NovelToon NovelToon
Zeline Racheline

Zeline Racheline

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Cinta Murni
Popularitas:2.5k
Nilai: 5
Nama Author: happypy

Rayan dan rai, sepasang suami-istri, pasangan muda yang sebenarnya tengah di karuniai anak. namun kebahagiaan mereka di rampas paksa oleh seorang wanita yang sialnya ibu kandung rai, Rai terpisah jauh dari suami dan anaknya. ibunya mengatakan kepadanya bahwa suami dan anaknya telah meninggal dunia. Rai histeris, dia kehilangan dua orang yang sangat dia cintai. perjuangan rai untuk bangkit sulit, hingga dia bisa menjadi penyanyi terkenal karena paksaan ibunya dengan alasan agar suami dan anaknya di alam sana bangga kepadanya. hingga di suatu hari, tuhan memberikannya sebuah hadiah, hadiah yang tak pernah dia duga dalam hidupnya dan hadiah itu akan selalu dia jaga.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon happypy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Tiga puluh

Hari-hari terus berlalu dengan suasana yang semakin hangat di rumah Rayan dan Rai. Setiap sudut rumah itu penuh dengan tawa dan canda, apalagi dengan kunjungan Sania dan Rani yang datang hampir setiap hari. Suasana di kota Cendrawasih begitu berbeda bagi Rai. Meski hanya di rumah saja, ia merasa bisa menjalani perannya sebagai istri dan ibu dengan lebih bebas dan tenang, tanpa ada ketakutan atau tekanan dari kehidupan di luar sana yang sering mengganggunya.

Selama berada di kota ini, Dina, managernya, juga tak pernah absen menghubungi. Hampir setiap hari, pesan atau panggilan dari Dina masuk, menanyakan kabar Rayan dan zeline dengan nada perhatian yang tulus. Rai pun merasakan kehangatan hubungan mereka yang tetap terjaga meski jarak memisahkan.

Di sela-sela kesibukan harian, Rayan dan Rai menemukan kebahagiaan dalam hal-hal kecil. Mereka menikmati momen-momen sederhana bersama zeline, dari bermain di ruang keluarga hingga menemani gadis kecil itu tertawa ceria. Kehidupan di Cendrawasih memang sederhana, namun justru itulah yang membuat semuanya terasa lebih bermakna bagi mereka.

Dan aryan juga sudah sembuh total. Kesehatannya kembali pulih, dan ia bisa bangkit serta beraktivitas seperti sedia kala. Dengan semangat yang baru, Aryan kembali aktif di tokonya. Senyumnya yang cerah kembali menghiasi wajahnya saat berinteraksi dengan pelanggan dan mengatur segala sesuatu di toko.

Namun, meskipun aryan kembali ke rutinitasnya, Zeline tidak ikut serta. Gadis kecil itu lebih memilih tinggal di rumah bersama ibunya, Rai, dan tantenya, Rahma, yang juga tak kalah semangat dalam merawat dan mengasuhnya. Rahma beserta putrinya, yang senang bermain dengan zeline, menciptakan suasana hangat dan penuh kasih di rumah.

Momen-momen kecil di antara mereka menjadi penghangat hati, di mana tawa dan keceriaan si kecil zeline  dan nesya menjadi suara latar yang mengisi hari-hari mereka. Rai merasa bahagia bisa berada di rumah, dikelilingi oleh keluarga yang saling mendukung satu sama lain. Keberadaan aryan di luar sana, menjalani kehidupan normalnya, membuat rai merasa tenang, mengetahui bahwa semuanya berjalan dengan baik. 

🦋🦋

Saat ini, Rai sedang berbaring santai di kamarnya, dikelilingi kehangatan dan keceriaan putrinya, Zeline. Sementara Rahma berada di kamar lain, berusaha menidurkan putrinya yang sedikit rewel, Rai memanfaatkan momen ini untuk bersantai. Setelah sania datang menjemput bekal siang untuk rayan, Rai merasa lega. Ia sudah menyelesaikan pekerjaannya dan kini bisa menikmati waktu berkualitas dengan zeline.

Dalam suasana kamar yang tenang, Rai merasa lebih bebas untuk berpakaian sesuai kenyamanan. Dengan penuh hati-hati, ia mengunci pintu kamar agar tidak terganggu. Rai mencari-cari baju tipis yang bisa membuatnya merasa nyaman saat bersantai. Ia memilih celana pendek yang nyaman, yang memberikan kebebasan gerak saat berbaring di tempat tidur.

Rai mencari baju berkancing, mengingat zeline yang suka sekali membuka kancingnya untuk menyusu. Ia tersenyum membayangkan betapa lucunya si kecil saat mengamuk meminta perhatian. Setelah menemukan baju yang tepat, Rai mengenakannya dan bersiap-siap untuk menikmati momen manis bersama zeline.

Ketika sedang berbaring sambil memeriksa akun Twitter zeline yang dibuat rayan, Rai tersenyum sendiri melihat betapa gemasnya video-video zeline yang diposting di sana. Namun, perhatiannya langsung teralihkan saat zeline menghentikan permainannya dan menatapnya dengan tatapan penuh harap.

“Adek kenapa? Sini naik,” ajak Rai sambil merentangkan tangan. Zeline segera beranjak dari mainannya, memanjat ke kasur, dan berbaring di samping Rai. Wajah mungilnya menghadap ibunya dengan penuh rasa manja, lalu ia berkata, “Ndaa, nenen.”

Rai tersenyum jahil, seketika muncul ide untuk menggodanya sedikit. “Gak ada nen hari ini dek, susunya habis,” jawab Rai berpura-pura serius.

Zeline yang tidak menduga jawaban itu, langsung duduk dengan ekspresi bingung dan sedikit cemas. “Siapa yang habisin?” tanyanya polos dengan mata yang mulai berkaca-kaca.

Rai menahan tawa sambil menjawab, “Adek yang habisin. Kan tiap hari nen terus, masa adek lupa?”

Perlahan, bibir kecil zeline mulai mengerucut, matanya mulai dipenuhi air mata. Dengan suara lirih, ia merengek, “Ndaa, Adek mau nen…”

Melihat ekspresi putrinya yang mulai sedih, Rai segera menarik zeline dan mencium keningnya dengan lembut. “Ya ampun, Ndaa bercanda sayang. Ada kok, sini Ndaa kasih,” katanya penuh sayang.

Wajah zeline langsung ceria kembali, dan ia tersenyum puas. Momen manis itu pun berlanjut, dipenuhi tawa kecil dan kehangatan di antara ibu dan anak yang begitu dekat.

Sedang menyusui zeline, rai mengambil ponselnya, merekam zeline yang sedang menyusu dalam dekapannya lalu mengirimnya pada rayan. agar rayan tau apa yang sedang putri kecilnya lakukan sekarang.

-

-

Dua hari kemudian, Di dalam kamar yang tenang, Rai dan rayan menikmati waktu berdua sebelum rai pulang ke kota kencana. Rai berada dalam pelukan suaminya, memeluknya erat seakan tak ingin melepaskan. Dengan suara lembut namun terdengar manja, ia berkata, "Rai gak mau pulang ke sana."

Rayan tersenyum, mengelus rambut rai dengan sayang, memahami beratnya hati istrinya untuk kembali ke kota yang jauh dari keluarga. "Tapi Rai..." katanya lembut, mencoba memberi pengertian, namun rai langsung memotong, "Gak mau sayang. Rai gak mau."

Melihat keteguhan hati istrinya yang bersikeras untuk tetap di sisinya, Rayan perlahan menangkup wajah rai dengan kedua tangannya. Ia menatap dalam ke mata rai, merasakan cinta yang mendalam di balik tatapan penuh harap itu. Dengan penuh kasih, ia mendekat, memberikan kecupan lembut di bibir istrinya. "Lucu banget, persis seperti zeline," godanya, tak mampu menahan senyum melihat kemiripan cara rai merengek dengan putri mereka.

Rai pun cemberut, menanggapi dengan nada sebal yang penuh manja, "Iyalah, kan anak aku." Rayan terkekeh pelan, geli mendengar jawabannya, lalu membetulkan, "Anak kita." Dengan wajah merona, Rai kembali merapatkan pelukannya, seperti anak kecil yang tidak mau lepas dari orang tuanya, lalu memohon dengan nada penuh rengekan, "Rai gak usah pulang ya. Rai di sini aja ya. Ya, boleh kan? Rai di sini aja."

Rayan menatapnya lama, tersentuh melihat betapa cintanya rai kepada keluarga mereka. Ia mengusap punggung rai dengan lembut, mencoba meredakan rasa berat hati istrinya. Walaupun mereka sama-sama tahu bahwa rai harus kembali, momen ini terasa begitu berharga, menciptakan kenangan manis yang akan mereka simpan hingga mereka bisa bertemu lagi.

"Sayang, dengarkan aku," bisiknya pelan, berharap kata-katanya akan sampai di hati istrinya. "Di sana, Rai juga punya tanggung jawab. Banyak yang menanti rai, terlebih Ibu. Dia pasti menunggu rai pulang. Kapan pun rai bisa datang lagi," lanjutnya dengan penuh pengertian.

Namun, bukannya merasa terhibur, Rai justru perlahan melepas pelukannya dan membalikkan tubuhnya, membelakangi rayan. Ada raut kesal yang mulai tampak di wajahnya, dan air mata yang tak bisa dibendung akhirnya menetes. “Berarti kamu usir aku kan? Kamu gak suka aku di sini ya?” ucapnya penuh perasaan, suaranya bergetar, seolah mencari kepastian dari rayan.

Rayan terkejut, tak menyangka bahwa perkataannya justru menyakiti hati istrinya. Ia menggeleng cepat, ingin segera meluruskan kesalahpahaman ini. Ia mencoba mendekati rai, namun rai malah menepis tangannya, lalu berkata dengan nada yang penuh dengan rasa kecewa, “Awas lah. Iya, aku pulang sekarang. Gak usah kamu suruh juga aku tetap pulang.”

Air mata rai jatuh semakin deras, mengalir tanpa henti. Rayan merasa terluka melihat kesedihan yang tak sengaja ditimbulkan oleh ucapannya. Tanpa ragu, ia segera memeluk rai dari belakang, menahannya erat dalam pelukannya. Rai mencoba melepaskan diri, namun rayan menahannya, enggan melepaskan sosok yang dicintainya. Ia perlahan membalikkan tubuh rai, menatap wajahnya yang kini basah oleh air mata.

Dengan penuh kelembutan, Rayan mengusap pipi rai, menghapus jejak tangis yang mengalir. Ia menatapnya dalam-dalam, seolah ingin meyakinkan bahwa tak ada niat sedikit pun untuk menyakiti. Kemudian, ia mendekatkan wajahnya, mengecup bibir rai dengan penuh kasih, memberikan sentuhan yang lembut dan menenangkan, seolah berusaha menghapus kesedihan yang terlanjur tersimpan di hati istrinya. Dalam keheningan itu, hanya ada keduanya yang saling menyampaikan perasaan yang tak terucapkan, menyembuhkan luka kecil dengan kasih sayang.

Dalam kehangatan pelukan rayan, Rai merasa terlindungi, seolah seluruh dunia tak bisa mengganggu mereka di momen itu. Tangan rayan yang melingkar di pinggangnya terasa hangat, begitu pula dengan ciuman lembut yang mereka bagi, sebuah ungkapan cinta yang tak perlu banyak kata.

Rai mengalungkan tangannya di leher rayan, semakin mendekatkan diri pada sosok yang selalu memberinya rasa aman. Ciuman itu tidak terburu-buru, mereka larut dalam kelembutan, meresapi setiap detik yang terasa berharga. Hati mereka saling terhubung, dan tanpa kata pun mereka tahu, ada keengganan untuk berpisah.

Di tengah keintiman itu, Rayan berhenti sejenak, menatap mata rai yang masih berkaca-kaca, lalu berbisik lirih, “Aku sebenarnya tidak mengizinkan kamu pergi...tapi ada nyawa anak kita yang harus kita lindungi.” Suaranya bergetar, menggambarkan pergolakan batin yang tak bisa diungkapkan dengan mudah.

Air mata mengalir pelan di wajahnya, sebuah ungkapan dari kesedihan yang tersimpan di hati. Dia menatap rai dengan kasih sayang yang begitu mendalam, menyadari bahwa perpisahan sementara ini adalah keputusan yang harus diambil demi kebaikan. Rai menatapnya dengan penuh pengertian, Rai ikut menangis, jari-jarinya dengan lembut menyapu pipi Rayan yang basah oleh air mata. Meski berat, Rai tahu bahwa ini adalah pengorbanan untuk masa depan keluarga mereka. Mereka pun saling mendekap erat, berharap agar jarak takkan pernah bisa memisahkan hati yang selalu merindukan satu sama lain.

Tiba-tiba rai dan rayan serentak menoleh ke arah pintu. Di sana, Zeline, putri kecil mereka, memanggil. Rayan melangkah pelan ke arah pintu, membukanya dengan lembut agar zeline bisa masuk. Rai menunggu di tepi ranjang, hatinya mulai terasa berat memikirkan perpisahan yang sebentar lagi harus terjadi.

Zeline berjalan kecil ke arah ibunya, wajah polosnya menunjukkan ketulusan yang membuat hati rai semakin tak tega. Rai menyentuh pipi mungil putrinya, mengusapnya lembut seakan ingin mengabadikan setiap detik. Dengan suara penuh kasih, ia bertanya, “Adek, bunda boleh pergi sebentar gak nak?” Rai memandang zeline, berharap penjelasannya akan dimengerti oleh gadis kecil ini.

Zeline menatap wajah ibunya dengan tatapan bingung, lalu bertanya polos, “Bunda mau ke mana? Adek ikut.” Senyum manis zeline itu adalah hal yang paling dirindukan rai setiap saat. Rai menghela napas dan mencoba menjelaskan, “Bunda mau bekerja sayang. Nanti bunda balik lagi ke sini terus sama adek.” Tapi zeline menggelengkan kepalanya, wajahnya berubah sedih, dan suara kecilnya bergetar, “Gak mau, adek mau ikut.”

Air mata mulai menggenang di pelupuk mata zeline, dan seketika tangisnya pecah, membuat hati rai terasa semakin berat. Rai segera menarik zeline ke dalam pelukannya, mendekapnya erat seolah ingin menenangkan kegundahan hati sang buah hati. Ia mengangkat zeline, mendudukkannya di pangkuannya, dan mengusap-usap punggungnya dengan lembut.

Rai mengecup puncak kepala zeline, mencoba menguatkan dirinya agar tak ikut terhanyut dalam tangisan. Sambil memangku zeline yang masih terisak, Rai berbisik lembut, “Sayang, bunda pasti cepat pulang ” tapi zeline tetap menangis. hati rai semakin berat tapi ia juga terpaksa harus pulang ke kota kencana. Rai berpikir sejenak, mencari cara agar zeline bisa tenang. Rai menoleh ke jam dinding, sekarang pukul dua siang, waktunya zeline untuk tidur siang. Rai pun punya ide, dengan helaan nafas berat rai mulai bicara dengan lembut.

“Adek, nen mau? Ini waktunya bobok siang kan.” Sambil berkata begitu, ia perlahan membuka kancing bajunya, menawarkan kenyamanan yang selalu dicari oleh putri kecilnya. Zeline, yang masih tersengguk-sengguk setelah tangisnya, mengangguk kecil. Meskipun masih ada bekas air mata di pipinya, wajah zeline mulai tenang, seakan menemukan ketenangan yang hilang dalam pelukan hangat ibunya.

Rai mendekap zeline dengan penuh kasih, membiarkan putri kecilnya menempel erat di dadanya. Tanpa kata-kata, hanya dengan tatapan dan sentuhan lembut, Rai merasakan cinta yang dalam untuk buah hatinya. Zeline pun mulai menghisap dengan lembut, pelukannya mengencang di tubuh ibunya, seolah tak ingin membiarkan detik-detik ini berlalu. Perlahan, nafasnya menjadi lebih teratur, matanya semakin berat, hingga dalam kenyamanan yang disediakan oleh Rai, Zeline mulai terlelap. Di tengah heningnya kamar itu, Rai mengelus rambut putrinya dengan penuh kelembutan, menikmati momen sederhana namun penuh arti, menyimpan kekuatan untuk hari-hari yang akan datang.

Setelah memastikan zeline terlelap di kamar, Rai keluar ke depan rumah, bergabung bersama Rahma dan Tio yang juga bersiap untuk kembali ke kota kencana. Namun, perpisahan ini tidak mudah baginya. Di hadapan rahma dan tio, Rai langsung memeluk rayan erat, tidak peduli akan terlihat manja. Rayan, yang menyadari betapa beratnya momen ini bagi istrinya, membalas pelukannya dengan penuh kelembutan. Dengan lembut, ia mengelus rambut rai, menenangkan seakan pelukan itu bisa menyampaikan rasa cintanya yang mendalam.

“Nanti di jalan jangan ngebut-ngebut ya? HP-nya jangan dimatikan. Kalau capek, berhenti dulu, jangan dipaksakan ” kata Rayan sambil menatapnya, seolah ingin memastikan setiap kata tertanam di hati rai. “Sampai di sana kabari lagi, dan langsung istirahat, jangan ke mana-mana.”

Rai mengangguk pelan, namun pelukannya tak kunjung terlepas, seolah setiap detik semakin mengikat perasaan mereka. Rahma dan Tio, yang menyaksikan momen itu, tersenyum simpul, membiarkan pasangan itu menikmati sisa-sisa kebersamaan sebelum mereka harus berpisah sementara.

Setelah lama berpelukan, Rai akhirnya bersiap untuk pergi. Rayan memberikan ciuman penuh kasih di kening, bibir, dan pipi istrinya, seolah berusaha menahan kepergian yang terasa begitu berat. Dengan tatapan penuh cinta, Rayan melepas rai masuk ke dalam mobil. Rahma dan tio pun berpamitan, lalu mereka hendak masuk ke dalam mobil.

Namun, di dalam kamar, Zeline terbangun, merasakan kekosongan di sisi tempat tidurnya. Ia mencari-cari sosok ibunya. Mendengar suara ayahnya berbicara di luar, gadis kecil itu segera berlari keluar kamar. Tepat di depan rumah, mesin mobil rai mulai menyala, bersiap untuk bergerak pergi. Tanpa diduga, Zeline tiba-tiba muncul di ambang pintu, mengejutkan rayan, rahma, dan tio yang tidak menyangka dia terbangun begitu cepat.

"Bunda!" Zeline berteriak, suaranya penuh dengan tangis dan kepanikan. Kecilnya tubuh itu berlari mengejar mobil yang mulai bergerak perlahan. Melihat putrinya berlari sambil menangis memanggilnya, Rai tertegun dan segera menghentikan mobil. Hatinya mencelos saat menyadari betapa berat perpisahan ini bagi zeline.

Rayan segera menyusul zeline, mengejar langkah kecilnya yang berlari. Ia menggendong zeline, membawanya ke arah rumah, namun zeline terus meronta di pelukannya, tangisnya pecah seiring kata-kata polos yang keluar, "Bunda, adek ikut... adek ikut."

Rai turun dari mobil, berlari ke arah mereka. Ia mendekap zeline erat, mengusap rambutnya, menenangkan si kecil yang begitu terpukul oleh perpisahan ini. "Bunda cuma pergi sebentar sayang " Rai berbisik lembut, air matanya ikut mengalir, terbawa oleh tangisan zeline. Namun zeline hanya memeluknya semakin erat, tak ingin melepaskan sedikit pun.

Momen itu penuh dengan kesedihan dan kehangatan, sebuah bukti bahwa cinta keluarga mereka begitu dalam dan tulus. Rayan menyaksikan dengan mata berkaca-kaca, menyadari bahwa cinta antara ibu dan anak ini akan selalu menantang setiap jarak yang memisahkan mereka.

-

-

Rayan menatap rai yang sedang berusaha menenangkan zeline, mengelus punggung putri mereka dengan penuh kasih sayang. Meski hatinya berat, Rayan berusaha bersikap tegar, lalu berkata lembut "Sudah, tidak apa-apa, Rai pergi saja. Biar aku yang menenangkan zeline."

Namun, saat ia mencoba mengambil zeline dari dekapan rai, gadis kecil itu justru mempererat pelukannya pada sang ibu. Dengan tangis yang semakin pecah, Zeline berkata "Adek ikut sama bunda…"

Rayan menarik napas dalam-dalam, berusaha merayu zeline dengan lembut, "Bunda cuma pergi sebentar nak. Adek ikut ayah saja yuk. Nanti kita jalan-jalan, beli boneka baru, mau nggak ?" Tapi zeline tetap tak mau, tangisnya tak kunjung reda, dan pelukannya pada rai semakin erat.

Rahma, yang menyaksikan ketegangan tersebut, maju sedikit dan berkata, "Rayan, biarkan saja zeline ikut ibunya. Lihat betapa sedihnya dia."

Rayan, Rai, dan Tio menoleh pada rahma. Tio mencoba mengingatkan, "Rahma, akan sangat bahaya kalau zeline ikut pulang ke sana."

Rahma menoleh pada tio dengan tegas. "Apa kamu tidak lihat? Gadis kecil itu jelas tidak ingin berpisah. Dia akan baik-baik saja selama bersama ibunya. Rai tidak akan membiarkan zeline disakiti."

Rayan menatap rahma sejenak sebelum menggeleng. "Tidak, Zeline tetap di sini," katanya, suaranya bergetar.

Rai menatap wajah suaminya dengan tatapan terluka, dan berkata lirih, "Kenapa?"

Rayan terdiam, lalu menoleh "Aku… aku takut rai. Aku takut kalau ibu akan melukai zeline… Tidak ada yang bisa ku percaya di sana."

Air mata rai menetes saat mendengar kata-kata suaminya. Ia bertanya dengan suara bergetar, "Termasuk aku?"

Rayan terdiam, menyadari betapa menyakitkannya ucapannya bagi rai. Ia mencoba menjelaskan, "Rai, bukan begitu maksudku…"

Namun, Rai tetap terluka. "Aku ibunya, Aku yang melahirkannya. Apa kamu tidak percaya padaku?"

Rayan menundukkan kepala, merasa bersalah dan menyadari betapa dalam perasaan rai. Ia tahu ia seharusnya percaya penuh pada istrinya. Sebenarnya, ia tidak pernah meragukan cinta dan perlindungan rai untuk zeline, ia hanya takut pada orang-orang di sekitar rai. Namun, kata-katanya justru telah membuat istrinya merasa tak dipercaya.

Dengan penuh penyesalan rayan berkata "Maafkan aku rai… aku percaya padamu."

Dan rahma, dengan suara lembut tapi penuh tekad, berkata, "Rayan, biarkan zeline ikut rai pulang ke kencana. Dia akan aman di sana. Aku dan tio juga ada di sana. Daripada nanti zeline jatuh sakit lagi, lebih baik dia bersama ibunya. Sampai kapan kau akan hidup dalam ketakutan seperti ini? Zeline butuh ibunya, dan tidak ada yang bisa memisahkan mereka. Kau tidak sendirian rayan. Aku dan tio adalah keluarga kalian. Kami akan selalu mendukung kalian. Percayalah pada hatimu, dan percayalah pada harapan yang kau ucapkan dalam doamu. Rai juga punya dina yang akan selalu membantu."

Kata-kata rahma menembus hati rayan, membawa ketenangan yang perlahan menghapus keraguannya. Dia menatap rai, yang masih mencoba menenangkan putri mereka. Rai menatap balik, dengan sorot mata yang penuh kasih dan air mata yang mengalir, memperlihatkan cinta dan kekuatan seorang ibu yang tak ingin berpisah dari anaknya.

Melihat tatapan itu, Rayan merasa hatinya luluh. Perlahan, dia mendekat, merengkuh rai dan zeline dalam pelukan hangatnya. Dengan suara lirih yang penuh penyesalan, dia berbisik, "Maafkan aku rai. Aku tahu kamu ibu terbaik zeline. Bawalah dia pulang bersamamu."

Di pelukan itu, Rai merasa lega, air matanya mengalir semakin deras. Dia tahu rayan telah melepas ketakutannya. Rayan mengecup kening rai dan zeline, menguatkan dirinya untuk melepas mereka, meski hatinya tetap dipenuhi harapan bahwa keluarga kecil mereka akan segera bersama lagi, tanpa rasa takut atau keraguan.

1
Nikmah dara Puspa saragih
🤗
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!