Terdengar Musik yang terus di putar dengan kencang di sebuah bar hotel, disertai dengan banyaknya wanita cantik yang menikmati serta berjoget dengan riang. Malam yang penuh dengan kegembiraan, yang tak lain adalah sebuah pesta bujang seorang gadis yang akan segera menikah dengan pujaan hatinya. Ia bernama Dara Adrianna Fauza, gadis cantik dan manis, anak sulung seorang pengusaha sukses.
"Dar, gue ngak nyangka banget Lo bakalan nikah. Selamat ya bestie?" Ucap salah seorang gadis yang merupakan teman SMA dara.
"Iya. Makasih yah bestie. Gue doain semoga Lo cepet nyusul yah? Biar gantian, gue yang di undang." Ucap Dara sambil tersenyum.
Dara yang merasa haus pun segera mengambil sebuah jus untuk di minum, ia pun meminumnya.
Pesta terus berjalan dengan lancar, semua teman dara menikmati pesta dengan bahagia. Seketika dara yang sedang bersama dengan teman-temannya pun menjadi pusing. Mata menjadi sangat berat, pandangannya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon megawati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab
Sepanjang acara, Dara benar-benar tak memperhatikan Aldo ataupun Arman. Pikiran Dara di sibukkan oleh Brama yang sengaja kian menjauhi dirinya.
Seusai pesta pernikahan tersebut, keluarga Pranaja bersama-sama menuju parkiran mobil. Gilang membukakan pintu untuk Dara. Tetapi, pintu itu kembali di tutup oleh tangan seorang pria.
"Tuan Aldo Meyson..." Ucap Gilang menunduk hormat padanya.
Disisi lain pintu mobil itu, Brama tak jadi masuk ke dalam. Perasaan Brama menjadi buruk ketika Aldo mulai bicara dengan Dara.
"Ra, ikut aku sebentar. Ada sesuatu yang mau aku tanyakan." Ucap Aldo meraih tangan Dara dan akan membawanya pergi.
"Masuk ke dalam mobil sekarang, Nona Dara Vandella. Kamu tidak ingin mengacaukan pertemuan penting setelah ini, kan?" Ucap Brama yang tak akan membiarkan istrinya bicara berdua dengan mantan tunangannya.
"Sebentar saja, Om." Ucap Aldo memasang tampang memohon kepada Brama.
Sementara itu, dari arah lain, Ayra berlari kecil dengan mengangkat gaunnya menghampiri mereka.
"Kak Aldo! Kenapa kakak ninggalin aku?" Tanya Ayra.
Tatapan Ayra tertuju pada tangan Aldo yang ada di pergelangan tangan Dara. Ayra sangat ingin menampar Dara karena berani menyentuh suaminya. Meskipun sangat jelas yang terjadi adalah sebaliknya.
Ayra hanya bisa menahan emosinya karena ada banyak orang di sana. Dia akan membalas Dara ketika saatnya tiba.
Dara pun gegas melepaskan tangan Aldo darinya setelah menyadari bahwa Ayra sedang memandangi tangannya. Dia segera masuk ke mobil tanpa melihat lagi pada sang mantan ataupun adik tirinya.
Sudah cukup Dara memberi mereka selamat hari ini. Dia tak perlu lagi bersikap seolah-olah mereka memiliki hubungan dekat, seperti permintaan Arman padanya. Dara bukanlah siapa-siapa mereka lagi.
Saat mobil mulai melaju, ekor mata Dara sempat melihat Ayra dan Aldo saling berdebat. Wajah Aldo tampak kesal saat bicara dengan Ayra, tak seperti yang ditunjukkan sebelumnya.
Apakah itu karena dirinya sehingga Ayra dan Aldo beradu mulut? Ayra mungkin cemburu karena Aldo menemui dirinya.
"Terserah, bukan urusan aku."batin Dara segera menepis semua pikiran yang berhubungan dengan Aldo ataupun keluarga yang tak mau menganggap dirinya lagi.
Duduk di samping Dara, Brama sedang bersedekap dada dengan raut wajah kesal. Semudah itu Dara berpegangan tangan dengan pria lain. Sementara Dara tak mau di sentuh oleh Brama yang jelas-jelas merupakan suami sahnya.
Brama semakin marah karena teringat kejadian semalam. Dara seharusnya menghampiri dirinya saat dia pindah tidur ke sofa. Gadis itu seharusnya meminta maaf padanya karena mempermalukan dirinya ketika menolak sentuhannya.
Tetapi, Dara justru tertidur pulas tak sampai satu jam, melewatkan malam pertama mereka yang seharusnya di lewati dengan gairah membara.
Ketika Brama kembali ke ranjang dan di saat dirinya menggoda Dara dengan sentuhan-sentuhan menggoda, Dara tetap tak terbangun!
Brama yang awalnya hanya merajuk, menjadi benar-benar marah kepada Dara.
Apalagi, Brama baru saja menyaksikan tangan Aldo memegang tangan Dara dan mereka pun terlihat sangat mesra dalam bayangannya. Membuat Brama dada dan kepala Brama terasa panas.
Apakah Dara tak mau disentuh karena masih memiliki perasaan yang besar kepada Aldo? Brama tak suka.dengan pemikiran itu.
"Gilang, mampirlah ke supermarket terdekat dan belilah satu kardus tisu untuk Nona Dara," sindir Brama dingin.
"Untuk apa, Tuan? Saya tidak membutuhkan tisu. Di rumah Anda juga masih banyak." Ucap Dara yang terlihat kebingungan. Tak ada angin, tak ada hujan, Brama ingin membelikan sesuatu yang tidak Dara butuhkan.
"Aku tidak ingin kamu membasahi ranjangku dengan tangisan kamu." Ucap Bram tegas.
Tak tahu sebabnya, Dara jadi ingin tertawa mendengar ucapan Brama. Dia sampai mengatupkan rapat bibirnya agar tidak melepaskan tawa dan membuat Brama semakin marah.
"Tuan Brama berlebihan sekali..." Batin Dara.
Sampai di kediaman Pranaja, Astrid yang pulang lebih dulu, menyambut mereka keheranan. Dara masuk dengan membawa dua kantung besar berisi tisu ditangannya.
Brama selalu bersungguh-sungguh ketika mengatakan sesuatu. Gilang juga tetap membelikan Dara tisu meskipun dia menolaknya.
"Untuk apa tisu itu? Kita punya banyak persediaan digudang." Ucap Astrid mendadak memikirkan hal lain dengan tersenyum.
"Ah... Kamu tidak perlu membeli tisu sebanyak itu, Dara. Sudah wajar kalau pengantin baru sering berganti alas tidur. Apalagi, anak lelaki Mama tidak pernah berkencan dengan wanita. Sudah wajar jika dia bersemangat setiap malam." Ucap Astrid.
Melihat kerlingan genit dari Astrid, Dara langsung tahu apa yang ada di pikiran ibu mertuanya itu.
"Tidak, ini tidak seperti apa yang Anda pikirkan..." Ucap Dara terpotong karena di sela Astrid.
"Kamu tidak perlu malu-malu. Kembalilah ke kamar kamu, kamu pasti kelelahan." Ucap Astrid mengangguk kepada pelayan untuk membantu Dara membawa barang bawaannya.
***
Malam hari pun tiba. Dara berjalan mondar-mandir di dalam kamar mandi dengan menggigit kuku jari tangannya.
Sepanjang hari, Dara terus memikirkan apa yang membuat Brama selalu menyindir dan melakukan sesuatu di luar prediksi. Akan tetapi, Dara tak mendapat jawabannya. Dia tak pernah bisa menebak apa yang ada dalam pikiran pria itu.
Bukan hanya membelikan segunung tisu, Brama juga mendatangkan psikiater dan psikolog untuk memeriksa kondisi mental Dara. Brama masih menyangka jika Dara akan sangat kehilangan Aldo sehingga pria itu takut jika kesedihan Dara akan berdampak buruk pada kandungannya.
Padahal, Dara sudah menyangkal berulang kali jika dia tidak memikirkan tentang Aldo lagi. Tetapi, Dara tak melihat tanda-tanda bahwa Brama mempercayai dirinya.
TOK!TOK!
"Jangan terlalu lama menangisi mantan kamu!" Teriak Brama.
Dara terperanjat dan tersadar dari lamunan. Dia tak ingin keluar dan mendengar tuduhan-tuduhan Brama lagi. Tetapi, dia juga ingin segera berbaring di ranjang.
Teringat akan tekadnya pagi tadi, Dara mulai menguatkan hati. Dia harus berusaha menerima dan mencintai Brama mulai sekarang.
"Kamu harus bisa menjadi istri yang baik, Ra!" Batin Dara memberi semangat pada dirinya sendiri.
Dara membuang napas kasar, kemudian membuka pintu kamar mandi.
Brama ternyata sudah meringkuk di sofa seperti malam sebelumnya.
"Kenapa dia tidur di sofa kalau akhirnya pindah ke ranjang lagi?" Batin Dara.
"Tuan, Anda akan tidur di sofa lagi? Punggung Anda bisa sakit." Ucap Dara.
"Bagus, Ra. Cara bicara kamu sudah natural sekali, kamu harus lebih berani kepada suami kamu sendiri," batin Dara lagi dalam hati.
Brama tak mau menjawab pertanyaan Dara. Bukankah Dara sendiri yang tak ingin di sentuh atau tidur seranjang dengannya? Dara harus membujuknya lebih dulu.
Dengan sedikit keraguan , Dara mendekati Brama dan menyentuh punggungnya dengan satu jari.
"Tuan...," Panggil Dara dengan suara lembut.
Tuan...tuan...tuan!
Brama muak mendengar sebutan itu!
Dia sudah menyuruh Dara memanggilnya dengan sebutan lain, tetapi Dara tak juga melaksanakan perintahnya. Brama memilih diam sampai Dara memanggilnya dengan sebutan lain.
Dan apa yang baru saja Dara lakukan? Dara hanya menyentuh punggung Brama dengan satu jari! Apakah Dara begitu jijik padanya?
Dara sendiri justru semakin kebingungan. Dia merasa tak enak hati karena membiarkan Brama tidur di sofa di kamar pria itu sendiri. Dia juga tak ingin dianggap menguasai hak milik Brama.
Dara lantas berbaring di sofa panjang seberang Brama. Mungkin, Brama tak suka tidur di dekat mantan bawahannya sendiri, pikir Dara. Dia sudah tak mengerti lagi harus berpikir dan berbuat apa.
"Anda tidur di ranjang saja kalau tidak suka melihat saya
Tidur di ranjang Anda, Tuan." Ucap Dara mulai memejamkan mata untuk beristirahat. Dia tak keberatan sama sekali tidur di sofa setiap malam, asalkan Brama berhenti menyindirnya.
Namun, hal tersebut justru membuat Brama semakin murka. Dia bangun terduduk sambil menatap tajam Dara.
"Pintar sekali kamu membolak-balikkan fakta! Kamu yang jijik sama aku dan tidak mau di sentuh kemarin. Kamu juga yang masih memikirkan pria lain. Dan sekarang, kamu menuduh aku atas semua yang kamu lakukan?!" Sentak Brama.
Dara membuka mata dan langsung duduk berhadapan dengan Brama.
Dara sudah berusaha bersikap baik pada suaminya, tetapi tak mendapat respon apapun. Menjelaskan pun percuma karena Brama tetap tak mendengar semua ucapannya. Brama selalu berpikir bahwa dirinyalah yang selalu benar.
Disaat Dara mengalah, Brama justru menuduhnya lagi! Dara lelah mendengar tuduhan Brama!
"Saya sudah bilang kalau saya tidak memikirkan Aldo atau pria manapun! Dan saya tidak pernah bilang kalau saya tidak mau Anda sentuh ataupun jijik pada Anda! Saya hanya belum siap dan takut karena belum pernah melakukan itu!" Seru Dara.
"Kamu pernah melakukannya dengan aku! Dan sekarang, kamu tidak mau melakukan itu lagi karena kamu jijik dengan aku! Apa lagi alasannya?"ucap Brama ikut meninggikan suara.
"Saya tidak ingat kejadian malam itu! Dan saya tidak tahu bagaimana caranya! Anda yang lebih tua seharusnya bisa membimbing saya pelan-pelan, bukan malah merajuk seperti anak kecil terus-terusan karena permintaan Anda tidak dituruti," ucap Dara dengan napas terengah-engah.
Tiba-tiba Dara tersadar dan langsung membungkam mulutnya dengan kedua tangan setelah mengatakan semua yang ada dalam benaknya.
Brama pun tercengang oleh ucapan Dara. Jadi, Dara tak pernah merasa jijik padanya! Dara hanya ingin dibimbing pelan-pelan.
Mendadak, semua amarah yang dirasakan Brama menguap dan hilang. Brama segera bangun dan mendekati Dara.
Dara terjatuh terduduk di sofa karena panik saat Brama sudah berada tepat didepannya.
"T-tuan, maaf.... saya tidak bermaksud-" ucap Dara di potong Brama.
"Baiklah. Mari kita lakukan perlahan. Kali ini, kamu tidak boleh menolak aku, Dara Pranaja." Ucap Brama sambil menunduk dan mencondongkan wajahnya.
"Berdiri," perintah Brama dengan suara lirih.
Tangan Brama menggenggam lembut tangan Dara dan membimbingnya ke ranjang. Kulit Dara terasa dingin dan berkeringat. Brama tersenyum samar saat tahu Dara sedang sangat gugup.
Dara ingin bimbingan darinya. Mengingat kalimat itu, Brama mengulum senyuman.
Kilatan hangat terpancar pada senyuman itu. Sesuatu yang baru sekali dilihat Dara hingga membuatnya takjub.
"Tuan Brama tersenyum?" Batin Dara.
Dara menatap wajah pria dihadapannya tanpa berkedip. Kematangan yang terpancar pada suaminya memaksa jantung Dara berdenyut lebih cepat.
Brama mulai menyatukan bibir mereka. Kelemahannya yang tak terduga mengusir ketegangan dan kegugupan yang Dara rasakan. Dara pun mengikuti apa yang Brama lakukan. Karena itu merupakan ci*man pertama Dara di saat dirinya dalam keadaan sadar sepenuhnya.
Dengan gerakan pelan seolah tak ingin menodai kulit halus dan mulus istrinya, Brama menurunkan tali gaun di puncak gadis itu. Dara melepaskan tautan bibir mereka ketika merasakan kulit tubuh bagian atasnya terkena embusan pendingin ruangan.
"T-tuan..." Ucap Dara.
Dara takut. Tetapi, sorot gelap dan dalam itu seakan mengikat dirinya. Dia hanya mampu menerima kelembutan lain yang menerpa tubuhnya.
Brama membaringkan Dara perlahan di atas ranjang. Mengungkung dirinya dengan menyapukan bibirnya di setiap jengkal tubuh Dara.
Dara memejamkan mata di saat dirinya terlena oleh suatu dorongan hasrat akibat sentuhan dahsyat yang diberikan pria diatasnya. Napas Dara memburu kala Brama mulai meloloskan semua kain yang tersisa ditubuhnya dan digantikan oleh sentuhan lembut jemari kekar pria itu.
(Malam panas yang kedua kalinya, itupun dalam keadaan sadar. Untuk kelanjutanya akan aku update. See you next part...)