Dalam perjalanan cinta yang penuh hasrat, kebingungan, dan tantangan ini, Adara harus menentukan apakah dia akan terus bertahan sebagai "sekretaris sang pemuas" atau memperjuangkan harga dirinya dan hubungan yang bermakna. Di sisi lain, Arga harus menghadapi masa lalunya dan memutuskan apakah ia siap untuk membuka hatinya sepenuhnya sebelum semuanya terlambat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon rafi M M, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 29: Tarian yang Terlarang
Malam itu, aula ballroom hotel bintang lima berkilauan dengan lampu kristal yang memantulkan cahaya keemasan ke seluruh ruangan. Para tamu undangan yang terdiri dari pengusaha elit, politisi, dan tokoh-tokoh terkenal tampak menikmati alunan musik jazz klasik yang dimainkan live oleh sebuah band ternama. Para wanita dengan gaun-gaun elegan melintas anggun, sementara pria-pria berjas rapi berdiskusi dengan gelas sampanye di tangan.
Di tengah keramaian itu, Adara merasa kecil. Ia mengenakan gaun malam berwarna merah marun dengan potongan sederhana, hadiah dari temannya. Meski penampilannya memukau, rasa gugup tak bisa disembunyikan dari caranya mengalihkan pandangan ke segala arah. Ini adalah pertama kalinya ia menghadiri acara sebesar ini.
“Ada apa? Gugup?” suara berat Arga tiba-tiba terdengar di belakangnya.
Adara berbalik, dan mendapati sang CEO yang begitu menawan dalam balutan jas hitam yang membingkai tubuh tegapnya dengan sempurna. Tatapan mata tajam pria itu tertuju padanya, membuatnya lupa sejenak bagaimana cara bernapas.
“Sedikit,” jawab Adara dengan jujur.
Arga tersenyum tipis. “Santai saja. Kamu di sini bukan untuk mereka. Kamu hanya perlu mendampingi saya. Itu saja.”
Namun, kata-kata itu tak cukup menenangkan Adara. Apalagi ketika pandangan beberapa tamu mulai mengarah pada mereka. Ia tahu bahwa banyak orang di ruangan ini mengenal Arga sebagai sosok penting. Keberadaannya di sisi pria itu pasti menimbulkan spekulasi.
Ketika acara berlangsung, Arga memimpin Adara ke beberapa meja, memperkenalkannya kepada rekan bisnis dan mitra strategis. Sikapnya profesional, tapi Adara bisa merasakan sorot mata pria itu sering kali melembut setiap kali memandangnya. Sebuah tatapan yang membuatnya merasa ada lebih dari sekadar hubungan kerja di antara mereka.
Malam semakin larut, dan band mulai memainkan lagu yang lebih ceria. Beberapa pasangan sudah mulai berdansa di lantai dansa. Adara yang tadinya berdiri di sudut, mengamati mereka dengan penuh kekaguman. Ia selalu merasa tarian adalah sesuatu yang indah, meski ia sendiri tak pernah mencoba melakukannya di hadapan orang lain.
“Kenapa diam saja?” Arga muncul lagi di sampingnya, kini dengan dua gelas anggur di tangannya.
“Aku hanya menikmati suasana,” jawab Adara sambil menerima gelas yang diberikan.
“Menikmati dari jauh?” Arga mengangkat alis. “Kamu mau mencoba?”
Adara langsung terbatuk kecil, hampir saja menumpahkan anggurnya. “Menari? Tidak, terima kasih. Aku... aku tidak bisa.”
Arga tersenyum geli. “Tidak bisa, atau tidak mau?”
“Dua-duanya,” jawab Adara tegas, mencoba menyembunyikan rasa gugupnya.
Namun, Arga tidak menyerah. Pria itu meletakkan gelasnya di atas meja terdekat, lalu mengulurkan tangan ke arah Adara. “Ayo.”
“Apa?” Adara menatapnya dengan mata melebar.
“Aku tidak suka ditolak dua kali. Ini kesempatanmu belajar,” katanya dengan nada yang tak bisa dibantah.
Adara ingin protes, tapi tubuhnya justru mengikuti arahan Arga. Tangannya terulur dengan ragu, dan sebelum ia sempat berpikir lebih jauh, jemari pria itu sudah menggenggam tangannya, hangat dan kokoh.
Arga memimpin Adara ke lantai dansa, dan seketika itu juga ia merasakan lusinan pasang mata tertuju pada mereka. Jantungnya berdebar kencang. Ia tak yakin ini adalah ide yang baik.
Musik perlahan berubah menjadi nada klasik romantis. Arga menarik Adara lebih dekat, satu tangannya memegang erat jemarinya, sementara tangan yang lain melingkar di pinggangnya.
“Tenang saja,” bisik Arga di dekat telinganya. “Ikuti gerakanku.”
Adara mengangguk kaku, mencoba mengatur napas. Langkah pertama terasa canggung. Kakinya hampir menginjak kaki Arga, tapi pria itu dengan sabar membimbingnya.
“Kamu terlalu tegang. Lepaskan,” ujar Arga sambil menatap matanya.
Adara mencoba mengikuti nasihatnya. Ia membiarkan tubuhnya mengikuti irama musik dan gerakan Arga. Perlahan, kecanggungannya memudar.
Namun, seiring langkah mereka semakin selaras, suasana mulai berubah. Adara menyadari bahwa jarak antara mereka semakin menipis. Tatapan mata Arga yang biasanya dingin kini terasa intens, seperti memancarkan sesuatu yang tak pernah ia lihat sebelumnya.
“Adara,” panggil Arga dengan nada rendah, hampir seperti bisikan.
“Ya?” jawab Adara pelan.
Arga tidak langsung menjawab. Sebaliknya, ia menatap Adara seolah mencari sesuatu di dalam matanya. Adara merasa tubuhnya memanas di bawah tatapan itu, seolah mereka adalah satu-satunya orang di ruangan ini.
Namun, momen itu terpecah ketika seseorang berdeham keras di dekat mereka.
“Arga, lama tak bertemu.”
Arga menghentikan langkahnya dan berbalik. Seorang pria berusia pertengahan empat puluhan berdiri di sana dengan senyum dingin di wajahnya. Adara mengenal pria itu dari salah satu rapat perusahaan. Ia adalah salah satu investor besar.
“Pak Bram,” sapa Arga dengan nada datar, tapi ada ketegangan di dalamnya.
Bram melirik ke arah Adara. “Dan ini? Sekretarismu?”
Adara menahan napas. Nada suara pria itu terdengar meremehkan, seolah keberadaannya di sini adalah sesuatu yang tidak pantas.
“Adara adalah partner saya malam ini,” jawab Arga tajam.
Bram tertawa kecil. “Tentu saja.”
Setelah itu, pria itu pergi, tapi atmosfir sudah berubah. Adara merasa wajahnya memerah karena malu. Ia menarik tangannya dari genggaman Arga.
“Maaf, aku pikir kita sebaiknya berhenti.”
Arga menatapnya sejenak, lalu mengangguk. “Baiklah. Kalau itu maumu.”
Adara berjalan meninggalkan lantai dansa dengan perasaan campur aduk. Ia tahu apa yang baru saja terjadi akan menjadi bahan pembicaraan. Lebih buruk lagi, ia merasa apa yang ia lakukan barusan benar-benar salah.
Malam itu, Adara memutuskan untuk pulang lebih awal. Meninggalkan ballroom dengan hati yang dipenuhi pertanyaan, ia menyadari bahwa hubungannya dengan Arga mungkin sudah melewati batas yang seharusnya.