Lihat saja, aku bersumpah, aku akan membuatnya memohon untuk menikah dengan ku kurang dari 100 hari ini.
Luna mengucapkan sumpah di depan sahabatnya, Vera yang hanya menganga menatap ke arahnya, merasa sumpahnya itu konyol dan takkan pernah terjadi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RatihShinbe, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
18
Luna bangun, melihat ponselnya tak ada notifikasi pesan dari Abel.
"Dia benar-benar menyuruhku istirahat" gumam Luna.
Selesai membersihkan diri, Luna hendak sarapan. Dia hendak membuka lemari es, tapi berpikir bahwa di dalamnya tidak ada apa-apa. Dia mengurungkan niatnya. Tapi kemudian dia penasaran, berharap mungkin dia lupa menyimpan sesuatu di sana.
Luna membukanya, dan alangkah terkejutnya dia.
Lemari es itu penuh dengan makanan siap dihangatkan. Mata Luna membelalak, dia menelan salivanya melihat tumpukan makanan itu. Kemudian tersenyum dengan senangnya.
Luna mengambil beberapa makanan kemudian menghangatkannya.
Sambil makan, Abel menghubunginya melalui video call. Luna melap mulutnya dan menerima panggilan Abel.
Abel terdiam melihat penampilan Luna dengan rambut yang masih basahnya, dia mengalihkan tatapannya ke monitor laptopnya.
"Kau sedang makan? " tanya Abel.
"Ya Pak! " jawab Luna setelah menelan.
"Bagus, tidak usah keluar rumah dulu, isinya cukup kan untuk beberapa hari? " tanya Abel.
"Cukup! " Luna tersenyum tapi kemudian berpikir.
Dia mengerutkan dahinya.
"Kenapa tidak boleh keluar? " tanya Luna.
"Lutut mu masih terluka, jika kau berjalan-jalan nanti susah sembuhnya" ucap Abel.
"Ohhh! " jawab Luna kemudian terdiam lagi.
Sadar Abel terlalu protektif.
"Ya sudah, selamat makan" ucap Abel kemudian menutup telponnya.
#
Abel menatap ke arah Vera yang berdiri di depannya.
"Jangan terlalu keras padanya" ucap Devan takut Abel langsung membuat Vera takut.
"Dia selalu memberikan foto Luna, bahkan ketika Luna sedang ganti pakaian, semua di kirim pada Lucas. Menurut mu apa saja yang boleh aku lakukan padanya? " tanya Abel dengan mata masih menatap Vera.
"Apa? Kau melakukan itu? " Devan terkejut.
Vera menunduk.
Devan tidak menyangka Vera bisa melakukan itu.
"Untuk apa kau melakukannya? Tidak, dia sahabat mu, kenapa kau melakukannya? " Devan yang malah kesal dan berteriak padanya.
Vera menggigit bibirnya sendiri.
Tak lama kemudian, Lucas datang dengan wajah lebam di bagian sudut bibirnya.
"Kau memanggil ku? " tanyanya terlihat seolah tak terjadi apa-apa.
Abel berdiri, dia menggulung lengan bajunya. Devan menahannya dengan melebarkan kedua tangan nya.
"Tidak, kau tidak boleh turun tangan, berikan mereka ke polisi saja" ucap Devan.
Vera langsung berlutut di hadapan Abel dan Devan.
"Tolong Pak, saya mohon jangan lapor polisi, saya tidak mau dipenjara" dia merengek memohon.
Lucas menghela kemudian memalingkan wajahnya.
"Aishhh, dia malah terlihat tidak peduli" tunjuk Devan ke arah Lucas.
"Kamu!" tunjuk Abel pada Vera.
Vera menatap penuh harap.
"Keluar dan tunggu di meja kamu, saya belum selesai sama kamu" ucap Abel.
Vera mengerutkan dahinya kemudian menatap Lucas. Dia pikir, Abel dan Devan akan menghajar Lucas karena bersikap tak peduli.
Vera buru-buru keluar.
Devan menutup pintu dan semua jendela kemudian menutupi kamera pengawas dengan kertas notes. Lucas memperhatikan nya. Abel mulai berdiri dan kembali merapikan lengan bajunya.
Lucas ikut berdiri, siap untuk kemungkinan akan di hajar olehnya.
#
Luna berlarian dari halte bus menuju kantor.
Lututnya berdarah lagi, tapi seolah tak peduli dia tetap berlari dan akhirnya sampai di ruangannya.
Semua orang menatap ke arahnya.
"Luna, lutut kamu berdarah! " ucap Aryo.
Beberapa teman mendekat hendak menolong.
"Tidak, aku tidak apa-apa..... mana Pak Abel? " mulutnya berebut dengan nafasnya untuk bicara, melihat ruangan Abel gelap tak ada orang.
"Pak Abel di ruangan Pak Devan sejak tadi" jawab Naura.
Luna berbalik dan langsung pergi.
Aryo menyusul, cemas melihatnya.
Sampai di ruangan Devan, Luna menatap Vera yang menunduk duduk di mejanya. Kemudian matanya menatap ke arah ruangan Devan yang tertutup rapat.
Tak terdengar apapun, Luna langsung menggedor pintunya.
"Pak....! Buka Pak.... ! " seru Luna.
Pintu terbuka dengan cepat, Abel yang membukanya. Terengah menatap Luna yang juga mengatur nafasnya.
Luna memperhatikan lengan dan tangan Abel yang berotot. Kemudian matanya mencari ke dalam. Dia menutup mulut dengan kedua tangannya.
Devan sedang meraih kerah leher Lucas yang lemas karena pukulan bertubi-tubi dari Abel.
Abel menelan salivanya, tak berpikir, dia menarik Luna untuk ikut dengannya kembali ke ruangannya.
"Aku kembali ke ruangan ku, bisa kan beresin dia? " ucap Abel.
"Ok, siap Bos! " ucap Devan santai.
Luna kebingungan, belum sampai ke ruangannya, berbalik Luna yang menarik tangan Abel. Dia pun berhenti berjalan dan menoleh.
"Pak Abel menghajarnya? " tanya Luna pelan.
"Aku kan sudah bilang kamu jangan kemana-mana dulu, kenapa akhir-akhir ini kamu tidak pernah mendengar apa kata saya? " Abel melihat darah dari lututnya.
Dia sedikit pusing tapi menahan diri.
"Anda yang kenapa? Kan saya sudah katakan untuk tidak memperpanjang masalah ini, saya tidak mau orang-orang tahu kalau semalam....." Luna menghela, dia memalingkan wajahnya.
Dia tak melihat Abel mulai kehilangan kesadarannya.
"Kenapa kalian selalu melakukan semua sesuai dengan yang kalian inginkan? Kenapa kalian......"
Brruuk!
Abel pingsan terjatuh ambruk di depannya. Luna menghela keras.
"Orang ini, lihat darah bisa pingsan, tapi ngehajar orang tadi baik-baik aja! " keluh Luna.
#
Abel membuka matanya.
"Rumah ku? " gumamnya.
Dia bangun dan melihat ke jendela yang sudah di tutup rapat tirainya.
"Ini sudah malam? " gumamnya.
Dia mengingat-ingat, tadi pingsan saat bicara dengan Luna karena melihat darah di lututnya.
Dia keluar, berpikir Luna ada di rumahnya menunggu sampai dia sadar.
Tapi, saat dia ke ruangan lain dan minum di dapur, Luna tak ada. Kemudian Sheila menelpon.
"Ha... "
Belum Abel melanjutkan sapaannya, Sheila sudah mencecarnya.
"Pasti cuma kamu yang sadar, kalian minum-minum dimana? tak ada orang yang mengangkat telponnya termasuk Luna, aku sudah..... "
Abel menutup telponnya sebelum Sheila menyelesaikan ucapannya.
Dia ingat sudah janji pada seluruh karyawan akan makan bersama. Dia langsung menghubungi Luna.
Luna mabuk, Naura yang juga mabuk, melihat ponsel Luna bergetar.
"Luna...! " Naura menepuk bahu Luna yang menunduk di meja.
"Hmmm! " jawab Luna tapi tak bergerak.
"Orang yang kau beri nama bos gila menelpon mu" ucap Naura memberikan ponselnya.
"Siapa ya? " Luna masih menunduk.
"Mana ku tahu, kau kan yang beri nama" ucap Naura kembali minum.
"Aku tidak kenal" ucap Luna masih mengabaikan ponselnya.
Telponnya berhenti bergerak, mereka terdiam.
"Hmmm, dia berhenti menelpon" ucap Naura.
Tak berapa lama, ponsel Luna bergetar lagi.
"Luna... " Naura kembali menepuk bahunya.
"Hmmm" Luna kesal dan mendongak.
"Ini sudah yang ke 10 kalinya, kau tidak akan mengangkat nya? " Naura menunjukkan ponselnya ke wajahnya.
"Ahhh, dia! " ucap Luna.
"Iya, dia menelpon mu berkali-kali" ucap Naura.
"Tidak mau, aku tidak mau angkat, nanti dia menyuruhku ke rumahnya dan merapikan rumahnya, tidak... mulai sekarang aku tidak mau melakukannya" Luna mendorong ponselnya sendiri.
Naura tersenyum.
"Baiklah, kita minum saja sampai pagi! " Naura mengacungkan gelasnya.
Luna ikut mengangkat gelasnya, tapi dia sudah sangat mabuk, dia langsung menunduk lagi di meja.
\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=>>>