Ariella, seorang wanita muda yang dipilih untuk menjadi pemimpin organisasi pembunuh terkemuka setelah kematian sang mentor. Kejadian tersebut memaksanya untuk mengambil alih tahta yang penuh darah dan kekuasaan.
Sebagai seorang wanita di dunia yang dipenuhi pria-pria berbahaya, Ariella harus berjuang mempertahankan kekuasaannya sambil menghadapi persaingan internal, pengkhianatan, dan ancaman dari musuh luar yang berusaha merebut takhta darinya. Dikenal sebagai "Queen of Assassins," ia memiliki reputasi sebagai sosok yang tak terkalahkan, namun dalam dirinya tersembunyi keraguan tentang apakah ia masih bisa mempertahankan kemanusiaannya di tengah dunia yang penuh manipulasi dan kekerasan.
Dalam perjalanannya, Ariella dipaksa untuk membuat pilihan sulit—antara kekuasaan yang sudah dipegangnya dan kesempatan untuk mencari kehidupan yang lebih baik, jauh dari bayang-bayang dunia pembunuh bayaran. Di saat yang sama, sebuah konspirasi besar mulai terungkap, yang mengancam tidak hanya ker
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Doni arda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21: Jebakan di Pulau Nexus
Kapal kecil itu melaju membelah ombak gelap menuju Pulau Nexus, lokasi terakhir dalam data yang berhasil mereka curi dari markas Leonard. Malam itu dingin, hanya diterangi bintang-bintang yang tampak redup. Di dalam kapal, suasana penuh ketegangan. Tidak ada yang berbicara, semua tenggelam dalam pikiran masing-masing.
Ariella berdiri di dek, memandangi pulau yang mulai terlihat di kejauhan. Siluetnya tampak seperti bayangan raksasa yang mengintai di tengah lautan. Alex mendekatinya, membawa senapan di pundaknya.
“Kau yakin tentang ini?” tanyanya pelan.
Ariella mengangguk tanpa menoleh. “Kita tidak punya pilihan lain. Ini kesempatan terbaik kita untuk menghentikan Leonard.”
“Dan Rael?” Alex melirik ke arah pria itu, yang duduk di sudut kapal dengan tatapan kosong. “Apa kau benar-benar mempercayainya?”
Ariella menghela napas panjang. “Aku tidak punya waktu untuk meragukannya sekarang. Jika dia berkhianat lagi, aku sendiri yang akan menghabisinya.”
Alex mengangguk, meski jelas ia masih tidak sepenuhnya setuju.
---
Mereka mendarat di pantai berpasir hitam yang sepi. Tidak ada tanda-tanda kehidupan di sekitar mereka, tetapi Ariella tahu itu hanya masalah waktu sebelum mereka ditemukan.
Liana membuka peta digital di tabletnya. “Menurut data ini, pusat operasional Leonard ada di sisi lain pulau, tersembunyi di dalam pegunungan. Kita harus melewati hutan ini untuk mencapainya.”
“Bergerak cepat, tapi tetap waspada,” ujar Ariella, memimpin tim masuk ke dalam hutan.
Namun, perjalanan mereka tidak semudah yang mereka bayangkan. Hutan itu gelap dan penuh jebakan. Beberapa kali mereka hampir terkena ranjau tersembunyi, dan suara-suara aneh di sekitar mereka membuat ketegangan semakin meningkat.
Rael membantu Liana menavigasi, mencoba membuktikan bahwa dia masih setia kepada tim. Tapi Alex terus mengawasinya dengan tatapan penuh curiga.
“Ada sesuatu yang tidak beres,” bisik Alex pada Ariella.
“Aku tahu,” jawab Ariella singkat.
---
Mereka hampir mencapai kaki pegunungan ketika tiba-tiba suara tembakan memecah keheningan. Pasukan Leonard muncul dari balik pepohonan, menyerang mereka dengan brutal.
“Ayo berlindung!” teriak Ariella sambil membalas tembakan.
Pertempuran sengit pun terjadi. Pasukan Leonard tampak sudah siap dengan senjata berat dan perlengkapan lengkap, sementara tim Ariella harus mengandalkan kelincahan dan strategi.
Rael berjuang di samping Ariella, melumpuhkan beberapa musuh dengan tembakan yang presisi. Namun, setiap kali dia mencoba mendekati Ariella, Alex selalu ada di sana, memandangnya tajam seolah mengingatkannya untuk tetap di tempatnya.
“Kita tidak bisa bertahan di sini!” teriak Liana. “Mereka terus berdatangan!”
Ariella melihat ke sekeliling, mencari jalan keluar. Matanya tertuju pada sebuah jurang kecil yang tampak menuju ke arah pegunungan. “Ke sana! Cepat!”
Mereka bergerak dengan cepat, meninggalkan musuh yang masih terus mengejar. Namun, di tengah kekacauan, salah satu anggota tim tertangkap dan tidak sempat diselamatkan.
“Komandan!” teriak Alex, wajahnya penuh amarah. “Kita kehilangan dia!”
Ariella menggertakkan gigi. “Tidak ada waktu untuk kembali. Kita harus terus maju!”
---
Setelah perjalanan yang panjang dan melelahkan, mereka akhirnya tiba di pintu masuk fasilitas Leonard. Bangunan itu tersembunyi di balik tebing, dengan pintu baja besar yang dijaga ketat.
Liana memeriksa tablet dan berbisik, “Menurut data ini, sistem keamanan di dalam cukup kompleks. Tapi aku bisa mematikan sebagian jika aku mendapat akses ke terminal utama di lantai bawah.”
Ariella mengangguk. “Baik, rencananya seperti ini. Alex, kau dan tim kecil akan menciptakan gangguan di sisi kiri. Rael dan aku akan menyusup bersama Liana untuk mematikan sistem.”
Alex tampak tidak senang. “Kau yakin ingin membawa dia?”
“Dia tahu tempat ini lebih baik dari kita,” jawab Ariella tegas.
Rael menatap Ariella dengan penuh rasa terima kasih. “Aku tidak akan mengecewakanmu.”
---
Mereka berhasil masuk ke dalam fasilitas, bergerak melalui lorong-lorong gelap yang dipenuhi kamera dan sensor. Dengan bantuan Liana, mereka mampu menghindari sebagian besar sistem keamanan. Namun, sesuatu terasa salah.
“Ini terlalu mudah,” bisik Alex melalui radio.
Ariella merasakan hal yang sama, tetapi sebelum dia bisa mengatakan apa-apa, suara Leonard terdengar melalui pengeras suara di seluruh fasilitas.
“Selamat datang, Ariella. Aku sudah menunggumu.”
Seluruh ruangan tiba-tiba menyala terang, dan suara pintu baja yang menutup menggema di belakang mereka. Mereka terjebak.
“Leonard!” Ariella berteriak. “Keluar dan hadapi aku!”
Leonard tertawa kecil. “Oh, aku akan menghadapi kalian, tapi bukan dengan cara yang kau harapkan.”
Dari balik dinding, puluhan pasukan bersenjata muncul, mengarahkan senjata mereka ke tim Ariella.
Rael berdiri di depan Ariella, mencoba melindunginya. “Leonard, jangan lakukan ini!”
“Tentu saja, Rael,” balas Leonard dengan nada sinis. “Kau pikir aku tidak tahu rencanamu? Kau mencoba mengkhianatiku lagi, bukan?”
Rael terdiam, wajahnya penuh rasa bersalah.
Ariella menyadari bahwa ini adalah jebakan yang direncanakan dengan baik. Namun, dia tidak akan menyerah begitu saja. “Kita masih punya kesempatan,” bisiknya pada timnya. “Ikuti rencanaku.”
---
Dengan isyarat cepat, Ariella melemparkan granat asap, menciptakan kekacauan di ruangan itu. Tembakan mulai terdengar, dan pertempuran sengit pun terjadi.
Rael membantu Liana mencapai terminal utama untuk mematikan sistem keamanan, sementara Ariella dan Alex bertarung mati-matian melawan pasukan Leonard.
“Cepat, Liana!” teriak Ariella.
“Aku butuh waktu!” balas Liana, jari-jarinya menari di atas keyboard.
Rael, meski tertekan oleh rasa bersalahnya, berjuang sekuat tenaga untuk melindungi Liana. Dia tahu ini adalah satu-satunya cara untuk membuktikan dirinya.
Saat Liana akhirnya berhasil mematikan sistem, sebuah pintu rahasia terbuka, memberikan mereka jalan keluar. Namun, Leonard sudah menunggu di sisi lain, dengan senjata terarah langsung ke Ariella.
“Permainan selesai, Ariella,” katanya dengan senyum dingin.
Ariella menatap Leonard dengan penuh kebencian. “Ini baru permulaan.”