NovelToon NovelToon
Antara Takdir Dan Pilihan

Antara Takdir Dan Pilihan

Status: sedang berlangsung
Genre:Nikahmuda / Konflik etika
Popularitas:1.7k
Nilai: 5
Nama Author: syah_naz

"Tolong maafkan aku waktu itu. Aku nggak tahu bakal kayak gini jadinya," ucap Haifa dengan suara pelan, takut menghadapi tatapan tajam Nathan. Matanya menunduk, tak sanggup menatap wajah pemuda di depannya.

Nathan bersandar dengan tatapan tajam yang menusuk. "Kenapa lo besoknya nggak jenguk gue? Gue sakit, dan lo nggak ada jenguk sama sekali setelah hari itu," ucapnya dingin, membuat Haifa semakin gugup.

Haifa menelan ludah, tangannya meremas ujung pasmina cokelat yang dikenakannya. "Plis maafkan aku... aku waktu itu lagi di luar kota. Aku beneran mau jenguk kamu ke rumah sakit setelah itu, tapi... kamunya udah nggak ada di sana," jawabnya dengan suara gemetar, penuh rasa bersalah.

mau kisah selengkapnya? ayo buruan bacaa!!

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon syah_naz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

kampus baru

Pagi itu, Haifa terlihat sibuk mempersiapkan diri. Mengenakan pakaian rapi, ia menyambar tasnya dan bergabung dengan Abiy Hamzah yang sudah menunggu di ruang tamu. Bersama-sama, mereka berangkat menuju kampus baru Haifa untuk menyelesaikan administrasi pindah.

Setibanya di kampus, Haifa menyerahkan surat pengajuan pindah, mengisi formulir, dan mengurus berbagai berkas lain dengan lancar. Hamzah selalu berada di sisinya, memberikan dukungan tanpa henti. Setelah semua selesai, keduanya meninggalkan kampus dengan perasaan lega.

Namun, hari mereka belum selesai. Dalam perjalanan pulang, Hamzah mengajak Haifa singgah ke rumah sakit untuk menjenguk Nathan. "Bawakan buah-buahan ini untuk Nathan, Ifa. Dia pasti senang," ujar Hamzah sambil menyerahkan keranjang yang sudah mereka persiapkan.

Haifa mengangguk, senyum kecil menghiasi wajahnya. Sesampainya di rumah sakit, mereka menuju kamar tempat Nathan dirawat. Namun, saat membuka pintu, kamar itu kosong. Tidak ada tanda-tanda keberadaan Nathan. Haifa langsung tertegun.

"Hah! Kemana dia, Biy? Baru saja dia di sini dua hari yg lalu!" ujar Haifa, nada suaranya menunjukkan kebingungan sekaligus kekhawatiran.

Hamzah pun segera menghampiri meja perawat, bertanya kepada suster yang sedang bertugas. "Permisi, sus. Pasien yang kemarin ada di kamar itu, Nathan, kemana ya? Apakah dia dipindahkan ke ruangan lain?"

Suster itu menatap Hamzah dengan sopan, lalu menjawab, "Maaf, Pak. Pasien tersebut sudah pulang kemarin bersama teman-temannya."

"Pulang?" Hamzah mengulangi kata itu dengan nada bingung, sementara Haifa yang berdiri di belakangnya hanya terdiam.

"Betul, Pak. Permisi," ujar suster itu lagi sebelum berlalu meninggalkan mereka.

Hamzah dan Haifa saling bertukar pandang, keduanya tenggelam dalam kebingungan. "Kenapa dia pulang tiba-tiba? Tidak bilang apa-apa?" gumam Haifa, lebih kepada dirinya sendiri.

Hamzah merasakan ada sesuatu yang tidak biasa. Namun, ia mencoba menenangkan Haifa. "Mungkin dia sudah merasa lebih baik, Ifa. Kita cari tahu nanti, ya. Yang penting, kita doakan yang terbaik untuknya."

Haifa mengangguk pelan, meski hatinya masih bertanya-tanya. Ada rasa tak nyaman yang menyelinap di benaknya, namun ia memilih diam. Dalam perjalanan pulang, pikiran Haifa dipenuhi bayangan tentang Nathan, berharap semuanya benar-benar baik-baik saja.

...----------------...

"Hey, Nathan, ngapain lo ngelamun dari tadi?" tanya Arsen Keandra sambil menepuk bahu sahabatnya yang berdiri di balkon.

Nathan menoleh sesaat, kemudian mengalihkan pandangan kembali ke langit malam. "Hemm, gue lagi kepikiran perempuan itu, bro," gumamnya.

Arsen mengerutkan dahi. "Perempuan siapa? Jangan bilang lo mikirin orang lain lagi. Lo kan udah punya Cleo, bro. Cewek secantik dan sebaik itu masih kurang buat lo?"

Nathan tersenyum kecil, tapi senyuman itu terasa kosong. "Ini beda, Sen. Lo nggak ngerti. Mata perempuan itu... Warnanya biru, bercahaya di tengah gelap malam. Tatapannya bikin hati gue tenang. Ada sesuatu di sana, sesuatu yang nggak pernah gue rasain sebelumnya."

Arsen mendengus, menatap Nathan seolah ia sedang bicara hal yang konyol. "Nathan, lo sadar nggak sih apa yang lo bilang? Lo udah punya Cleo Mahendra, cewek yang jelas-jelas sayang banget sama lo. Terus lo malah mikirin cewek nggak jelas yang bikin lo celaka waktu itu? Serius, bro?"

Nathan hanya menatap Arsen dengan ekspresi datar. "Lo nggak ngerti, Sen. Kalau lo ngeliat dia, gue yakin lo juga bakal ngerasain apa yang gue rasain. Tatapannya itu kayak ngasih kedamaian yang nggak bisa dijelasin."

Arsen memutar bola matanya dengan frustrasi. "Bro, lo tuh main api. Kalau Cleo tau, lo bakal kehilangan dia. Dan gue yakin itu bakal jadi salah satu penyesalan terbesar lo. Jadi, pikirin lagi deh."

Nathan menghela napas panjang, tapi matanya tetap terarah ke luar balkon. "Hemm... Gue tau ini salah. Tapi gue nggak bisa ngelupain dia, Sen. Tatapan itu kayak udah terukir di kepala gue."

Arsen hanya bisa menggelengkan kepala. Dalam hatinya, ia tahu Nathan sedang bergulat dengan sesuatu yang tidak sederhana. Tapi, ia juga sadar betapa berbahayanya permainan hati yang sedang dijalani sahabatnya. "Lo bakal ribet sendiri, bro. Jangan bilang gue nggak ngingetin."

Nathan diam, tak membalas. Dalam pikirannya, bayangan perempuan bermata biru itu terus hadir, seolah menjadi misteri yang tak bisa ia abaikan. Namun, di sudut lain hatinya, ia tahu Cleo adalah sesuatu yang nyata, yang mungkin akan hilang jika ia terus bermain dengan perasaan ini.

...----------------...

Beberapa hari berlalu, Haifa mulai memasuki babak baru dalam hidupnya di kampus barunya. Dengan penuh harapan dan tekad, ia mengenakan jubah hitam yang serasi dengan kerudung pasmina yang berwarna hazelnut yang membingkai wajah cantiknya. Penampilannya semakin memukau, seolah siap menghadapi dunia yang baru.

"Assalamu'alaikum, Bi. Haifa berangkat kuliah dulu," ucapnya dengan lembut kepada Bibi Ati, yang setia menemani di rumah besar itu. Bibi Ati, wanita asal Kalimantan yang telah ditugaskan oleh Abiy Hamzah untuk menjaga Haifa di daerah yang begitu asing baginya, hanya bisa tersenyum penuh kasih.

"Eh, Non, sarapan dulu ya? Nanti Nyonya marah kalau Non nggak sarapan," kata Bibi Ati, khawatir melihat Haifa yang terburu-buru.

Haifa menatap sebentar, merasa malas untuk menunda-nunda. "Hem, Haifa sarapan di kampus aja, Bi. Nggak usah repot-repot," jawabnya, berusaha melangkah cepat menuju pintu.

"Non, ini bekalnya. Kan Non bilang mau sarapan di kampus. Lagipula Abiy Hamzah pesan supaya Pak Jek yang antar Non ke kampus," tutur Bibi Ati dengan lembut, seraya menyerahkan kotak bekal yang sudah dipersiapkan dengan penuh perhatian.

Haifa menunduk sejenak, raut wajahnya tampak sedikit kesal, namun dia tak bisa membantah. "Hmm, baiklah, Bi," ucapnya dengan suara yang terdengar enggan.

Bibi Ati menghela napas pelan, lalu mendekatkan diri ke Haifa. "Non, jangan cemberut begitu. Senyum dong, semangat kuliahnya ya. Kita kan harus tetap tegar menghadapi semuanya," ujar Bibi Ati dengan penuh kasih sayang, mencoba memberi semangat kepada Haifa yang terlihat sedikit tertekan.

Haifa menatap Bibi Ati sejenak, hatinya terasa hangat meskipun suasana hatinya sedang tidak baik. Perlahan, senyum tipis muncul di wajahnya, meski masih terasa ragu. "Terima kasih, Bi. Haifa akan berusaha," jawabnya, mencoba menenangkan dirinya sendiri, walau ada perasaan campur aduk yang menghantui.

...----------------...

Haifa menarik napas panjang, mempersiapkan diri sebelum memasuki gerbang kampus. Dengan langkah perlahan, ia berjalan maju, mengucapkan dalam hati, "Bismillahirrahmanirrahim," memohon agar langkahnya diberkahi.

Tiba-tiba, seseorang menghampirinya dengan senyum lebar. "Hai, kamu Haifa az-Zahra Harashta, ya?" suara perempuan itu terdengar ceria, mengingatkan Haifa pada suara teman-temannya yang selalu penuh energi.

Haifa menatapnya sebentar, agak terkejut, lalu menjawab dengan kebingungan. "Hm, iya. Hehe, kok tahu?"

Perempuan itu tertawa kecil. "Jelas dong, aku kan tahu. Kamu kan cukup terkenal di sosial media, dan kamu juga yang megang kuasa brand az-Zahra. Kamu juga yang jadi model buat promosiin brand itu. Alhamdulillah, keren banget sih, aku bisa satu kampus sama kamu," ucapnya dengan penuh semangat, mata bersinar-sinar.

Haifa hanya tersenyum tipis, sedikit terkejut dengan sambutan hangat tersebut. "Oh, ternyata begitu ya," gumamnya pelan.

Perempuan itu mengulurkan tangan dengan senyum yang semakin lebar. "Hm, by the way, namaku Maya," ucapnya ramah.

Haifa terdiam sejenak, ragu. Namun, dia akhirnya menyambut uluran tangan Maya dengan lembut, meskipun masih merasa sedikit terkejut dengan antusiasme yang ditunjukkan oleh orang baru di depannya. "Senang bertemu denganmu, Maya," jawab Haifa dengan sopan, meski hatinya masih penuh dengan perasaan campur aduk.

Haifa sedikit tersenyum mendengar pernyataan Maya, lalu melihat sekitar dengan penuh perhatian. "Ngomong-ngomong, di mana ya jurusan Al-Qur'an Hadits?" tanyanya, berharap menemukan petunjuk.

Maya yang mendengar pertanyaan itu langsung tampak terkejut, lalu tersenyum lebar. "Ouhhh, kamu ngambil jurusan itu juga? Kita sama dong!" ucapnya dengan semangat, matanya berbinar penuh antusiasme.

Haifa menatap Maya, agak terkejut dengan reaksi yang begitu ceria. "Oh, ternyata kita satu jurusan," gumamnya.

Maya lalu mengulurkan tangan dan menarik lembut tangan Haifa, "Ayok, kita ke kelas bareng. Pasti seru kalau kita kuliah bareng, kan?" ujarnya, dengan energi yang meluap.

Haifa hanya bisa tersenyum kecil, merasa sedikit canggung, namun ia merasa ada sesuatu yang menyenangkan dari ajakan Maya. "Baiklah, ayo," jawab Haifa, mengikuti langkah Maya, meski pikirannya masih mengawang di dunia yang baru ini.

...****************...

Bel berbunyi menandakan waktu kuliah telah selesai. Suara riuh mahasiswa terdengar memenuhi lorong kampus. Salah seorang dosen melangkah keluar kelas sambil tersenyum. "Makasih, anak-anak. Sampai bertemu kembali," ucapnya ramah.

Haifa membereskan buku catatannya dan berjalan keluar kampus. Ia menikmati angin sore yang sejuk sambil melangkah pelan menuju gerbang. Namun, tiba-tiba seseorang dari kelas lain memanggilnya dengan suara antusias, "Hai, Haifa! Kamu Haifa kan?"

Haifa menoleh, mendapati seorang mahasiswi yang melangkah cepat ke arahnya. "Oh, iya, saya Haifa," jawabnya sopan, meskipun agak bingung.

Mahasiswi itu tersenyum lebar. "Hm, boleh minta foto bareng nggak?" tanyanya dengan nada sedikit memohon, tatapannya penuh harap.

Haifa terdiam sesaat, lalu mengangguk kecil. "Hem, boleh," ucapnya singkat.

Mereka pun berfoto bersama, dengan mahasiswi itu tersenyum cerah di samping Haifa. "Makasih, Haifa!" ucapnya ceria sebelum berlari kecil menjauh, tampak sangat puas.

Haifa hanya menggelengkan kepala pelan, tersenyum tipis pada dirinya sendiri. Ia melanjutkan langkahnya menuju gerbang kampus, namun rasa lelah mulai terasa.

Di dekat jalan, ia melihat sosok yang familiar—Pak Jek, sopir keluarganya, sudah menunggu dengan sabar di samping mobil. Haifa menarik napas dalam-dalam, merasa sedikit bersalah. "Ya Allah, ternyata Ifa udah ditunggu aja," gumamnya lemas.

"Sore, Non," sapa Pak Jek dengan senyum ramah sambil membukakan pintu mobil untuknya.

Haifa tersenyum kecil, mengangguk. "Makasih, Pak," ucapnya lirih, lalu masuk ke dalam mobil. Perjalanan pulang pun dimulai, ditemani senja yang mulai merona di langit.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!