Sebuah kota kecil bernama Reynhaven, seorang pria ditemukan tewas di rumahnya, tepat lima menit sebelum tengah malam. Di pergelangan tangannya, ada tanda seperti lingkaran berwarna hitam yang terlihat seperti dibakar ke kulitnya. Polisi bingung, karena tidak ada tanda-tanda perlawanan atau masuk secara paksa. Ini adalah korban kedua dalam seminggu, hingga hal ini mulai membuat seluruh kota gempar dan mulai khawatir akan diri mereka.
Di lain sisi, Naya Vellin, seorang mantan detektif, hidup dalam keterasingan setelah sebuah kasus yang ia ambil telah gagal tiga tahun lalu hingga membuatnya merasa bersalah. Ketika kasus pembunuhan ini muncul, kepala kepolisian memohon pada Naya untuk kembali bekerja sama, karena keahliannya sangat diperlukan dalam kasus ini. Awalnya ia sangat ragu, hingga akhirnya ia pun menyetujuinya. Akan tetapi, dia tidak tahu bahwa kasus ini akan mengungkit masa lalunya yang telah lama dia coba lupakan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nurul Wahida, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Korban ke tiga
Malam itu, langit kota Reynhaven tampak cerah, bulan bersinar sangat terang, langit-langit dipenuhi dengan keindahan bintang, menghiasi kota yang tak pernah tidur. Di lantai 25 gedung megah milik PT Mega Prima, Adrian Kusuma, seorang pengusaha sukses, duduk sendirian di ruang kerjanya. Lampu-lampu kota yang gemerlap terlihat jelas dari balik kaca besar yang membingkai ruangan itu, tetapi kesunyian di dalamnya terasa menyesakkan.
Jam di dinding menunjukkan pukul 23.50. Adrian meletakkan ponselnya di meja dan menyesap kopi hitam dari cangkir putih yang hampir dingin. Di hadapannya, dokumen-dokumen penting berserakan. Ia bekerja keras malam itu, mengabaikan rasa kantuk yang perlahan menghampiri.
Namun, malam itu bukan malam biasa. Ada sosok lain yang telah lama mengamatinya. Bayangan Hitam, sang pembunuh berantai, sudah menyusup ke dalam gedung. Dengan pakaian serba hitam dan masker yang menyembunyikan wajahnya, ia berjalan di lorong yang sunyi. Langkahnya ringan, hampir tanpa suara.
Sistem keamanan gedung yang biasanya ketat sudah ia lumpuhkan sebelumnya. Kamera pengawas mati selama lima menit. Cukup baginya untuk mencapai ruangan Adrian tanpa meninggalkan jejak.
Adrian masih sibuk membaca dokumen ketika suara lembut namun jelas memecah keheningan di belakangnya.
"Ck, ck, seorang pria yang super duper sibuk ini sangat fokus dengan sebuah gadget yang pipih sampai tidak sadar bahaya sudah di depan mata?"
Adrian tersentak. Ia menoleh cepat, dan matanya membelalak ketika melihat sosok berpakaian hitam berdiri di ambang pintu. Tangan sosok itu memegang pisau kecil yang tampak berkilau di bawah cahaya lampu.
"Siapa kau?!" tanya Adrian dengan nada tinggi, mencoba menyembunyikan rasa takutnya.
Bayangan Hitam melangkah masuk, menutup pintu di belakangnya dengan tenang.
"Apa kau pernah mendengar sesuatu yang berhubungan dengan pembunuh bayangan hitam baru-baru ini?" ujarnya amat lirih.
"A...apa? Pembunuh bayangan hitam?" tanyanya begitu gugup.
"A...apa yang kau lakukan disini?!" teriaknya takut.
"Aku hanya seseorang yang ingin memastikan bahwa keadilan ditegakkan."
"Keadilan?" Adrian tertawa kecil, meskipun suaranya bergetar.
"Kau pikir membunuh adalah keadilan? Kau gila!"
"Tolong! Siapa pun yang ada diluar, tolong!" teriaknya begitu frustasi.
"Tidak ada gunanya berteriak. Karena tidak ada siapapun disini. Hanya kau," tunjuknya pada Adrian.
"Dan aku," sambungnya.
Bayangan Hitam mendekat perlahan, langkahnya tenang, tapi aura ancamannya begitu kuat hingga membuat Adrian mundur sedikit di kursinya.
"Kadang," jawabnya dingin.
"Keadilan tidak bisa ditemukan di pengadilan. Ada orang-orang seperti kau yang selalu lolos dari hukum."
Adrian menyipitkan mata, mencoba membaca gerak-gerik pembunuh itu.
"Kau pikir kau tahu segalanya tentang aku? Kau tidak tahu siapa aku sebenarnya!"
Bayangan Hitam berhenti tepat di depan meja Adrian, pisau kecilnya berkilau.
"Aku tahu cukup banyak. Kau mencuci uang untuk jaringan gelap, kau menghancurkan bisnis-bisnis kecil, dan kau telah membuat banyak orang kehilangan segalanya. Orang-orang seperti kau tidak pantas hidup."
"Omong kosong!" Adrian membanting tangannya ke meja.
"Kau tidak punya bukti! Semua itu fitnah!"
Bayangan Hitam mencondongkan tubuhnya ke depan, matanya yang tersembunyi di balik masker menatap tajam.
"Aku tidak butuh bukti. Aku butuh keadilan. Dan malam ini, kau akan membayarnya."
Adrian berusaha meraih sesuatu di laci meja dan mengambil sebuah pistol yang selalu ia simpan untuk berjaga-jaga. Tapi Bayangan Hitam lebih cepat. Dengan satu gerakan, ia melompati meja dan mendarat di depan Adrian. Tangannya mencengkeram lengan Adrian, mencegahnya meraih pistol itu.
"Kau benar-benar tidak belajar, ya?" bisik Bayangan Hitam, sebelum mendorong Adrian kembali ke kursinya dengan kasar.
Adrian terengah-engah. "Kau tidak akan lolos. Polisi akan menemukanmu. Mereka akan memburumu!"
Bayangan Hitam tersenyum tipis di balik maskernya. "Mereka sudah memburuku. Tapi seperti biasa, mereka akan datang terlambat."
Adrian mencoba berbicara lagi, tetapi Bayangan Hitam tidak memberi waktu lebih. Dalam satu gerakan cepat, ia mengangkat pisaunya dan menusukkannya ke leher Adrian, tepat di arteri karotis.
Adrian terkejut, matanya membelalak, dan tangannya berusaha mencengkeram luka di lehernya. Darah memancar deras, mengotori meja dan dokumen di sekitarnya. Ia mengeluarkan suara mengerikan, seolah ingin berbicara, tetapi napasnya tersengal.
Bayangan Hitam memandangnya dengan tenang, seperti seorang hakim yang menyaksikan hukuman dijalankan.
"Keadilan untuk semua orang yang kau hancurkan, Adrian."
Beberapa detik kemudian, tubuh Adrian terkulai di kursinya, tak lagi bergerak. Ruangan itu kembali sunyi, hanya suara tetesan darah yang jatuh ke lantai.
Bayangan Hitam mengambil nafas dalam-dalam, memandang tubuh Adrian untuk memastikan ia telah mati. Setelah itu, ia mengeluarkan alat kecil dari tasnya. Sebuah mesin pembuat tato, dan ia mulai membentuk sebuah pola yang berbentuk lingkaran hitam bersayap .
Dengan hati-hati, ia mengukirnya itu ke pergelangan tangan Adrian, meninggalkan tanda khasnya yang menandakan bahwa ini adalah pembunuhan oleh Bayangan Hitam. Tanda itu adalah pesan, sebuah pernyataan bahwa tidak ada orang berkuasa yang bisa lolos dari kejahatan mereka.
Sebelum pergi, Bayangan Hitam mengelap pisaunya, memastikan tidak ada jejak sidik jari. Ia memeriksa pintu, kursi, dan meja, memastikan semuanya tetap dalam posisi seperti semula. Ia melirik jam di dinding: 23.55. Waktu sempurna untuk menyelesaikan tugasnya.
Ketika keluar dari ruangan, Bayangan Hitam bergerak dengan efisiensi. Ia kembali ke tangga darurat dan turun dengan cepat namun hati-hati. Di lantai dasar, ia melewati lorong-lorong sepi. Kamera pengawas kembali aktif tepat pukul 23.55, beberapa detik setelah ia menghilang di sudut gelap.
Di luar gedung, langit sangat terang karena rembulan yang indah. Si pembunuh bayangan hitam mulai mengeluarkan ponselnya, dan mengetik sebuah pesan melalui email. Kemudian mengirimkannya kepada seseorang yang pernah ia kirim sebelumnya. Kini, ia berjalan di trotoar kemudian bergabung dengan sedikit orang yang masih ada di jalan. Tidak ada yang mencurigainya. Ia hanyalah satu bayangan di antara banyak bayangan lain di kota itu.
Di kejauhan, suara sirene polisi mulai terdengar. Namun Bayangan Hitam sudah jauh dari tempat kejadian. Ia menghilang ke dalam malam, membawa misteri dan teror yang akan terus menghantui kota.
"Ini hanya beberapa dari sekian banyak orang yang terlibat akan kematian mu, kak. Aku kembali untuk membalaskan dendam mu, kepada orang-orang yang telah membuatmu meninggalkan ku. Jika saja, malam itu kau tidak menyelamatkan ku, mungkin kau masih hidup sampai saat ini. Dan mungkin juga, kau akan berhasil mengungkap segalanya ke media massa. Bahwa orang-orang berkuasa itu sangat menjijikkan!"
"Detektif Naya. Kau akan selalu terlambat untuk menyelamatkan korban dari tanganku." Ia mengambil sebuah topi dan mengenakannya.
"Dan kau akan selalu terlambat!"
...To be continue...