Geya dipaksa menikahi kakak iparnya sendiri karena sang kakak meninggal karena sakit. Dunia Geya seketika berubah karena perannya tidak hanya berubah menjadi istri melainkan seorang ibu dengan dua anak, yang notabenenya dia adalah keponakannya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lin_iin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Diintrogasi
***
"Ibu mau ngomong."
Nada bicara ibu terdengar penuh amarah sekaligus kekecewaan, meski ekspresinya masih terlihat cukup tenang. Dan bodohnya aku malah meresponnya dengan gelengan kepala, yang sontak saja langsung membuat ibu melotot diikuti dengusan tidak percaya.
"Mau Ibu ngomong di sini?"
Big no! Itu sama sekali tidak boleh terjadi, bisa gawat kalau seandainya terjadi.
Maka tanpa perlu berpikir panjang, aku berdiri dan mengajak Ibu untuk berbicara di tempat yang sepi. Karena sudah jelas aku akan dimarahi Ibu habis-habisan.
Benar, fakta kalau aku kembali bekerja memang tidak diketahui pihak keluargaku maupun keluarga Mas Yaksa. Aku tahu aku akan ketahuan cepat atau lambat, hanya saja aku tidak menyangka kalau akan secepat ketahuan dan terlebih lagi Ibu yang memergokiku. Sama saja sebenarnya, mau Mama atau Ibu yang memergoki duluan sudah jelas dan pasti aku akan mendapat teguran.
"Kamu sengaja mau bikin malu Ibu?"
Ibu tidak membentakku seperti dugaanku. Beliau masih dapat menguasai diri dengan baik, mungkin mengingat keberadaan kami yang sedang berada di wilayah besannya. Mana selama dua periode berturut-turut besan Ibu kan keluarga Mas terus.
Meski Ibu tidak membentakku, tapi dapat kurasakan sorot mata tajam yang seakan siap mengulitiku hidup-hidup. Nada bicaranya pun terdengar penuh dengan amarah yang sebisa mungkin ia tahan.
"Enggak gitu, Bu," jawabku pada akhirnya, dengan suara pelan.
Saat ini posisinya aku yang salah, jelas sulit bagiku untuk mendebat Ibu. Bahkan saat ini kepalaku tertunduk takut karena perasaan bersalah.
"Kamu pikir kami menikahkan kalian demi apa, Ge?"
"Demi Alin dan Javas, Bu," jawabku kemudian.
"Lalu apa yang kamu lakukan sekarang? Bekerja? Kamu lupa siapa suami kamu sekarang? Atau bahkan kamu lupa statusmu sekarang?"
Masih dengan posisi kepala tertunduk, aku menggeleng cepat. Mana mungkin aku lupa dengan fakta ini kalau setiap sebelum tidur dan setelah bangun orang yang ku lihat pertama kali adalah Mas Yaksa.
"Enggak, Bu, Ge tetap mengusahakan untuk mengurus mereka."
"Apa segitu sulitnya untuk kamu ngalah, Ge? Kenapa egomu begitu besar sehingga susah banget Ibu bilangin?"
Aku tersinggung sekaligus tidak terima. "Bu, dengan menurut untuk menikah dengan Mas Yaksa, kakak iparku sendiri apa menurut ibu belum cukup?"
"Jelas belum kalau kelakuan kamu masih begini. Yang dibutuhkan Yaksa bukan hanya status, melainkan keberadaan kamu, pengabdian kamu terhadap Yaksa sebagai suamimu. Peran yang harusnya kamu lakukan terhadap kedua ponakan kamu yang sekarang sudah jadi anak sambung kamu, Ge. Kamu ini sudah dewasa, berhenti bersikap egois dan ingat posisi kamu!"
Ibu terlihat semakin kepayahan dalam mengatur emosinya.
"Kamu harus ingat Ge, orang yang membuat kamu bisa berkuliah itu bukan Ibu, melainkan keluarga Yaksa. Sudah seharusnya kamu membalas budi, bukannya malah bertindak sesuka hati."
Bertindak sesuka hati? Aku sendiri bahkan lupa melakukannya. Setelah mengetahui bahwa kakak satu-satu meninggal dunia, aku hanya dipaksa menuruti semua orang. Lalu saat aku mencoba mempertahankan sesuatu dengan mudahnya aku dituduh demikian, bahkan oleh Ibuku sendiri perempuan yang telah membuatku berada di dunia ini.
"Kamu harus segera berhenti, secepatnya. Ibu nggak mau tahu. Dan Ibu harus bicara dengan kalian berdua," lanjutnya kemudian. Lalu pergi meninggalkanku begitu saja.
Mas Yaksa :
Mas
Kita ketahuan
***
Di sini lah aku berada di ruang tengah rumah, duduk bersebelahan dengan Mas Yaksa dengan wajah penuh ketakutan. Di hadapan kami ada Ibu dengan pandangan tidak bersahabatnya sama sekali.
Mas Yaksa terlihat sama sekali tidak khawatir atau cemas, ekspresinya terlihat tenang dan kalem seperti biasa. Ia juga tidak ada inisiatif untuk menenangkanku. Tapi apa memang yang bisa kuharapkan? Dibanding menenangkanku mungkin Mas Yaksa lebih seperti menyukurkan karena aku yang menolak fokus mengurus Alin dan Javas.
Tapi kalau dipikir-pikir aku tidak sepenuhnya menolak di awal, Mas Yaksa duluan yang menawarkan itu. Sebagai seorang perempuan yang ingin tetap bekerja meski sudah menikah dan memiliki anak, meski hanya anak sambung, tetap saja aku tidak ingin menyia-yiakan kesempatan ini bukan?
Tubuhku reflek menegang tegang saat sebelah tangan Mas Yaksa merangkul pundakku sambil mengusapnya dua kali. Pandangan kami bertemu, aku terkejut karena perlakuannya sedangkan Mas Yaksa mungkin sedikit kaget karena merasakan tubuhku yang mendadak menegang.
Apakah dia bisa mendengar suara hatiku?
"Mas denger?" tanyaku seperti orang bodoh.
Mas Yaksa menatapku dengan wajah kebingungannya.
"Jujur Ibu benar-benar kecewa dengan kalian berdua. Sebenarnya apa yang sedang coba kalian rencanakan? Kenapa Nak Yaksa dengan mudahnya membiarkan Geya tetap bekerja? Dia harusnya di rumah ngurus Alin, Javas, dan Nak Yaksa."
"Geya melakukan semuanya. Ngurus Yaksa, Alin, dan Yaksa, Bu. Dan keputusan membiarkan Geya untuk tetap bekerja bukan keputusan mudah seperti yang Ibu sebutkan. Keputusan ini ada karena kesepakatan bersama. Baik Yaksa maupun Geya, kami sama-sama mencoba untuk menerima semua konsekuensinya."
"Bagaimana kalau sampai Mama kamu tahu?"
"Insha Allah Mama akan mengerti pelan-pelan karena semua ini tidak mudah bagi Geya."
"Lalu kamu? Memang ini semua mudah bagi kamu Nak Yaksa?"
Mas Yaksa diam. Hal ini sontak membuatku menoleh ke arah Mas Yaksa, mencoba mencari jawaban atas pertanyaan Ibu barusan.
"Enggak mudah kan?" tebak Ibu, "jelas. Hidup ini tidak ada yang mudah. Fakta melihat putri bungsu ibu harus menikah dengan mantan suami kakaknya juga nggak mudah, Nak Yaksa bagi Ibu."
Mendengar pengakuan Ibu, aku langsung menatap beliau. Dapat kulihat kedua matanya berkaca-kaca khas orang yang sedang menahan tangisnya. Ternyata selama ini aku salah, aku pikir yang kesulitan menerima fakta ini hanya aku sendiri. Tapi ternyata aku salah.
"Apa kalian membuat perjanjian nikah kontrak?"
Kedua bola mataku membulat saat mendengar pertanyaan Ibu.
"Bu, kita tidak sedang syuting sinetron," balasku sedikit kesal.
Meski pernikahan ini ada karena keterpaksaan semata, aku tidak mau mempermainkan sebuah pernikahan. Aku hanya ketahuan bekerja kembali tapi kenapa pikiran ibu sampai sejauh ini?
"Lalu kalian sudah berhubungan badan?"
Aku dan Mas Yaksa memilih sama-sama diam dan Ibu langsung menyimpulkan.
"Geya perlu waktu, Bu, sejujurnya Yaksa juga."
"Nak Yaksa apa kamu tidak merasa kalau terlalu memanjakan Geya?"
Pertanyaan Ibu terdengar seperti sebuah sindiran.
Mas Yaksa menanggapinya dengan kalem dan tenang seperti tadi. "Geya istri Yaksa sekarang, Bu, sudah sewajarnya Yaksa manjain dan memberi kenyamanan untuk istri Yaksa kan? Ini istri Yaksa, Bu, bukan istri orang."
Pandangan Ibu sepenuhnya fokus padaku. "Jadi kamu masih mau bekerja, Bu."
Ragu-ragu aku mengangguk pelan.
"Yakin setelah seluruh staff dan karyawan rumah sakit tahu status kamu?"
"Bu?"
To be continue,
author nya dah pintar nih......... ☺