Seorang kakak yang terpaksa menerima warisan istri dan juga anak yang ada dalam kandungan demi memenuhi permintaan terakhir sang Adik.
Akankah Amar Javin Asadel mampu menjalankan wasiat terakhir sang Adik dengan baik, atau justru Amar akan memperlakukan istri mendiang Adiknya dengan buruk?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Noor Hidayati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Senyuman Pertama
Amar terus mengikuti Mahira yang tengah memilah memilih berbagai macam buah-buahan segar, turut memegang apapun yang Mahira pegang seperti anak kecil tanpa ikut memasukkan ke kantong plastik yang tengah Mahira pegang.
Mahira yang melihat Amar demikian mencebikkan bibirnya sembari mengangkat kedua bahunya lalu beralih ke aneka macam sayuran.
"Entah apa yang dia pikirkan." gumam Mahira yang kemudian memasukkan selada air dan berbagai macam sayuran lainnya ke troli belanjanya.
"Hagh!" seketika Mahira terkejut ketika tiba-tiba Amar berdiri di belakangnya sambil menunjukkan buah durian tepat didepan wajahnya.
"Kamu tidak membeli ini?" tanya Amar dengan tatapan khasnya. Seolah tak mempedulikan Mahira yang masih berdebar karena kaget.
Belum juga mendapatkan jawaban dari Mahira, Amar melangkah dan berdiri di depan Mahira menunggu Mahira menjawab pertanyaannya sambil menunjuk buah durian yang Ia pegang.
"Aku tidak suka, jika kak Amar suka beli saja."
Tidak menjawab apa yang Mahira katakan, Amar kembali meletakkan buah durian itu ke tempatnya.
Amar melangkah kembali melangkah sambil melihat kesana kemari sampai tak sadar sudah sampai dimana Mahira berdiri hingga menabraknya. Reflek Amar berbalik badan dan mendekap tubuh Mahira yang hampir terjatuh.
"Mahira!"
Tubuh keduanya melengkung kebawah, dimana posisi keduanya saling berhadapan dengan jarak wajah yang begitu dekat.
Karena rasa gugupnya, Mahira yang berpegangan lengan Amar, semakin mencengkram kuat genggamannya hingga membuat Amar tersentak dari tatapan matanya begitu dalam. Amar menarik tubuh Mahira hingga posisi keduanya kembali berdiri dengan benar.
"Maaf," ucap Amar sambil mengelus-elus lengannya yang terasa perih.
"Aku juga minta maaf, Apa lengan mu perih?" tanya Mahira yang langsung menarik tangan Amar untuk melihat apa yang sudah ia lakukan, tapi Amar menolak dengan membalikkan badan, menyembunyikan rasa sakitnya.
Tidak mau kalah dengan Amar, Mahira juga memaksa untuk melihatnya sehingga tarik ulur pun terjadi.
"Biar aku lihat..."
"Tidak perlu."
"Aku cuma ingin lihat, jika memang terluka kita sekalian beli obat."
"Aku bilang tidak perlu Mahira."
Tidak mau mendengar apa yang Amar katakan, Mahira seperti anak kecil melompat-lompat untuk menggapai tangan Amar yang diangkat keatas.
Melihat sisi lain Mahira yang bersikap kekanak-kanakan, tanpa disadari Amar tersenyum menikmati pemandangan itu. Amar terus menatap wajah Mahira yang terus berusaha meraih tangannya. Hingga pada akhirnya Mahira berhasil meraih tangan Amar yang turut membiarkan Mahira melakukan apa yang dia inginkan.
Amar terus menatap Mahira yang langsung menggulung lengannya ke atas sambil melirik kepadanya dan mengatakan sesuatu yang entah tak dapat Amar denger karena terlalu fokus menatap wajahnya.
"Cantik." kata itu terucap dari hatinya seakan baru menyadari kecantikan yang Mahira miliki.
"Hagh! Kak Amar..."
Akhirnya Amar mendengar apa yang Mahira katakan ketika melihat ekspresi wajah Mahira yang terkejut melihat lengannya.
Amar mengalihkan pandangannya ke arah lengannya dimana terdapat beberapa goresan kuku akibat cengkraman tangan Mahira.
"Kak Amaaar... aku benar-benar minta maaf,"
"Ah sial, kenapa dia terlihat begitu imut saat merengek seperti itu." umpat Amar dalam hatinya.
"Kak Amar kenapa diam saja, katakan sesuatu."
"E-tidak tidak papa, ini hanya luka kecil." saut Amar yang kembali membenarkan lengan kemejanya.
"Beneran kak Amar gak papa, nanti kalau rabies gimana?"
Mendengar apa yang Mahira katakan Amar tak dapat menahan tawanya. Dengan menundukkan kepalanya Amar tertawa lepas untuk pertama kalinya. Hal itu membuat Mahira melongo mengingat Amar yang selalu bersikap dingin bagaikan puncak Dieng, kini tertawa lepas dihadapannya.
Bersambung...