Deskripsi:
Di sebuah ruang sunyi yang dihiasi mawar merah dan lilin-lilin berpendar redup, seorang pengantin dengan gaun merah darah duduk dalam keheningan yang mencekam. Wajahnya pucat, matanya mengeluarkan air mata darah, membawa kisah pilu yang tak terucap. Mawar-mawar di sekelilingnya adalah simbol cinta dan tragedi, setiap kelopaknya menandakan nyawa yang terenggut dalam ritual terlarang. Siapa dia? Dan mengapa ia terperangkap di antara cinta dan kutukan?
Ketika seorang pria pemberani tanpa sengaja memasuki dunia yang tak kasat mata ini, ia menyadari bahwa pengantin itu bukan hanya hantu yang mencari pembalasan, tetapi juga jiwa yang merindukan akhir dari penderitaannya. Namun, untuk membebaskannya, ia harus menghadapi kutukan yang telah berakar dalam selama berabad-abad.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Doni arda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 21: PUSARAN KEMATIAN
Mereka melangkah lebih dalam, menembus gerbang besar yang menganga di hadapan mereka. Setiap langkah terasa seperti menginjak ruang yang tidak nyata, seperti mereka melangkah lebih jauh ke dalam kegelapan yang telah lama tersembunyi. Udara semakin berat, sesak, dan setiap napas mereka terasa seperti menjadi beban yang tak tertahankan. Ada rasa takut yang lebih dalam, sesuatu yang bahkan lebih buruk dari kegelapan fisik yang menyelimuti mereka.
"Apa yang ada di dalam sini?" Vera bertanya, suaranya serak karena ketegangan. Matanya tertuju pada ruang yang terbentang luas di depan mereka. Tidak ada cahaya selain dari cahaya yang dipancarkan pria tua itu, namun cahayanya tampak semakin redup, seperti ada sesuatu yang menyerap semua energi yang ada di sekitar mereka.
Pria tua itu menatap mereka dengan tatapan yang tidak biasa, seperti dia juga mulai merasakan sesuatu yang mengancam. "Ini bukan hanya tempat yang terpisah... ini adalah pusat dari semua kegelapan." Suaranya terdengar berat, penuh kebingungan. "Kami tidak tahu persis apa yang akan kita hadapi, tetapi kita harus siap dengan apapun itu."
Raka yang berjalan di belakang Vera mengangguk, meskipun tubuhnya masih terhuyung dan lukanya semakin memburuk. "Kita tidak punya banyak waktu," katanya, dengan napas yang terengah-engah. "Setiap detik kita menunda, semakin kuat kegelapan ini."
Tiba-tiba, sebuah suara berat menggelegar di udara, suara yang datang dari dalam kegelapan yang jauh di depan mereka. "Kalian berani menginjakkan kaki di sini?" Suara itu begitu dalam, dan terasa seperti datang dari segala arah, menggelora dalam pikiran mereka. "Kalian berani mencoba menutup pintu yang telah terbuka untuk selamanya?"
Vera menegang. "Apa itu?" tanyanya, dengan suara yang hampir tidak keluar.
Pria tua itu mengangkat tangannya, mencoba menenangkan mereka. "Diam. Itu hanya suara dari tempat ini. Jangan beri perhatian lebih."
Namun, meskipun dia berkata begitu, mereka semua bisa merasakan perubahan yang terjadi di sekitar mereka. Ada sesuatu yang bergerak, mengintai di balik bayang-bayang, entah itu makhluk atau sesuatu yang lebih mengerikan. Setiap detik terasa lebih lama, dan suasana semakin menyesakkan.
Mereka melanjutkan perjalanan, langkah mereka semakin cemas. Ketika mereka tiba di sebuah ruang yang lebih besar, mereka berhenti sejenak. Tempat itu terlihat seperti sebuah aula kuno yang sangat besar, dengan dinding yang tampaknya tidak ada ujungnya. Di tengah aula, terdapat sebuah altar besar yang dikelilingi oleh lingkaran batu hitam. Di atas altar itu, sebuah kristal besar berwarna merah menyala tergeletak, memancarkan cahaya yang suram dan mengancam.
Pria tua itu menatap altar dengan penuh keheranan. "Itulah sumbernya," katanya pelan, seolah berbicara pada dirinya sendiri. "Itulah yang telah membuka semua pintu ini. Kristal itu adalah pusat dari kegelapan yang menyebar."
Vera menggigit bibirnya. "Kita harus menghancurkannya." Suaranya penuh tekad.
Raka menatap kristal itu dengan curiga. "Tapi... bagaimana kita bisa menghancurkannya? Sepertinya itu lebih dari sekadar batu biasa."
Pria tua itu menggelengkan kepala. "Kalian tidak akan bisa menghancurkannya dengan cara biasa. Kekuatan di dalam kristal itu... lebih besar dari apapun yang pernah kita hadapi." Wajahnya semakin muram, dan matanya mulai memancarkan kekhawatiran yang lebih dalam. "Hanya ada satu cara... kita harus menyerahkan sesuatu yang sangat berharga."
Vera menatapnya dengan bingung. "Apa maksudmu? Apa yang harus kita serahkan?"
Pria tua itu menarik napas panjang. "Kekuatan untuk menghancurkan kristal ini bukan berasal dari kekuatan fisik atau sihir biasa. Kalian harus memberikan sesuatu yang lebih—sesuatu yang paling kalian hargai. Itulah satu-satunya cara untuk menghapus kegelapan ini selamanya."
Raka terdiam sejenak, mencerna kata-kata pria tua itu. "Sesuatu yang kita hargai..." gumamnya. "Apa yang kita harus berikan?"
Tiba-tiba, suara keras menggelegar menggema dari balik kegelapan. "Kalian tidak akan pernah tahu! Kalian tidak bisa menghentikan kehancuran yang telah dimulai!"
Dari balik bayang-bayang yang gelap, sosok besar mulai muncul—makhluk hitam legam yang menakutkan, jauh lebih besar dari sebelumnya. Tubuhnya dipenuhi dengan tanda-tanda purba yang berkilauan, dan matanya yang menyala memancarkan kebencian yang dalam. Sosok itu adalah manifestasi dari kegelapan itu sendiri, makhluk yang telah mengendalikan dunia ini sejak zaman dahulu.
Pria tua itu bergerak maju, siap menghadapi makhluk itu dengan segenap kekuatan yang masih tersisa. "Kalian tidak akan menang!" serunya, namun suaranya dipenuhi dengan keraguan. Dia tahu bahwa bahkan kekuatannya pun tidak cukup untuk melawan makhluk itu.
Makhluk itu tertawa, suaranya penuh dengan kesombongan. "Kalian terlalu lemah. Kristal ini adalah kehidupan kami. Kegelapan ini akan terus tumbuh, tidak peduli apa yang kalian lakukan!"
Vera merasakan ketakutan yang menggelora, namun dia tahu bahwa satu-satunya jalan adalah melawan. "Kita harus menyerahkan sesuatu yang kita hargai," katanya, matanya menatap pria tua itu. "Apa itu?"
Pria tua itu memandangnya dengan tatapan yang penuh makna. "Cinta. Hanya dengan mengorbankan cinta sejati, kita bisa menghancurkan kegelapan ini."
Vera terdiam, kata-kata itu seperti pisau yang menembus hatinya. "Cinta sejati?" gumamnya, merasa bingung. "Apa yang harus aku berikan?"
Namun, tak ada waktu untuk pertanyaan lebih lanjut. Makhluk itu bergerak maju, semakin dekat, dengan niat untuk menghapus mereka selamanya. Raka bergerak ke depan, mencoba menghadapi makhluk itu dengan pedangnya, meskipun tubuhnya mulai terasa sangat lelah.
"Aku tidak akan membiarkanmu menghancurkan dunia ini," teriak Raka, meskipun tubuhnya hampir tak mampu bergerak lagi.
Pria tua itu mengangkat tangannya, mencoba menahan makhluk itu dengan cahaya yang semakin redup. "Kalian harus mengorbankan sesuatu yang lebih dari diri kalian sendiri," katanya dengan suara gemetar. "Beri sesuatu yang tidak bisa digantikan."
Vera, dengan mata yang basah oleh air mata yang tidak bisa dia tahan, memandang ke arah Raka. Tanpa kata-kata, mereka saling memahami. "Aku... aku harus memberikan diriku sendiri." Vera berbisik, hatinya seolah tercerai-berai.
"Tidak, Vera!" Raka berteriak, tetapi sudah terlambat. Dengan satu langkah mantap, Vera maju ke altar. Tangan yang memegang belati itu gemetar, namun matanya penuh dengan keberanian.
"Untuk dunia ini... untuk kita semua..." bisiknya.
Dengan satu gerakan cepat, dia menusukkan belati itu ke kristal merah yang menyala.
Ledakan cahaya yang begitu kuat dan mencekam menghancurkan segala yang ada di sekitarnya. Dunia ini bergetar, dan makhluk besar itu menjerit, terhempas oleh gelombang energi yang luar biasa.
Namun, apakah itu cukup untuk mengakhiri kegelapan yang telah membara selama ini?
Semuanya menjadi hening, dan Vera tahu bahwa tak ada yang akan pernah sama lagi.