Dipinang adiknya, tapi dinikahi kakaknya. Loh!! Kok bisa? Terdengar konyol, tapi hal tersebut benar-benar terjadi pada Alisya Mahira. Gadis cantik berusia 22 tahun itu harus menelan pil pahit lantaran Abimanyu ~ calon suaminya jadi pengecut dan menghilang tepat di hari pernikahan.
Sebenarnya Alisya ikhlas, terlahir sebagai yatim piatu yang dibesarkan di panti asuhan tidak dapat membuatnya berharap lebih. Dia yang sadar siapa dirinya menyimpulkan jika Abimanyu memang hanya bercanda. Siapa sangka, di saat Alisya pasrah, Hudzaifah yang merupakan calon kakak iparnya justru menawarkan diri untuk menggantikan Abimanyu yang mendadak pergi.
*****
"Hanya sementara dan ini demi nama baikmu juga keluargaku. Setelah Abimanyu kembali, kamu bisa pergi jika mau, Alisya." ~ Hudzaifah Malik Abraham.
Follow ig : desh_puspita
******
Plagiat dan pencotek jauh-jauh!! Ingat Azab, terutama konten kreator YouTube yang gamodal (Maling naskah, dikasih suara lalu up seolah ini karyanya)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 12 - Dia Cupu
Persis menggiring anak bebek, Umi Zalina sesemangat itu. Padahal keduanya bukan darah daging, tapi baik Hudzai maupun Alisya sama-sama dia sayangi tak ubahnya anak sendiri.
Bagaimana tidak? Sewaktu dia didekap nestapa kala sang suami mendekam di penjara, Hudzai kecil selalu menyeka air matanya. Hingga kedua buah hatinya hadir, Hudzai sudah mengerti dan memposisikan diri sebagai kakak walau belum bisa berbuat banyak.
Sementara Alisya jangan tanya, sejak pertama dia melihatnya duduk dan menangis di depan pintu gerbang panti asuhan 18 belas tahun lalu hingga kini, perasaan Zalina tidak berubah.
Kala itu Alisya diperkirakan berusia 4 tahun. Tidak ada yang tahu umur pastinya, tapi mereka hanya menerka dan menyesuaikan saja. Pun tentang identitas, sama sekali tidak ada di sana.
Hanya ada sebuah surat yang berisikan amanah untuk menjaga Alisya tanpa alasan jelas di dalam saku celananya. Hingga saat ini mereka juga tidak mengerti, siapa yang tega membuang seorang putri selucu itu.
Padahal, jika dilihat dari pakaian yang Alisya kenakan rasanya tidak mungkin karena ekonomi. Terlebih lagi sewaktu menangis pun yang dia panggil adalah Papi, sungguh Zalina tidak habis pikir jika diingat lagi.
Sempat berpikir jika Alisya adalah korban penculikan. Akan tetapi, hingga berbulan-bulan di nanti tidak ada laporan anak hilang atau semacamnya.
Pun orang yang mencarinya ke panti juga tidak. Dan kini, anak itu sudah menikah juga tidak ada yang tahu identitas orang tuanya.
Menyedihkan memang, karena itulah Umi Zalina menjadi yang paling terpukul tatkala Abimanyu meninggalkan Alisya tepat di hari pernikahannya dan sangat ingin marah.
Bukan marah karena malu, tapi yang dia pikirkan adalah perasaan Alisya. Tak heran, ketika Hudzai melangkah maju dan mengatakan akan bertanggung jawab menggantikannya, Umi Zalina bahagia luar biasa.
Terbukti jelas bagaimana ekspresinya mengantar Hudzai dan Alisya ke depan. Hingga tiba teras, Syila dan Zean yang merupakan orangtua kandung Hudzai saling pandang tatkala melihat wanita dengan pakaian syar'i itu berada di belakangnya.
"Ayo, Sayang ... pamit dulu sama Papa dan Mamamu."
Sesuai arahan, mereka pamit layaknya anak yang hendak bepergian. Tapi memang tidak begitu jelas kemana tujuannya, hanya pamit pergi dan kedua orang tuanya juga iya-iya saja.
"Pakai helm-nya ... Alisya roknya perhatiin." Dari kejauhan, Umi Zalina tetap berusaha mengingatkan.
"Iya, Umi ...."
"Hudzai hati-hati!!"
"Iyaaaa ... Pergi dulu, Assalamualaikum!!"
"Waalaikummussalam, pegangan, Sya."
Hingga Alisya dan Hudzai meninggalkan pekarangan rumahnya, wanita itu terus melambaikan tangan. Ada kebahagiaan tersendiri melihat Hudzai tidak menolak, dan Alisya juga tidak terbelenggu dalam nestapa.
"Mereka mau kemana, Sayang?"
Jika tadi hanya ada Zean dan sang istri, kini sudah ada Sean turut bergabung dan sama-sama bingung apa tujuan Zalina.
"Anterin mukena sama Pak Bitoh."
"Loh bukannya tugas Habil?"
"Kali ini Hudzai ... sekalian biar lengket sama istrinya," balas Umi Zalina yang kemudian membuat mereka kompak menganggukkan kepala.
"Bisa saja istriku, seperti kita dulu ya?"
"Iya, Mas, kita dulu kan begitu."
Keduanya kembali bernostalgia masa awal menikah. Syila dan Zean yang tak punya kenangan serupa jelas hanya menjadi pendengar karena tidak mengalaminya.
"Kalian dulu bagaimana memangnya?" tanya Zean penasaran, juga ada sebal sebenarnya.
"Kurang lebih seperti mereka ... tapi bedanya kita ke pasar dulu ya?"
"Iya awalnya, kamu ajak ke pasar tahu-tahu diajak ke kebon."
"Ha-ha-ha-ha."
Gelak tawa Sean menggelegar, ternyata jika diingat sekarang jadi terkesan lucu. Akan tetapi memang benar, mereka jadi lebih dekat karena kejadian itu.
"Oh, modusmu sewaktu muda begitu ternyata?"
"Bukan modus, Zean, tapi usaha."
"Halah, modus itu namanya ... menipu, iya, 'kan Sayang?" tanya Zean meminta pembenaran sang istri yang berdiri di sebelahnya.
"Tidak bisa dibilang menipu juga, setiap pria punya cara tersendiri untuk melakukan pendekatan bersama pasangannya."
Zean berdecak, sang istri tidak berada di pihaknya. "Jawab saja iya apa susahnya, Syila, kamu istriku padahal."
"Lah aneh, Syila benar, Zean ... setiap pria memang punya cara yang berbeda, tergantung perkembangan otaknya saja."
"What? Maksudmu apa?"
"Maksudku tergantung kreativitas ... kau ingat Azkara? Nah dia juga punya prinsip yang sama, kurang lebih seperti aku sewaktu muda ... memanfaatkan kesempatan tidak masalah, asal tujuannya baik rasanya sah-sah saj_"
"Wah ada apa ini? Kenapa aku disebut-sebut?"
.
.
Baru juga disebut sekali, belum tiga kali tahu-tahu sudah datang dari belakang. Tampak tidak mau ketinggalan dan khawatir mati penasaran.
"Ada apaan, Om?"
"Itu, si Hudzai."
"Iya kenapa? Pohon kurma itu bikin ulah apa gimana?"
Sean terkekeh, tak segera menjawab. "Bukan, tapi keluar sama Alisya barusan."
"Wih ada perkembangan, atas inisiatif sendiri, Om?"
"Menurutmu? Apa mungkin atas inisiatif sendiri?" tanya Sean yang spontan Azkara gelengi.
"Tidak, kita semua tahu dia cupu ... bagaimana mung_"
"Heh? Bilang apa barusan?"
Azkara terperanjat, matanya membola dan secepat mungkin menepuk bibirnya.
"Aduh, maaf, Om ... maksudnya bukan begitu."
"Lalu apa?"
"Po-polos, iyaa!! Hudzai polos, hidupnya cuma cari ilmu dan cari uang, jadi tidak mungkin punya inisiatif semacam itu ... sekarang coba tebak, selama di motor pasti jarak duduk mereka segini," ucap Azkara sengaja merentangkan tangan demi membayangkan jarak antara Hudzai dan Alisya di atas motor.
"Tidak sampai satu meter juga, Ka, hiperbola," celetuk Abi Sean menggeleng pelan.
"Tahu nih, Azka kebiasaan ... kalau jaraknya sampai segitu Alisya duduk dimananya?"
"Astaghfirullah ini hanya istilah, Om. Maksudku begini, kan sejauh yang kita ketahui sedari dulu Hudzai itu anti perempuan! Sewaktu awal kuliah mungkin masih bersedia, tapi Om lihat ketika dewasa, apa ada dia bawa gebetan or someone special? Tidak 'kan? Coba kita hitung berapa gadis yang pernah duduk di motornya?"
Semua tampak berpikir, Zean yang selalu membanggakan Hudzai agak tutup mata di bagian ini dan berlagak menghitung dengan sepuluh jarinya.
"Satu!!"
Satu jawabannya, tapi memperlihatkan tujuh jari. Tidak ada yang menganggap hal itu sebagai masalah, tapi mereka kompak berpikir positif, mungkin enamnya kunti.
"Nah iya, satu kan? Si Flora, dan itu juga sahabat katanya."
Zean mengangguk pelan, benar adanya memang begitu. Hendak membela diri juga percuma, memang fakta putranya yang satu itu cupu.
"Iyaa, kalian benar ... Dia cupu, menyesal aku hanya fokus tentang akademik karena ternyata ilmu tentang menaklukan wanita masih nol besar," pungkas Zean sebelum berlalu pergi meninggalkan tempat itu yang kemudian Syila ikuti.
"Ck, kau ini ... lihat Zean jadi sedih."
"Aku hanya bicara fakta, Om, memang benar 'kan? Hudzai tu cupu ... aku bahkan tidak yakin dia berani meminta istrinya buka cadar, apalagi minta yang lebih dari itu."
.
.
- To Be Continued -