SEKUEL TERPAKSA MENIKAHI PEMBANTU
Giana yang sejak kecil kehilangan figur seorang ayah merasa bahagia saat ada seorang laki-laki yang merupakan mahasiswa KKN memberikan perhatian padanya. Siapa sangka karena kesalahpahaman warga, mereka pun dinikahkan.
Giana pikir ia bisa mendapatkan kebahagiaan yang hilang setelah menikah, namun siapa sangka, yang ia dapatkan hanyalah kebencian dan caci maki. Giana yang tidak ingin ibunya hancur mengetahui penderitaannya pun merahasiakan segala pahit getir yang ia terima. Namun, sampai kapankah ia sanggup bertahan apalagi setelah mengetahui sang suami sudah MENDUA.
Bertahan atau menyerah, manakah yang harus Giana pilih?
Yuk ikuti ceritanya!
Please, yang gak benar-benar baca nggak usah kasi ulasan semaunya!
Dan tolong, jangan boom like atau lompat-lompat bacanya karena itu bisa merusak retensi. Terima kasih atas perhatiannya dan selamat membaca. ♥️♥️♥️
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon D'wie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
SSM 18
"Assalamu'alaikum, Bu," ucap Giana bersemangat.
"Wa'alaikumussalam. Wah, sepertinya semangat banget! Ada apa nih? Apa ada kabar bahagia?" tanya Via dari seberang sana. Setelah Albirru dan Desti pulang, Giana pun berinisiatif menghubungi ibunya untuk memberikan kabar bahagia. Ia yakin, ibunya pasti senang.
"Ibu tau aja. Aku memang punya kabar bahagia untuk ibu."
"Apa sih? Ibu jadi penasaran. Apa kamu mau pulang ke mari, Sayang?"
Giana menggaruk kepalanya. "Bukan, Bu. Maaf, untuk sementara Giana belum bisa pulang kampung. Ibu nggak papa 'kan? Tapi kalau ibu memang mau aku pulang, nanti Giana usahakan pulang deh."
"Eh, nggak usah. Kalau kamu belum mau pulang, ya nggak papa. Tapi ibu jadi penasaran nih, ada kabar bahagia apa?"
Giana pun tersenyum lebar. Ia mengusap perutnya yang sedikit membukit. Ia begitu bahagia mengetahui kehamilannya. Meskipun berat harus hamil seorang diri, tapi Giana tak masalah. Ia justru bahagia mengetahui fakta kalau ia tidak mandul.
"Bu, Gia hamil."
"Apa? Apa kamu tadi bilang, Nak? Kamu ... hamil?" Via syok.
Ingatan masa lalunya berkelebat begitu saja. Meskipun ia masih lebih beruntung karena saat ia hamil, ada Asrul yang justru menjadi suaminya dan kedua orang tua Asrul yang mau menerima dirinya, tapi tidak dengan Giana. Ia justru dicerai. Orang tua mantan suaminya tidak menyukai putrinya.
Dada Via seketika sesak. Kenapa putrinya justru harus merasakan kejadian serupa dengannya? Bahkan apa yang ia alami jauh lebih menyakitkan.
"Bu, ibu nggak papa?" tanya Giana cemas saat tidak mendengar suara sang ibu.
"I-iya. Ibu nggak papa. Selamat ya, Nak. Akhirnya kamu berhasil membuktikan kalau kamu nggak mandul," ujar Via tersenyum sendu.
"Iya, Bu. Makasih. Giana senang sekali. Akhirnya, anak yang sudah lama Giana nanti-nantikan hadir juga. Yah, walaupun kehadirannya di saat tak tepat, tapi Giana yakin, ini sudah ketentuan yang terbaik dari Allah."
"Kamu benar, Sayang. Oh ya, jadi bagaimana, apa kamu sudah mengabarkan tentang kehamilanmu pada Herdan?"
Giana reflek menggeleng. Seketika Giana sadar, mana mungkin ibunya bisa melihat gelengannya.
"Nggak, Bu. Biar ajalah. Giana nggak ada niat mau kasi tau. Toh kita sudah berpisah. Mas Herdan juga sudah menikah dengan wanita itu yang konon katanya tidak mandul, lebih cantik, pintar, dan berpendidikan. Kami sudah tidak cocok. Mau memberitahu pun rasanya percuma. Enak kalo percaya dan mau tanggung jawab. Lah, nanti mereka nggak percaya. Atau mereka tiba-tiba mau merebut anak Gia, nggak ah. Mending kayak gini aja. Giana justru lebih bahagia seperti ini. Apalagi Gia memiliki teman-teman yang baik, bos Gia juga baik banget. Jadi ibu nggak usah cemas di sana. Hidup Gia sekarang justru lebih menyenangkan," papar Giana membuat Via bernafas lega. Setidaknya, ia bahagia di sana. Kalaupun kembali ke kampung, belum tentu Giana bisa bahagia seperti itu.
Setelah bercengkrama beberapa saat, panggilan pun ditutup. Giana tersenyum bahagia.
"I'm single, i'm very happy, hum," gumamnya yang memang merasa hidup sendiri seperti ini jauh lebih baik dibanding terikat dengan pernikahan.
Menjelang malam, Giana mulai merasa kelaparan. Ia bingung, ia tidak memiliki stok makanan di sana. Apalagi ia belum memiliki kulkas. Ingin keluar, tapi tubuhnya belum benar-benar pulih. Rasa lemas membuatnya tak sanggup untuk menuruni tangga satu persatu ke bawah sana.
"Apa aku pesan online aja, ya?" gumam Giana. "Tapi ...." Giana berpikir. Ia harus lebih berhemat sekarang. Ia harus mulai menabung untuk membeli perlengkapan bayi dan membayar biaya persalinannya nanti. Saat di kampung, ia memang mendapatkan jaminan kesehatan dari pemerintah. Tapi itu sudah lama. Sudah lima tahun yang lalu. Sampai sekarang, ia belum melakukan pemutakhiran data. Ia yakin, kartu jaminan kesehatannya itu sudah tidak aktif. Kalaupun aktif, kartu itu hanya bisa digunakan di faskes yang terdaftar.
Giana resah. Kehamilan membuatnya jadi sering lapar.
"Ah, tak apa-apalah. Sesekali juga, 'kan. Bukannya setiap hari."
Giana pun mengambil ponselnya dan membuka aplikasi yang menjual makanan delivery order. Baru saja Giana hendak memilih apa yang ia inginkan, tiba-tiba bel berbunyi. Giana pun segera berjalan menuju pintu dan membukanya. Tiba-tiba di hadapannya sudah berdiri dua orang laki-laki.
"Benar ini rumah ibu Giana?" tanya salah seorang dari mereka.
"Benar. Maaf, bapak-bapak ini siapa ya? Ada apa mencari saya?" tanya Giana penasaran.
"Saya kurir toko Jayaraya Electronic, Bu. Saya diminta mengantarkan beberapa barang ke alamat ini."
"Apa? Barang? Barang apa?" Bukannya menjawab orang itu justru memanggil teman-temannya untuk membawa masuk barang-barang ke dalam rumah Giana. Giana terkejut. Ia mencoba menghentikan, tapi orang-orang itu justru membawa masuk barang-barang yang terdiri atas kulkas, televisi, kipas angin, dan mesin cuci.
Mata Giana terbeliak. Ia tidak merasa membeli barang-barang itu sama sekali.
"Pak, maaf, sepertinya ada yang salah di sini. Aku nggak ada pesan barang-barang ini, Pak. Kayaknya ini salah orang deh," ujar Giana.
Dahi orang itu berkerut. "Tapi benar 'kan nama ibu Giana? Di sini tertulis nama penerima Ibu Giana. Alamat rusun Merpati, lantai 3, nomor 37, benar?" ucap orang tersebut membuat Giana reflek mengangguk.
"Semua benar, Pak. Tapi saya tidak ada memesan barang-barang ini."
Orang itu tersenyum. "Mungkin suami ibu yang beli. Maaf, Bu, barang-barang ini mau diletakkan di mana? Soalnya setelah dari sini, kami masih harus mengantarkan barang ke alamat lain."
Giana menghela nafas. Ia pun terpaksa menerima barang-barang itu. Namun, ia tidak berniat menggunakannya sebab ia khawatir pemilik aslinya datang untuk memintanya kembali.
"Tolong tanda tangan di sini, Bu, sebagai bukti penerima."
Giana mengangguk kemudian segera menandatangani lembaran faktur tersebut. Belum selesai Giana dengan kebingungannya, tiba-tiba seorang bapak-bapak mengantarkan sayur mayur dan lauk pauk dari yang mentah sampai yang matang ke rumah Giana. Giana benar-benar bingung.
"Sebenarnya barang-barang ini punya siapa? Kalaupun memang ini untukku, siapa yang kasi? Kok nggak ada yang hubungi sama sekali sih?" gumam Giana setelah semua orang pergi.
Namun, hidung Giana seketika kembang kempis saat membaui aroma sate Padang. Tadi ia memang sempat menginginkan sate Padang. Pucuk dicinta ulam pun tiba, tanpa bersusah payah, apa yang diinginkan justru datang sendiri.
"Terima kasih orang baik. Mudah-mudahan ini emang buatku," ucap Giana yang perutnya sudah berdisko ria ingin segera diisi. Sejujurnya ia khawatir baik makanan maupun barang-barang itu salah kirim. Namun, karena ia sudah benar-benar lapar, ia pun akhirnya menyantap sate itu dengan lahap. Pikirnya, kalau memang sate ini pun salah kirim, ia masih sanggup menggantinya. Tapi tidak dengan barang-barang elektronik itu.
"Sebenarnya ini punya siapa sih? Siapa yang kirim? Kok bisa pas banget memang barang-barang itu aku butuhin. Cuma kalo mau beli, duitnya dari mana?" gumam Giana sambil menyantap satenya.
...***...
...Happy reading 🥰🥰🥰...
vote sudah meluncurr
tapi langsung Qobiltu🥰