner berniat kabur dari jeratan pria itu.
Apakah Rachel berhasil? Atau jerat itu justru membelenggunya tanpa jalan keluar?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mommy Eng, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18. Pria otoriter
Rachel merasa nelangsa dan ingin menyendiri. Langkahnya kini tanpa tujuan berjalan terus ke belakang. Ia tak tahu soal seluk beluk rumah itu, tapi yang ingin dia lakukan sekarang sedang ingin menjauh dari Rainer.
Dalam dadanya berkobar rasa kesal yang membara. Tentang sikap otoriter cenderung semaunya sendiri yang di lakukan oleh Reiner.
Semua hal yang ia rasakan menyeretnya pada satu titik, ketidakberdayaan. Ia benar-benar terbelenggu oleh pria otoriter itu. Hanya harapan agar bisa bertemu dengan Ayahnya lah yang kini menjadi satu-satu kekuatan. Satu-satunya hal yang menjadi keniscayaan untuk ia tetap menurut.
Secuil kesedihan tiba-tiba kembali menyerbu memori. Membuat air matanya meleleh begitu saja. Sejak Ibunya meninggal, hidupnya perlahan-lahan memang berubah. Ia kerap mendapat perlakuan tak menyenangkan dari Helen, sampai ia di paksa terus bekerja di saat Ayahnya sakit dan tak bisa berjalan.
Dan sekarang? Kenapa ia harus bertemu dengan pria tak berperasaan macam Reiner?
Terkadang, saat merasa di puncak putus asa seperti saat ini, ia berujung menyalahkan nasib. Andai kedua orangtuanya telah tiada semuanya, mungkin ia bakal memilih untuk ikut saja dari pada harus menanggung hal seperti ini.
Rachel meringkuk dan bersembunyi sembari menekuk lutut dan. Di sana ia menangis tanpa suara hingga tubuhnya bergetar. Pikirannya di penuhi rasa tak tenang, lantaran Dilan mungkin saja akan marah atau kecewa kepadanya.
Ia bukannya tak bertanggungjawab, bukan. Tapi lihatlah keadaannya sekarang, siapa memangnya yang dapat menolongnya?
Sementara Reiner yang merasa kepala berdenyut hanya karena mendengar cerita Marlon, tampak mengepalkan tangannya. Sudah begitu, kenapa Rachel malah sok-sokan tak mau bercerita padanya, uang seberapapun bukan masalah untuknya.
"Kenapa kau baru melaporkannya sekarang?"
Marlon menutup buku lalu menghela napas. "Karena anda tidak bertanya."
Reiner mendecak demi mendengar jawaban sialan itu. Namun untungnya, diantara manusia-manusia yang kerap ia anggap sepele, hanya Marlon lah yang selalu bisa membuatnya bersikap beda.
"Jadi diam-diam kau menyelidiki gadis itu?" Reiner kembali melempar pertanyaan.
Marlon mengangguk. "Anda memang pernah memerintahkan saya untuk mencari tahu soal nona Rachel sewaktu dia membawa ayahnya ke rumah sakit. Dan sejak saat itu, saya terus meminta seseorang untuk memata-matai keluarganya!"
Reiner kali ini harus mengakui kejeniusan Marlon manakala berimprovisasi soal tugas. Mendengar hal itu, tiba-tiba ia jadi ingat tampang Helen yang kala itu malah mau menjual Rachel kepadanya.
"Kau boleh pergi!" seru Reiner sembari melempar tubuhnya ke sofa.
Marlon membungkuk hormat lalu meninggalkan Reiner. Pria itu sempat menarik senyuman tipis manakala mulai melangkah pergi.
Walaupun sudah mendengar cerita real soal kenapa Rachel begitu ingin mengabari Dilan, tapi bagi Reiner semua itu tidak terlalu jadi penyesalan. Begitulah dia.
Beberapa saat kemudian, ia terlihat berjalan ke belakang guna mencari Rachel. Gadis itu rupanya sudah berada di pinggir kolam, tengah duduk termenung menatap semburat jingga.
"Apa yang kau lakukan di sini?"
Karena kesal dan kecewa, Rachel balik ke mode jutek. Ia bangkit lalu berjalan melintasi Reiner yang berdiri dengan kedua tangan yang ia kantongi. Sama sekali tak berminat untuk menjawab apalagi mengobrol.
"Hey!"
Rachel tetap berjalan sewot tak mengindahkan panggilan dari Reiner.
"Rachel!"
Rachel akhirnya berhenti ketika suara Reiner terdengar menakutkan. Ia seperti tersadar bila sang Ayah masih berada dalam otoritas Reiner.
Pria itu akhirnya bejalan menyusul Rachel. Ia lalu berdiri menatap seraut sembab yang sepertinya lama menangis.
"Kau tidak perlu lagi bekerja di sana. Hutangmu sudah aku bayar. Kau, hanya akan bekerja untukku, kau dengar!"
DEG
Rachel sebenarnya agak terkejut, tapi sejurus kemudian ia merasa pria itu makin merenggut kebebasannya. Alih-alih menjawab, Rachel langsung memilih pergi dan ngeloyor menuju kamarnya.
Reiner yang merasa Rachel masih marah padanya tiba-tiba merasa tidak tenang. Kenapa dengan dirinya? Kenapa perasaan seperti ini datang menyerangnya?
***
Di belahan bumi lain, Dilan sejak menerima telepon dari Rachel dan di sahuti oleh Reiner tadi jadi kepikiran. Ia makin termenung ketika mendapat notifikasi dengan nominal transferan yang begitu banyak, dengan sebuah note yang berbunyi,
Aku membayar pinjaman gadis itu. Ambil saja sisanya!
Reiner.
Dilan tertegun. Jumlah yang di transfer sungguh melebihi jumlah hutang Rachel.
"Kak Dilan, kakak manggil saya?" tanya Gina di muka pintu, membuat lamunan Dilan buyar.
Dilan mengangguk seraya menyingkirkan beberapa berkas di meja yang berantakan. "Masuklah!"
Gina pun masuk, ia makin penasaran kenapa dia di panggil oleh Dilan.
"Rachel tadi nelpon saya!" tutur Dilan.
Gina membulatkan matanya. "Seriusan kak, ada di mana dia sekarang?"
Dilan makin terlihat resah karena Gina sepertinya menyimpan kekhawatiran yang sama. "Sepertinya pria bernama Reiner itu sedang bersama Rachel."
Gina terlolong. "Reiner, siapa dia?"
Dilan menghela napas panjang sebelum akhirnya menceritakan semuanya kepada Gina. Semuanya tanpa terkecuali. Mungkin Gina belum tahu bila Rachel memiliki pekerjaan lain karena suatu hal. Gina yang mendengarnya langsung terduduk lemas.
"Jadi Rachel selama ini punya masalah sebesar itu dan aku nggak tahu?" Gina menyesali diri. Raut wajahnya langsung berubah murung.
"Dia berkata kalau pria itu meminta uang banyak karena mobilnya rusak. Dengan membayarnya mungkin saja pria itu mau melepasnya!"
Tapi keinginan Dilan kepada kakaknya Jay untuk meminjam uang di tolak mentah-mentah.
"Untuk apa uang sebanyak itu, Dilan?" jawab Jay yang akhir-akhir ini terlihat cepat marah.
"Aku janji bakal mengembalikannya kak. Aku memerlukan hal itu untuk suatu hal."
Jay menggeleng kesal. "Kalau semua ini hanya untuk melawan Reiner, aku ingatkan untuk jangan kau lakukan!"
Dilan tertegun. Bagiamana bisa kakaknya tahu bila ia meminjamkan uang untuk membantu Rachel?
"Ada apa jika semua ini adalah hubungannya dengan Reiner, kenapa memangnya? Apa korps kakak sudah di suap sehingga kakak takut?"
PLAK!
Jay yang mendengar itu tak bisa lagi membendung emosi yang membara. "Jaga ucapan kamu Dilan!"
Jay menampar muka adiknya tepat saat si bungsu membuka pintu dan melihat semuanya. Gadis itu pun terlihat tercenung dengan sebulir air mata yang meluncur bebas.
Gadis itu terlihat bersedih dan langsung berlari masuk ke kamarnya.
Jay yang melihat si bungsu pasti bersedih seketika terlihat frustasi. Akhir-akhir ini banyak kasus penyelundupan, dan ia tak mau adiknya kenapa-kenapa. Tidak dengan Dilan, tidak juga dengan Jihan.
Tapi kekeraskepalaan Dilan makin membuatnya berang. Jay benar-benar hanya ingin membuat keluarganya aman.
"Baik, baik kalau kakak tidak mau menolong ku. Aku akan cari jalan keluar sendiri!"
BRAK!
Dilan terlihat kecewa dan marah. Pria itu langsung membantu pintu lalu masuk ke dalam mobilnya dan bermanuver kasar.
Jay yang kini seorang diri hanya bisa memijat keningnya yang terasa berdenyut. Ia lalu memandangi deretan lencana milik Ayahnya yang terpaku di dinding rumah mereka dengan hati bercabang.
Slnya si rainer lg mumet sm nenek sihir