"The Secret Behind Love." adalah sebuah cerita tentang pengkhianatan, penemuan diri, dan pilihan yang sulit dalam sebuah hubungan. Ini adalah kisah yang menggugah tentang bagaimana seorang wanita yang bernama karuna yang mencari cara untuk bangkit dari keterpurukan nya, mencari jalan menuju kebahagiaan sejati, dan menemukan kembali kepercayaannya yang hilang.
Semenjak perceraian dengan suaminya, hidup karuna penuh dengan cobaan, tapi siapa sangka? seseorang pria dari masa lalu karuna muncul kembali kedalam hidupnya bersamaan setelah itu juga seorang yang di cintai nya datang kembali.
Dan apakah Karuna bisa memilih pilihan nya? apakah karuna bisa mengendalikan perasaan nya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon jhnafzzz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 5. Merah di pipi?
Karuna masih duduk di sofa, tubuhnya terasa berat, seolah seluruh dunia menindihnya. Air matanya tidak berhenti mengalir, tetapi ia tidak peduli lagi. Segala kebahagiaan yang dulu ia rasakan seolah lenyap begitu saja. Hatinya hancur, dan setiap kali ia mencoba menarik napas dalam-dalam, rasa sesak di dadanya semakin kuat.
Tak lama kemudian, terdengar suara pintu depan dibuka dengan kasar. Karuna mengangkat wajahnya, dan untuk sesaat, ia berharap itu adalah Damian yang kembali, dengan ekspresi penuh penyesalan. Namun, suara langkah kaki yang semakin mendekat ke ruang tamu itu bukan langkah Damian yang biasanya tenang dan penuh beban, melainkan langkah yang terburu-buru, penuh kemarahan.
Damian muncul di depan Karuna dengan wajah yang semakin memerah. Ada kilatan amarah di matanya, seolah ia tidak lagi bisa menahan semua perasaan yang terpendam. Karuna bisa merasakan udara di sekelilingnya semakin tegang.
“Kau tahu kan apa yang aku rasakan sekarang, Karuna?” Damian melangkah mendekat dengan cepat, berbicara dengan suara rendah namun penuh amarah. “Aku sudah capek! Capek dengan kamu yang tidak pernah peduli, capek dengan pernikahan ini yang selalu kau abaikan! Dan kau masih saja bertanya kenapa aku pergi mencari kebahagiaan di tempat lain? Kenapa aku akhirnya menemukan pelarian itu?”
Karuna berdiri dengan gemetar, meski ia ingin menunjukkan kekuatan, ia tahu bahwa semuanya sudah tidak sama lagi. “Damian, aku... aku tidak pernah tahu kalau kamu merasa seperti itu. Kenapa kamu tidak memberitahuku? Kenapa harus sampai ke titik ini?” Suaranya terdengar lemah, penuh kecemasan yang tak bisa ditahan. “Aku bukan hanya sekadar istrimu, Damian, aku juga teman hidupmu. Kenapa aku tidak pernah diberi kesempatan untuk mendengarmu? Kenapa kamu memilih diam, memilih berbohong?”
Damian tertawa pahit, menggelengkan kepalanya dengan penuh ejekan. “Kamu benar-benar tidak paham, Karuna. Kau tahu bahwa aku tidak pernah mencintai mu semenjak kita menikah! Karena apa? Karena orang tuaku! Mereka memohon kepada ku untuk menikahi mu. Agar bisnis sialan mereka itu bisa bertahan dengan bisnis orang tua mu! Aku sudah lelah mencoba bertahan dalam kebohongan ini, dan kau tahu apa? Aku tidak peduli lagi! Tidak peduli dengan semua yang sudah kita bangun, tidak peduli dengan perasaanmu atau perasaan Ethan. Aku hanya peduli pada diriku sendiri sekarang, pada kebahagiaanku yang telah lama hilang!”
Setiap pernyataan yang diucapkan Damian terasa seperti sembilu yang menusuk hati Karuna. Ia merasakan seolah-olah ia baru saja dipukul dengan keras, terjatuh ke dalam jurang ketidakpastian yang lebih dalam dari yang bisa ia bayangkan. “T-tidak mencintai ku? Aku tidak pernah berpikir kalau kamu akan berkata seperti ini,” Karuna berkata dengan suara tercekat, hampir tidak bisa menahan air matanya. “Aku tak tahu harus bagaimana, Damian. Aku mencoba sekuat tenaga, dan kamu terus menjauh. Aku... aku mencintaimu, dan aku ingin kita bisa melalui semua ini bersama-sama.”
Damian berjalan mundur sedikit, lalu tertawa dengan nada sinis yang semakin membuat Karuna merasakan penghinaan yang luar biasa. “Cinta? Cinta seperti apa yang kamu maksud? Cinta yang hanya ada di dalam rutinitas yang membosankan itu?”
Tanpa peringatan, Damian melangkah maju dengan cepat, langsung menghampiri Karuna dengan tatapan tajam. Wajahnya begitu dekat dengan wajah Karuna, dan Karuna merasa takut. Ini bukan lagi Damian yang dulu ia kenal—suaminya yang terlihat penuh cinta dan perhatian meski dalam kebohongan. Ini adalah sosok yang keras, penuh kebencian, dan seolah ingin menghancurkan segalanya.
“Damian, jangan...” Karuna mencoba mundur, tapi Damian menahan langkahnya dengan kasar. Tanpa sadar, sebuah tamparan mendarat di pipi Karuna, keras dan penuh amarah. Karuna terhuyung, hampir jatuh ke belakang, tetapi ia menahan diri, tidak ingin menunjukkan kelemahan lebih banyak lagi.
Damian berdiri di depannya dengan nafas yang terengah-engah, tatapannya penuh kebencian yang membekas. “Jangan pernah berbicara tentang cinta padaku lagi, Karuna,” katanya dengan suara serak dan kasar. “Aku sudah lelah, sangat lelah. Kamu pikir aku ingin terus hidup dalam bayangan cinta yang cuma ada di kepalamu? Aku tidak bisa lagi. Tidak bisa.”
Karuna berdiri terpaku, tubuhnya masih bergetar akibat tamparan itu. Hati dan pikirannya kacau. Kata-kata Damian seolah menghancurkan sisa-sisa kekuatan yang masih ia miliki. Ia merasa rapuh, tak berdaya. “Jadi, ini akhir dari segalanya?” Karuna bertanya, meski suaranya hampir tidak terdengar, penuh kepedihan.
Damian tidak menjawab. Ia hanya berdiri di sana, menatapnya dengan tatapan kosong, sebelum akhirnya berbalik dan berjalan menuju pintu. Karuna merasa semua harapannya yang pernah ia bangun bersama Damian, kini runtuh begitu saja.
Pada saat itu, langkah kaki kecil terdengar di atas tangga. Ethan muncul di ujung tangga, wajahnya tampak bingung. “Ibu... ?” tanyanya dengan suara hampir ingin menangis, matanya melihat ke arah Karuna yang masih memegangi pipinya, yang sedikit memerah akibat tamparan Damian.
Karuna menatap anaknya, berusaha untuk tersenyum meski hatinya terasa hancur. “Tidak apa-apa, Ethan,” jawabnya dengan suara serak, berusaha menyembunyikan rasa sakit yang begitu dalam. “Ibu hanya sedikit... sedikit tidak enak badan. Semua akan baik-baik saja.”
Namun, meskipun Karuna berusaha untuk tetap tenang, Ethan bisa merasakan ada yang tidak beres. Ia menatap ibunya dengan penuh rasa ingin tahu dan kekhawatiran yang tidak bisa ia sembunyikan. “Mama, kenapa pipi mama merah? papa kenapa ma?”
Karuna merasa hatinya semakin terhimpit mendengar pertanyaan anaknya. Dengan tubuh yang lemah, ia mencoba untuk mengalihkan perhatian Ethan, namun anak itu semakin mendekat, matanya semakin tajam menatap ibunya. “Mama, kenapa papa gak ada di sini? ayah pergi?”
Damian, yang sudah berada di pintu dan bersiap untuk pergi, berhenti sejenak mendengar suara Ethan. Ia berbalik, menatap anaknya dengan tatapan yang penuh kekosongan. "Iya, Ethan," kata Damian dengan suara datar dan tidak berperasaan. "Papa harus pergi."
Ethan terdiam sejenak, lalu wajahnya tampak bingung. “Tapi kenapa, pa? papa mau kemana?”
Damian tidak menjawab, hanya menatap Ethan sejenak sebelum melangkah keluar, meninggalkan rumah itu dengan langkah berat.
Karuna melihat suaminya pergi, merasakan hatinya hancur lebih dalam lagi. Ethan menatap ibunya dengan mata penuh pertanyaan, tetapi Karuna tidak bisa memberikan jawaban yang lebih baik. Ia hanya bisa memeluk anaknya erat, mencoba menyembunyikan rasa sakit yang semakin dalam.
Di dalam keheningan itu, Karuna tahu bahwa hari-hari ke depan tidak akan mudah. Tetapi yang bisa ia lakukan sekarang adalah menjaga Ethan, berusaha tetap tegar untuk anaknya. Segalanya sudah berubah, dan ia tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, tapi ia tahu satu hal—ia tidak bisa berhenti berjuang.
Meski hatinya hancur, meski dunia terasa runtuh, ia masih punya satu alasan untuk terus melangkah: Ethan.