Aiden Valen, seorang CEO tampan yang ternyata vampir abadi, telah berabad-abad mencari darah suci untuk memperkuat kekuatannya. Saat terjebak kemacetan, dia mencium aroma yang telah lama ia buru "darah suci," yang merupakan milik seorang gadis muda bernama Elara Grey.
Tanpa ragu, Aiden mengejar Elara dan menawarkan pekerjaan di perusahaannya setelah melihatnya gagal dalam wawancara. Namun, semakin dekat mereka, Aiden dihadapkan pada pilihan sulit antara mengorbankan Elara demi keabadian dan melindungi dunia atau memilih melindungi gadis yang telah merebut hatinya dari dunia kelam yang mengincarnya.
Kini, takdir mereka terikat dalam sebuah cinta yang berbahaya...
Seperti apa akhir dari cerita nya? Stay tuned because the 'Bloodlines of Fate' story is far form over...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Detia Fazrin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Khawatir
...»»————> Perhatian<————««...
...Tokoh, tingkah laku, tempat, organisasi profesi, dan peristiwa dalam cerita ini adalah fiktif dan dibuat hanya untuk tujuan hiburan, tanpa maksud mengundang atau mempromosikan tindakan apapun yang terjadi dalam cerita. Harap berhati-hati saat membaca....
...**✿❀ Selamat Membaca ❀✿**...
Aiden dan Elara akhirnya sampai di tengah hutan. Nafas mereka terengah-engah, tubuh Aiden terlihat semakin lemah dari sebelumnya. Namun, Elara yang masih diliputi kekhawatiran langsung berlari menuju neneknya. Dengan perasaan lega, Elara memeluk Nenek Mika dengan erat. Kebahagiaan terpancar dari wajah nenek dan cucunya itu, sementara Nenek Mika membelai rambut Elara, memastikan bahwa cucunya dalam keadaan baik-baik saja.
Namun, dalam momen hangat itu, mereka mulai menyadari perubahan pada Aiden. Wajahnya pucat, keringat dingin membasahi dahinya, dan napasnya terdengar berat. Sadar akan kondisi Aiden yang semakin lemah, mereka segera memutuskan untuk kembali ke rumah Aiden agar ia bisa beristirahat. Begitu tiba di sana, Elara langsung mencari tempat tidur untuknya.
Saat Aiden berbaring, Elara dan Kevin berbicara pelan di luar kamar. Mereka tahu bahwa satu-satunya harapan bagi Aiden dan Nate yang juga terluka adalah jamur purnama, yang terkenal akan sifat penyembuhannya. Namun, jamur itu hanya muncul di malam bulan purnama, dan tak semua orang berani mencarinya. Kevin tahu risiko besar yang mengintai mereka di hutan malam ini, terutama saat bulan purnama, saat kekuatan para vampir seperti Monvok bisa mencapai puncaknya.
“Elara, kau harus mengerti. Hutan ini bukan tempat aman untuk manusia sepertimu malam ini. Bulan purnama membuat vampir semakin kuat, dan aku sudah mencium aroma vampir lain di sekitar sini,” ujar Kevin dengan nada waspada.
"Aku juga sama dengan mu, aku Dhampir... "
Kevin tersenyum tipis, "Kita memang sama tapi kekuatan kita berbeda." gumam di dalam hati Kevin.
Kini Elara menatap Kevin dengan tatapan penuh kecemasan. “Tapi, Aiden dan Nate butuh jamur itu. Kita tak bisa hanya diam saja dan menunggu mereka membaik dengan sendirinya. Kau tak perlu mencemaskan ku, aku bisa menjaga diriku.”
“Tetap saja, aku tak bisa mengambil risiko untuk keselamatanmu, Elara. Monvok mungkin sudah tahu kalau kita ada di hutan ini. Sebaiknya kau tetap di sini, bersembunyi di gua terdekat sementara aku mencari jamur itu,” desak Kevin.
Elara akhirnya mengangguk, meskipun hatinya enggan berpisah dengan Kevin. “Baiklah, Kevin. Tapi, kau harus cepat kembali dan hati-hati.”
Kevin tersenyum singkat dan menepuk bahu Elara. Setelah itu, ia bergerak cepat menuju bagian dalam hutan. Namun, hanya beberapa langkah, Kevin mendadak berhenti. Ia merasakan kehadiran makhluk lain di sekitarnya, aura berbahaya yang sangat jelas. Dengan segera, ia kembali ke Elara dan menariknya ke arah rumah Aiden.
“Kita harus kembali ke rumah Aiden. Tidak ada waktu untuk mengambil risiko lebih jauh,” katanya dengan nada tegas.
❦┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈ Bloodlines of Fate
Mereka berdua akhirnya berlari kembali ke rumah Aiden, berharap masih ada jalan lain untuk menyembuhkan luka-luka mereka. Begitu tiba, Nenek Mika sudah menunggu di depan pintu, tampak cemas melihat Elara.
“El, jangan terlalu berani. Kau tidak perlu pergi jauh mencari jamur purnama itu. Itu terlalu berbahaya,” ujar Nenek Mika sambil memeluk Elara.
Elara hanya mengangguk, lalu berusaha menenangkan neneknya. “Nenek, aku akan baik-baik saja. Kami sudah kembali, dan kita akan mencari cara lain untuk membantu Aiden dan Nate.”
Setelah beberapa menit, Nenek Mika mulai bertanya tentang Dennis, atau Nate, ayah tiri Elara yang sempat Elara selamatkan. Elara menghela napas panjang, mengingat bagaimana ayah tirinya sempat menjelaskan bahwa ada kesalahan pahaman dan Nate yang melindungi nya dari Monvok.
“Nenek, Nate tidak seperti yang kita kira. Dia memang terlihat dingin, tapi dia mencintai ibu dan selalu berusaha melindungi ku. Semua ini salah paham yang perlu kita luruskan. Dia tidak pernah berniat membunuh ibu.”
Nenek Mika mengangguk pelan, mencoba memahami apa yang dirasakan oleh cucunya itu. Setelah itu, ia menyarankan Elara untuk membawa Nenek Mika dan Bibi Lena ke kamar untuk beristirahat, sementara Elara tetap terjaga memikirkan banyak hal yang masih belum terpecahkan.
❦┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈ Bloodlines of Fate
Ketika rumah mulai sunyi dan semua orang tertidur, Elara merasa cemas dan penasaran dengan keadaan Aiden dan Nate. Dia memutuskan untuk memeriksa kondisi mereka satu per satu. Pertama, ia pergi ke kamar ayah tirinya, Nate. Nate terbaring lemah, napasnya masih berat meskipun ia tampak tenang dalam tidurnya. Melihat ayah tirinya dalam keadaan seperti itu membuat Elara merasa bersalah.
Setelah beberapa saat, Elara menghela napas panjang dan keluar dari kamar Nate. Kini pikirannya tertuju pada Aiden. Selama ini, Aiden selalu menjadi sosok misterius baginya, sosok vampir yang kuat namun juga melindunginya dalam situasi genting.
Dengan hati-hati, Elara melangkah menuju kamar Aiden. Pintu kamar itu besar dan berat, bergaya kuno dengan ukiran-ukiran rumit di permukaannya. Ketika Elara membuka pintu, hawa dingin menyambutnya, seperti udara beku yang menyelimuti ruangan itu. Mata Elara tertuju pada sudut ruangan, tempat Aiden terbaring lemah di tempat tidur yang megah dan terlihat berusia ratusan tahun.
Kamar Aiden begitu sunyi, hampir menyeramkan. Dekorasi kuno memenuhi ruangan, dengan dinding batu yang dihiasi dengan lukisan-lukisan misterius dan lilin-lilin yang hampir habis terbakar. Tirai hitam di dekat jendela berkibar pelan, memberikan suasana yang lebih menyeramkan. Elara mendekati tempat tidur Aiden dan memperhatikan wajahnya yang pucat, jauh berbeda dari biasanya.
Aiden membuka mata perlahan ketika merasakan kehadiran Elara di sampingnya. Dia menatapnya dengan mata yang masih terlihat lelah, namun ada kilatan kecil yang menandakan bahwa dia senang melihatnya.
“El… kenapa kau di sini?” suara Aiden terdengar serak, nyaris seperti bisikan.
Elara tersenyum kecil, meskipun rasa khawatir masih menghantuinya. “Aku hanya ingin memastikan kau baik-baik saja, Aiden. Kau sudah banyak membantuku, dan aku ingin membantumu kali ini.”
Aiden mencoba tersenyum, tetapi terlihat bahwa setiap gerakan membuatnya semakin lemah. “Aku baik-baik saja, Elara. Hanya sedikit lelah… kau tidak perlu khawatir.”
Namun, Elara tidak begitu saja percaya. Ia tahu Aiden terluka parah setelah pertarungan dengan Monvok, dan kondisinya sekarang semakin memburuk. Tanpa ragu, ia duduk di sampingnya, menatapnya dengan sorot mata penuh kepedulian.
“Aiden, kau tidak perlu berpura-pura kuat. Aku bisa melihat kau sedang berjuang untuk pulih,” ucapnya pelan.
Aiden terdiam sejenak, seolah berusaha menahan sesuatu. Dia menatap Elara dalam-dalam, melihat betapa tulusnya perhatian yang diberikan gadis itu padanya. Ini pertama kalinya dia merasakan kehangatan seperti ini dalam waktu yang sangat lama, mungkin sejak dia menjadi seorang vampir.
“Kenapa kau peduli padaku, Elara?” tanya Aiden akhirnya, suara yang begitu lembut namun penuh arti.
Elara tersentak mendengar pertanyaan itu, tapi ia tetap menatap Aiden dengan tegas. “Karena… karena kau adalah bagian dari keluargaku sekarang. Aku tahu kita berbeda, tapi itu tidak mengubah kenyataan bahwa aku menghargai mu. Kau telah menyelamatkan hidupku lebih dari sekali. Bagaimana mungkin aku tidak peduli?”
Mendengar jawaban Elara, seulas senyum kecil muncul di wajah Aiden. Meskipun dia sudah hidup dalam kesendirian selama berabad-abad, malam ini dia merasa sedikit lebih hidup. Kehangatan yang ia rasakan begitu nyata, meski tubuhnya masih terasa lemah.
“Kau gadis yang berani, Elara. Dan aku beruntung bisa mengenalmu,” bisik Aiden.
Elara tersenyum, lalu tanpa sadar tangannya bergerak memegang tangan Aiden yang dingin. Sentuhan itu terasa begitu alami, seakan-akan meskipun berbeda dunia, mereka bisa saling mengerti tanpa banyak kata.
Malam semakin larut, dan Elara akhirnya tertidur di samping Aiden. Sang vampir hanya memandangi wajah tenangnya yang tertidur, merasa bahwa mungkin, untuk pertama kalinya, dia tak lagi sendirian. Meski esok hari masih penuh dengan bahaya dan ketidakpastian, malam itu memberikan kedamaian kecil yang mereka butuhkan.