Genap 31 tahun usianya, Rafardhan Faaz Imtiyaz belum kembali memiliki keinginan untuk menikah. Kegagalan beberapa tahun lalu membuat Faaz trauma untuk menjalin kedekatan apalagi sampai mengkhitbah seorang wanita.
Hingga, di suatu malam semesta mempertemukannya dengan Ganeeta, gadis pembuat onar yang membuat Faaz terperangkap dalam masalah besar.
Niat hati hanya sekadar mengantar gadis itu kepada orang tuanya dalam keadaan mabuk berat dan pengaruh obat-obatan terlarang, Faaz justru diminta untuk menikahi Ganeeta dengan harapan bisa mendidiknya.
Faaz yang tahu seberapa nakal dan brutal gadis itu sontak menolak lantaran tidak ingin sakit kepala. Namun, penolakan Faaz dibalas ancaman dari Cakra hingga mau tidak mau pria itu patuh demi menyelamatkan pondok pesantren yang didirikan abinya.
.
.
"Astaghfirullah, apa tidak ada cara lain untuk mendidik gadis itu selain menikahinya?" Rafardhan Faaz Imtiyaz
Follow Ig : desh_puspita
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 34 - Orang Sabar Disayang Mertua
Ganeeta terkejut dengan ucapan Alifah yang cukup menusuk tepat di jantungnya. Ingin dia menjawab dengan kata-kata mutiara yang tak kalah pedas, tapi Ganeeta masih berpikir dua kali demi menghindari petaka yang lebih besar lagi.
Tanpa kata, Ganeeta mengekor di balik punggung Alifah yang berjalan lebih dulu dengan langkah terburu.
Begitu tiba di ruang makan, Ganeeta lagi dan lagi terkejut tatkala melihat ada seseorang yang tengah menyiapkan makan malam.
"Mbok stop ... biar kami yang lanjutin," ucap Alifah menghentikan mereka.
Wanita itu seketika terdiam, tampak bingung dan ragu sebelum bertindak. "Kenapa begitu, Ning Alifa?'
"Ini, Ganeeta mau latihan jadi istri yang baik untuk Mas Faaz," ucap Alifah kemudian merangkul pundak Ganeeta yang kemudian mendapat respon positif dari wanita paruh baya itu.
"Masya Allah, ini Ning Ganeeta? Mbok tadi belum sempat ketemu ... masih muda ya ter_"
"Mbok ...." Dengan mata tajam, Alifah berhasil membuat wanita itu berlalu tanpa banyak bicara.
Menyisakan Ganeeta yang kini dalam pengawasan Alifah di sana. Tanpa perlu dijelaskan, Ganeeta tahu betul apa yang tengah terjadi padanya.
"Tunggu apa lagi? Sana siapin," titah Alifah seraya memberikan isyarat lewat dagunya.
Pertama dalam hidup, Ganeeta diminta untuk menyiapkan makan malam dalam skala besar dia merasa tengah diminta menggantikan peran pembantu di rumah tersebut.
Sendirian, Alifah hanya memantau sementara yang bergerak hanya dia seorang. Hal semacam ini sebenarnya bukan masalah besar, Ganeeta tidak semalas itu sebenarnya.
Anggapan bahwa dia adalah gadis manja dan terima beres dalam segala hal adalah sebuah kesalahan besar. Meski terlahir sebagai putri konglomerat, Ganeeta tetap dibekali berbagai ilmu dari maminya sebagai bekal untuknya di masa depan.
Jika hanya diminta menyiapkan makan, gampang saja bagi Ganeeta. Tanpa melayangkan protes ataupun memperlihatkan ekspresi tak suka, Ganeeta enjoy saja.
Tak terduga, di tengah melakukan aktivitasnya, pujian sang mertua justru terdengar hingga menghentikan gerak-gerik Ganeeta.
"Masya Allah, rajinnya ... Alifah kenapa cuma diam? Bantu dong, Nak."
"Biar saja dia latihan, Umi, tidak ada salahnya belajar dari hal kecil."
"Iya tahu, tapi yang begini bukan tugas Ganeeta ... Mbok Sulastri mana? Apa sedang ada pekerjaan lain?"
"Aduh, Umi, jangan dimanjakan begitu ... toh dia juga mau, biarkan dia belajar menyesuaikan diri dan mengerti bahwa di sini tidak ada yang namanya tuan putri."
"Alifah jaga sikapmu, kenapa jadi tidak sopan begitu?"
"Ck, atas dasar apa aku harus bersikap sopan pada anak kecil itu?" pungkasnya tanpa ragu menatap Ganeeta dengan penuh kebencian di sana.
Ucap bersikap begitu, Alifah bergegas pergi meninggalkan Ganeeta yang kini didampingi Umi Fatimah di sampingnya.
"Astaghfirullahaladzim ...."
Perlahan mendekat, Umi Fatimah tampak tidak enak hati dan menggenggam jemari Ganeeta.
"Ganeeta maafkan sikap Alifah ya, Umi sudah berkali-kali memintanya mengerti ... tapi, rasa sayang Alifah pada Faaz membuat semua ini jadi rumit, dia tidak setuju dengan keputusan kakaknya sewaktu meminangmu kala itu."
"Aku tahu, Umi."
"Jangan sedih, lambat laun dia akan terima jadi tidak perlu diambil pusing ... iya, Sayang?"
Ganeeta mengangguk disertai senyum hangat di wajahnya. Sedikit melegakan, ternyata Umi Fatimah berada di pihaknya.
"Oh iya, tadi Faaz bilang kamu kurang enak badan, sudah mendingan?"
"Sudah, Umi, ini agak mendingan."
"Huft kasihan," ucap Umi Fatimah kemudian menghela napas panjang. "Pasti ini karena Faaz tidak tahu waktu ... kebiasaan."
"Bukan salah Mas Faaz kok Umi, memang aku yang belum mau pulang tadi," ungkap Ganeeta demi melindungi sang suami atas dugaan yang tak sesuai dengan faktanya itu.
"Apapun itu, harusnya Faaz bisa antisipasi."
Sembari mengusap pundak Ganeeta, Umi Fatimah terus mengomel dan menyalahkan Faaz hingga Ganeeta seketika menghangat dan dapat mengerti bahwa kata-kata orang sabar disayang mertua itu bukan isapan jempol belaka.
Tak heran, hal itu kian membuat Alifah yang baru saja kembali ke ruang makan naik darah.
Terlebih lagi, sewaktu Faaz beserta suami dan Abi Hanan kini bergabung di meja, sudah tentu wajah Alifah makin suram dibuatnya.
"Kamu kok di luar?" tanya Faaz mendekat dan duduk di sisi Ganeeta.
"Pertanyaanmu ada-ada saja, waktunya makan malam ya wajar Ganeeta keluar kamar, Faaz," timpal Umi Fatimah yang agak sedikit gemas mendengar pertanyaan putranya.
"Bukan begitu, Umi, masalahnya tadi Ganeeta tidak enak badan ... kenapa sekarang di luar? Kan bisa aku yang ambilkan kalau cuma makan nanti."
"Ah itu, istrimu tadi yang menyiapkan makan malam, kalau kata Alifah latihan," ungkap Umi Fatimah yang sebenarnya tidak tahu persis bahwa Ganeeta diperlakukan tak ubahnya pembantu.
Tahunya memang Ganeeta yang berniat melakukannya dengan maksud latihan untuk menjadi seorang istri dari hal kecil, itu saja.
Berbeda dengan Faaz, tanpa perlu menginterogasi istrinya dia paham betul apa yang terjadi hingga tanpa basa-basi menatap ke arah Alifah segera.
"Alifah ...."
Yang punya nama seketika mendongak karena merasa terpanggil, dengan tatapan tanpa dosanya wanita itu berani membalas tatapan Faaz.
"Kenapa?"
"Kamu yang_"
"Faaz sudah, tidak baik berdebat di depan makanan ... nanti saja dilanjutkan." Abi Hanan menegur dengan suara lembutnya karena sudah dapat mencium aroma-aroma pertikaian di antara kedua buah hatinya.
.
.
Hal itu berhasil, Faaz menurut dan memilih diam. Meski amarahnya sudah meledak-ledak, tapi sebisa mungkin dia tahan.
Sementara waktu, Faaz hanya melanjutkan makan malam yang terasa agak berbeda. Sesekali dia menatap ke arah Ganeeta yang juga memaksakan diri untuk ikut makan meski nasinya hanya secuil dengan alasan kenyang.
Selesai makan, Faaz sengaja menarik Alifah ke halaman belakang karena merasa memang benar-benar perlu bicara empat mata.
"Sini kamu ...." desis Faaz tak segan mencengkram pergelangan tangan Alifah sekuat tenaga.
"Apasih, Mas?"
"Apa yang kamu lakukan pada Ganeeta selama Mas tidak di rumah? Hem?"
"Tanya sama dia, kenapa ke aku?"
"Jawab saja, jangan buat Mas makin marah."
"Ck, berlebihan ... aku cuma mengajaknya menyiapkan makan malam, apa salahnya?"
"Ajak atau nyuruh-nyuruh?" tanya Faaz seraya bersedekap dada karena dia yakin Alifah tengah berdusta.
"Ajak, tanya saja padanya," ucap wanita itu lagi-lagi masih berani berdusta.
"Jangan mengelak, Mas tahu kamu tidak suka padanya ... pasti kamu mencari cara untuk membuatnya tidak betah, 'kan?"
Alih-alih menjawab, Alifah justru memutar bola matanya malas seraya berdecak sebal. "Kalau tahu aku tidak suka kenapa Mas bawa dia ke rumah ini?"
"Apa hakmu melarang Mas membawanya? Abi dan Umi ingin bertemu dan Mas membawa Ganeeta bukan untuk bertemu denganmu, camkan itu!!"
.
.
- To Be Continued -
kel. megantara belum turun tangan nih lihat anggota kesayangan dpt masalah 🥰