Sabrina Alexandra, gadis bar-bar yang frontal dan minus akhlak, hidupnya mendadak jungkir balik. Pulang ke kampung halaman, tiba-tiba saja ia di nikahkan paksa oleh bapaknya, Abiyan Fauwaz, dengan seorang lelaki yang lebih tua 9 tahun darinya. Siapa lelaki itu? Gus Sulaiman Faisal Zahid-seorang ustaz dengan aura santun, tampilan alim, dan bahasa serba syariah. Masalahnya? Sabrina yang biasa bebas, santai, dan dikejar banyak pria, dipaksa menikah dengan lelaki yang mengatakan, "Saya melamar putri bapak, karena beliau sudah saya sentuh." WHAT?! Seorang Sabrina yang bahenol dan penuh pesona malah jadi rebutan ustadz tak dikenal?! "Bapak, apa-apaan sih? Aku gak kenal dia!" protes Sabrina sambil menjambak rambut sendiri. Tapi, bapaknya tak peduli. Demi menyelamatkan anaknya dari kehidupan yang sudah miring 180 derajat, Abiyan tetap bersikeras. Tapi Abiyan tak peduli. Dengan santai, ia menjawab, "Kalau kalian gak saling kenal, ngapain nak Aiman jauh-jauh buat lamar kamu? Pokoknya bapak tetap pada pendirian! Kamu harus menikah dengan dia!" "Bapak egois banget!!!" protes Sabrina. "Ini demi kebaikan kamu, agar gak terlalu tersesat ke jalan yang salah," jawab Abiyan tegas. Sabrina merasa dunia tak lagi adil. Tapi apa yang terjadi saat dua orang dengan dunia yang bertolak belakang ini dipaksa bersanding? Akankah Sabrina yang bar-bar ini berubah, atau justru Gus Sulaiman yang pusing tujuh keliling menghadapi Sabrina?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon adelita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 3
Sabrina berdiri di pinggir trotoar depan hotel, matanya mengarah ke jalan raya yang lengang. Dia menunggu taksi dengan ekspresi cemberut, bibirnya komat-kamit menggerutu, seolah ingin mengeluarkan segala uneg-uneg yang menggelayuti pikirannya.
"Sialan banget sih itu orang! Gimana bisa sih tiba-tiba ngomong begitu? Menikahi gue? Gila kali ya?" pikirnya dalam hati sambil terus merutuki keadaan.
Sabrina tidak bisa menahan diri untuk tidak berpikir tentang kejadian semalam. Bagaimana bisa ia tiba-tiba satu kamar dengan pria aneh itu? Sosok yang katanya seorang ustadz—padahal, menurut Sabrina, lebih mirip lelaki gila yang malah makin bikin dia kesal. Belum lagi, cara pria itu bersikap seolah-olah dia adalah masalah yang harus diselesaikan. Semua itu bikin Sabrina ingin teriak.
"Ya Tuhan, semoga aja gue gak pernah ketemu lagi sama dia. Dia udah gila, dan gue gak mau punya urusan sama orang kayak dia. Cukup satu kali aja, biar gue bisa lepas dari orang itu!" gumamnya dengan suara sedikit meninggi.
Tunggu, tadi... gue udah ke resepsionis, mereka bilang kamar itu kosong, dan mereka kasih kunci kamar tanpa tanya-tanya. Kok bisa gue sampai di sana?" pikirnya, cemberut, bingung. "Padahal gue jelas-jelas nggak kenal dia... jadi kenapa bisa kayak gini?"
Pikirannya kembali terfokus pada hal lain yang lebih mengganggu—kenapa di dalam minumannya ada alkohol? Sabrina benar-benar menghindari alkohol, apalagi di tempat kerjanya, di klub malam, dia sudah sangat paham betul dengan dampaknya. Semua orang di sana tahu bahwa Sabrina nggak suka alkohol, itu prinsip hidupnya. Tapi tadi malam, entah kenapa, ia bisa saja meminumnya tanpa ragu.
"Ini pasti ulah temen-temen gue yang sebel sama gue... pasti mereka nyuruh orang buat ngelakuin ini. Mereka benci banget sama gue," geramnya dalam hati, menyesali semua yang terjadi. "Mereka tahu gue nggak bakal minum alkohol, jadi pasti mereka campurin biar gue jadi hilang ingatan dan jatuh ke dalam perangkap... Damn!"
Sabrina mulai menyesali keputusan-keputusan kecil yang dia buat malam itu, bagaimana ia bisa begitu ceroboh dan akhirnya terjebak dalam situasi yang membuatnya semakin bingung dan malu. "Apa gue terlalu bodoh sampai nggak sadar kalau mereka mau ngerjain gue? Gila sih... Ini pasti permainan mereka," pikirnya lagi dengan hati yang semakin geram.
" Untung gue nggak salah ketemu cowok, untung cowoknya modelan cupu-cupu gila kayak tuh om-om." Ia menggigit bibirnya, berusaha menahan rasa malu yang merayap.
" Untungnya gue gak ketemu sama cowok modal selangkangan doang, gak tau gimana nasib gue setelahnya,
Makasih Tuhan, masih dilindungi meski banyak dosa kayak gue ini."
...➰➰➰➰...
Aiman menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri setelah kejadian tak terduga semalam. Ia berdiri di depan cermin, memastikan penampilannya rapi sebelum melanjutkan perjalanan ke tempat kajian berikutnya. Sorban yang terlipat rapi di tangannya menjadi pelengkap terakhir yang ia kenakan. Namun, pikirannya masih saja terusik oleh sosok wanita yang begitu frontal dan penuh teka-teki itu.
Tiba-tiba, pintu kamar diketuk pelan. Ustadz Haidar, rekan sesama pendakwah yang lebih senior, berdiri di ambang pintu dengan senyum khasnya.
"Assalamu'alaikum, Aiman. Kamu siap?" tanya Ustadz Haidar sambil melangkah masuk.
Aiman mengangguk, meskipun sorot matanya terlihat sedikit lelah. "Wa'alaikumussalam. Siap, Ustadz. Kita langsung berangkat saja."
Namun, Haidar tampaknya menangkap sesuatu yang berbeda dari Aiman pagi itu. "Kamu baik-baik saja, Aiman? Biasanya kamu nggak sesunyi ini. Ada yang mengganggu pikiran?"
Aiman hanya tersenyum tipis. "Nggak apa-apa, Ustadz. Cuma sedikit kurang tidur saja."
Haidar tertawa kecil. "Makanya jangan terlalu serius terus. Kadang, kehidupan ini juga perlu sedikit kelonggaran."
Aiman hanya menjawab dengan gumaman ringan sambil memasukkan kitab-kitabnya ke dalam tas. "Kalau begitu, ayo kita berangkat. Jangan sampai terlambat."
Di dalam mobil menuju lokasi kajian, Ustadz Haidar mengamati Aiman yang tampak lebih pendiam dari biasanya. Setelah beberapa saat suasana hening, Haidar memulai pembicaraan untuk mencairkan suasana.
"Aiman, kamu tadi bilang kurang tidur. Sibuk mempersiapkan materi atau ada hal lain yang menyita pikiranmu?" tanyanya santai, sambil memandang keluar jendela.
Aiman melirik sekilas, lalu kembali menatap lurus ke depan. "Sebenarnya nggak ada yang spesifik, Ustadz. Mungkin karena perjalanan cukup melelahkan, jadi saya agak sulit tidur."
Haidar mengangguk kecil. "Pekerjaan kita memang nggak ringan, ya. Kadang harus ke sana-sini dalam waktu singkat. Tapi saya salut sama kamu, Aiman. Meskipun sibuk, kamu tetap totalitas. Nggak seperti kebanyakan anak muda sekarang."
Aiman tersenyum tipis. "Mungkin karena saya merasa ini bagian dari tanggung jawab saya, Ustadz. Saya nggak punya banyak distraksi, jadi fokusnya ya ke sini."
Haidar menoleh, matanya penuh perhatian. "Distraksi atau fokus berlebihan, semuanya harus seimbang, Aiman. Kamu masih muda, harusnya sesekali istirahat juga. Hidup ini bukan cuma tentang kerja dan dakwah."
Aiman menghela napas, sedikit berpikir sebelum menjawab. "Mungkin Ustadz benar. Tapi... saya nggak merasa butuh banyak hal di luar ini. Apa yang saya lakukan sekarang sudah cukup membuat saya merasa berguna."
Haidar tertawa kecil, mengangguk dengan ekspresi memahami. "Kamu memang beda, Aiman. Tapi ada satu hal yang mau saya ingatkan: jangan terlalu keras pada dirimu sendiri. Kita ini manusia biasa. Ada waktunya bekerja, ada waktunya juga beristirahat. Kalau semua tenaga habis di awal, nanti di tengah jalan bisa lelah dan kehilangan arah."
Aiman terdiam sejenak, lalu mengangguk perlahan. "Terima kasih, Ustadz. Saya akan coba memikirkannya."
Mereka melanjutkan pembicaraan ringan tentang jadwal dakwah, pengelolaan pesantren, dan perkembangan santri. Haidar sempat bercanda soal Aiman yang terus-menerus menolak proposal taaruf.
"Jangan-jangan, Aiman, kamu ini bujang lapuk bukan karena nggak laku, tapi karena terlalu sibuk kerja," goda Haidar sambil tertawa.
Aiman hanya tersenyum simpul. "Bukan begitu, Ustadz. Saya cuma merasa belum waktunya saja."
Haidar tertawa lebih keras. "Jangan kebablasan sampai waktu itu nggak pernah datang. Lihat, kakak-kakakmu sudah menikah semua, tinggal kamu. Kalau kamu terus begini, orang-orang malah akan mikir aneh-aneh."
Aiman tersenyum lagi, tapi kali ini ada sedikit rasa gelisah yang tersirat di wajahnya. Di balik semua kesibukan dan dedikasinya, dia tahu Haidar ada benarnya. Tapi untuk saat ini, dia memilih untuk fokus pada apa yang ada di depannya. Kejadian semalam? Itu nanti saja ia pikirkan
Setelah menyelesaikan kajian terakhir di masjid Desa Sukamukti, Aiman dan Ustadz Haidar akhirnya naik ke dalam mobil yang sudah disiapkan untuk perjalanan mereka selanjutnya. Aiman menghembuskan napas panjang, matanya melirik ke luar jendela, menyaksikan pemandangan desa yang mulai mereka tinggalkan.
Di kursi pengemudi, sopir mereka menyalakan mesin, sementara Ustadz Haidar duduk di kursi depan, membuka buku catatannya.
"Jadwal selanjutnya apa setelah ini, Ustadz Haidar?" tanya Aiman sambil menyandarkan kepalanya ke kursi.
Ustadz Haidar melirik ke belakang sambil tersenyum tipis. "Setelah ini, pukul 15.00 kita harus ke Desa Mekarjati. Letaknya di pinggiran Kota C . Dari sini, perjalanan lumayan jauh, sekitar empat jam."
Aiman mengangguk pelan. "Desa Mekarjati? Itu desa yang lumayan terpencil, bukan?"
"Iya," jawab Ustadz Haidar sambil menutup catatannya. "Tapi mereka sangat antusias. Sudah lama sekali meminta kami datang untuk mengisi program intensif. Itu juga yang menjadi job terakhir kita sebelum kembali ke Kota J. Kita akan di sana selama dua minggu."
Aiman menatap keluar jendela, memikirkan perjalanan panjang yang menanti. "Dua minggu bukan waktu sebentar. Apa programnya padat?"
"Alhamdulillah, tidak terlalu padat. Kajian subuh, beberapa kelas agama untuk anak-anak dan remaja, lalu pendampingan pengelolaan zakat. Sisanya lebih banyak kegiatan sosial bersama warga," jelas Ustadz Haidar.
"Baiklah. Semoga kita bisa memberikan manfaat," kata Aiman, suaranya pelan tapi mantap.
Mobil melaju meninggalkan kota J menyusuri jalanan yang berliku dan mulai menjauh dari keramaian.