Setelah Danton Aldian patah hati karena cinta masa kecilnya yang tidak tergapai, dia berusaha membuka hati kepada gadis yang akan dijodohkan dengannya.
Halika gadis yang patah hati karena dengan tiba-tiba diputuskan kekasihnya yang sudah membina hubungan selama dua tahun. Harus mau ketika kedua orang tuanya tiba-tiba menjodohkannya dengan seorang pria abdi negara yang justru sama sekali bukan tipenya.
"Aku tidak mau dijodohkan dengan lelaki abdi negara. Aku lebih baik menikah dengan seorang pengusaha yang penghasilannya besar."
Halika menolak keras perjodohan itu, karena ia pada dasarnya tidak menyukai abdi negara, terlebih orang itu tetangga di komplek perumahan dia tinggal.
Apakah Danton Aldian bisa meluluhkan hati Halika, atau justru sebaliknya dan menyerah? Temukan jawabannya hanya di "Pelabuhan Cinta (Paksa) Sang Letnan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hasna_Ramarta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 34 Sekamar Lagi
Aldian sejenak merenung, percaya tidak percaya dengan ucapan Haliza barusan. Apakah dia menangis karena di dalam Hp itu terlalu banyak dan mengingatkan akan kenangan bersama mantannya, atau memang terkenang dengan jerih payah saat bisa membeli Hp itu dengan uangnya sendiri. Aldian melihat Haliza menangisi Hp nya yang rusak itu seakan kehilangan hal besar saja.
"Apakah Haliza terlalu lebay?" tudingnya masih tidak percaya kalau Haliza memang benar-benar sedih karena Hp nya merupakan hasil keringatnya sendiri, sehingga ia tidak sanggup jika harus kehilangan Hp yang selama ini dia jaga dari benturan maupun terpaan virus lainnya.
Aldian pergi dan membiarkan Haliza menangis sendiri karena Hp nya. Ia pikir Haliza memang sedang sensitif saja, untuk itu Aldian tidak mau berusaha menenangkannya. Karena Aldian masih memberikan pelajaran untuk Haliza agar ia merasakan gimana jika ia tidak diperhatikan atau dibiarkan seperti itu.
"Kamu berusaha mencintai aku dengan lebih keras lagi dong, Liza. Sampai saat ini, aku masih belum bisa melihat apakah kamu sudah berusaha mencintai aku atau tidak. Perjuanganmu sejauh ingin tidur sekamar saja karena takut hujan atau suara dahan kena plafon." Aldian berbisik sambil berjalan menuju kamarnya yang kini terasa sepi sejak dirinya dan Haliza pisah kamar.
"Za, aku akan memberikan waktu untukmu supaya bisa mencintai aku. Aku tahu saat ini kamu mungkin sedang berusaha. Tapi usahamu, sampai hari ini belum maksimal. Aku harus membuatmu merasa kehilangan aku lebih dalam," pikir Aldian.
***
Makan malam sudah berlalu, Haliza sudah menaiki tangga duluan. Sepanjang berjalan di tangga, dia sedang berpikir di mana malam ini dia tidur? Sementara di kamar satunya itu, ia sudah merasa kurang nyaman.
Haliza kembali memikirkan cara bagaimana supaya ia bisa tidur di kamar Aldian. Kesedihan karena Hp nya yang rusak sudah raib entah kemana saat Haliza pikirannya harus bergelut tentang di mana malam ini tidur dan juga malam-malam seterusnya.
"Malam ini dan malam-malam selanjutnya, aku harus tidur satu kamar lagi dengan Mas Aldian. Di kamar itu, aku sudah benar-benar tidak nyaman. Aku merasa suara kayu yang menyentuh plafon itu sangat mengganggu dan lama-lama menyeramkan," gumam Haliza.
Tiba di lantai atas, Haliza langsung menuju beranda, dia duduk menunggu Aldian naik. Dia akan meminta tidur di kamar Aldian walaupun rasa malu menggelayuti dadanya.
Aldian sudah muncul dan menapaki lantai dua. Haliza berdiri lalu segera menghampirinya.
"Mas, bisakah aku malam ini dan malam-malam seterusnya tidur satu kamar lagi dengan Mas Aldian? Aku tidak nyaman tidur di kamar itu, Mas. Aku ...."
"Takut hantu dan suara dahan kayu yang menyentuh plafon itu menyeramkan?" potong Aldian seperti sudah tahu alasan Haliza kenapa ia ingin tidur di kamar Aldian.
"Bukankah kita masih suami istri, Mas? Memangnya aku tidak boleh lagi sekamar denganmu?" Haliza balik bertanya.
"Apakah tadi malam aku melarang kamu tidur di kamar aku? Tidak bukan?"
"Jadi, aku boleh tidur sekamar denganmu lagi, Mas?" Pertanyaan Haliza tidak dijawab, karena Aldian sudah berlalu menuju kamar.
Karena tidak ada jawaban, Haliza masih berdiri mematung di sana. Sementara Aldian sudah berlalu menuju kamarnya. Aldian masuk kamar tapi tidak menutup pintu kamarnya, ia yakin karena Haliza akan segera menyusulnya.
Lima menit sampai sepuluh menit, Haliza yang ditunggu belum datang juga ke kamar. Aldian merasa heran kenapa Haliza belum muncul juga.
"Ya ampun, katanya pengen tidur sekamar, tapi ditungguin malah tidak muncul. Apakah dia berubah pikiran?" Aldian membalikkan badan dan keluar dari kamarnya. Aldian mencari sosok Haliza yang tadi mencegatnya di dekat beranda, tapii sosoknya tidak ada.
"Apa Haliza kembali ke kamarnya?" pikirnya sembari berjalan menuju kamar satunya lagi.
Tiba di sana, benar saja Haliza memang berada kamar itu. Dia tengah duduk termenung seperti orang bingung di bibir ranjang.
"Liza, apakah kamu akan termenung di kamar ini, kamu bilang mau tidur sekamar denganku, tapi ditungguin malah tidak muncul. Apakah kamu tidak jadi tidur di kamar aku?" tegur Aldian membuat Haliza kaget campur senang, setidaknya yang mengagetkannya bukanlah setan seperti bayangannya.
"I~iya, Mas. Aku tidur sekamar di kamar Mas Aldian." Haliza membalas dan segera berdiri dari ranjang. Sebelum mengikuti Aldian, ia meraih kantong make upnya yang berisi beberapa pemnersih wajah yang tadi dibelinya di pasar.
"Ayolah, aku sudah ngantuk," ujarnya seraya berjalan duluan, Haliza segera mengikuti. Haliza bisa tersenyum kembali karena ia bisa tidur kembali di kamar Aldian.
Tiba di dalam kamar, Haliza langsung menuju meja rias untuk membersihkan dulu wajahnya yang terasa kotor dari sisa debu jalanan tadi siang.
Sementara itu, Aldian kini sudah menaiki ranjang, ia tidak menegur Haliza yang masih sibuk dengan pembersih mukanya.
Haliza mengakhiri ritualnya, kini dia akan bersiap menaiki ranjang yang sudah ditempati Aldian. Sebelum itu, ia matikan dahulu lampu utama, kemudian menggantinya dengan lampu lima watt. Perlahan, Haliza mulai berjalan menuju sisi kiri ranjang yang biasa ia tiduri.
Sayangnya, selimut miliknya yang kemarin sudah tidak ada di sana. Haliza menyesal, tadi tidak mambawa sekalian selimut dari kamar sebelah. Kalau dia memakai selimut yang sama dengan Aldian, takutnya Aldian protes.
"Liza, kenapa bengong? Kamu mau tidur bukan? Masuklah, dengan selimut yang sama," ujarnya membuat Haliza tidak percaya. Haliza segera menarik selimut itu dan menutupi tubuhnya dengan selimut yang sama yang dipakai Aldian.
"Jangan kamu tarik! Apakah tidak sebaiknya kamu yang mendekat, karena kalau selimut itu kamu tarik, maka aku tidak kebagian," protes Aldian.
Dengan hati berdebar, Haliza akhirnya memberanikan diri mendekat, lalu berbaring dengan tubuh yang hanya berjarak beberapa senti saja. Aldian membiarkan Haliza bergerak semaunya, ia akan melihat apa reaksi Haliza selanjutnya.
"Mas, boleh aku peluk kamu?"Haliza bertanya dengan ragu.
"Terserah kamu, kalau itu maumu," jawab Aldian sembari membaringkan tubuhnya dengan benar, berbaring dengan tubuh lurus terlentang ke atas.
Haliza mendekat, perlahan ia memeluk Aldian tanpa rasa malu, yang jelas ia merasa sangat rindu dengan Aldian. Nyaman rasanya setelah Haliza bisa memeluk kembali tubuh Aldian setelah beberapa hari lalu hubungan mereka renggang kembali gara-gara telpon dari Ardian mantan kekasihnya.
"Mas, biarkan aku memelukmu seperti ini," ucap Haliza seraya memejamkan mata.
Aldian tidak menyahut, lagipula ia pun merasakan hal yang sama dengan Haliza, yakni rindu pelukan wanita yang mengaku introvert ini.
Malam pun semakin larut, suara jengkrik terdengar, seakan meninabobokan para penghuninya untuk lebih terlelap dalam dekapan sang malam. Deru nafas keduanya terdengar memenuhi ruangan itu, bagai simfoni yang ikut menyemarakan malam.
Saya Kasih dulu Bunga Kembang Sepatu Biar Semangat Si Author Manis ini Nulis nya ya 😁😁