Di malam satu Suro Sabtu Pahing, lahirlah Kusuma Magnolya, gadis istimewa yang terbungkus dalam kantong plasenta, seolah telah ditakdirkan untuk membawa nasibnya sendiri. Aroma darahnya, manis sekaligus menakutkan, bagaikan lilin yang menyala di kegelapan, menarik perhatian arwah jahat yang ingin memanfaatkan keistimewaannya untuk tujuan kelam.
Kejadian aneh dan menakutkan terus bermunculan di bangsal 13, tempat di mana Kusuma terperangkap dalam petualangan yang tidak ia pilih, seolah bangsal itu dipenuhi bisikan hantu-hantu yang tak ingin pergi. Kusuma, dengan jiwa penasaran yang tak terpadamkan, mencoba mengungkap setiap jejak yang mengantarkannya pada kebenaran.
Di tengah kegelisahan dan rasa takut, ia menyadari bahwa sahabatnya yang ia kira setia ternyata telah menumbalkan darah bayi, menjadikan bangsal itu tempat yang terkutuk. Apa yang harus Kusuma lakukan? mampukah ia menyelamatkan nyawa teman-temannya yang terjebak dalam kegelapan bangsal 13?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon bobafc, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pergi atau Mati
Di tengah pemukiman desa yang masih terjaga keasriannya, berdiri sebuah rumah sakit yang dikelilingi oleh pepohonan rindang dan hamparan sawah yang membentang hingga horizon.
Pagi itu, udara segar memenuhi paru-paru, memberikan semangat baru pada kedua perawat yang tengah memulai hari. Meski beberapa kali mereka diganggu oleh kehadiran makhluk tak tampak, hal itu sudah menjadi bagian dari rutinitas mereka. Bagi mereka yang bekerja sebagai tenaga medis, penampakan semacam itu bukanlah hal yang asing, terutama ketika mereka sering berhadapan dengan tubuh tak bernyawa yang meninggal dengan cara tragis.
Kini, Kusuma dan Agvia berdiri di depan rumah sakit yang baru, tempat mereka merawat pasien dan menjadi relawan untuk korban bencana alam.
Agvia menarik napas dalam-dalam, masih terkejut dengan kenyataan bahwa dia kini harus melayani di pedalaman desa yang jauh dari hiruk-pikuk kota.
"Seger sih di sini, tapi rasanya asing banget," ujar Agvia.
"Namanya juga kita baru pindah, wajarlah. Nanti juga akan terbiasa sendiri. Ayo, masuk." Kusuma bergegas memasuki rumah sakit desa ini.
Kedua manik mata Kusuma meneliti isi bangunan rumah sakit. Untuk sejauh rumah sakit desa, peralatan yang mereka gunakan cukup canggih dengan alat-alat medis keluaran terbaru.
Tak berselang lama, mereka sampai di bagian administrasi, para dokter serta perawat menyambut kedatangan dua perawat muda itu di rumah sakit mereka. Senyum sumringah terpancar dari wajah-wajah lelah itu.
Setelah perkenalan diri dan melihat isi rumah sakit, Kusuma dan Agvia telah siap untuk kembali bekerja sebagai relawan di rumah sakit desa ini.
"Walaupun ini rumah sakit desa, tetapi pasiennya cukup banyak, ya. Gak ngalahin rumah sakit kota," ujar Agvia seraya menatap ke arah bangsal melati yang brankarnya dipenuhi oleh para pasien berbagai usia.
"Iya, tapi kayanya kita bakalan kerja keras di sini. Cuma ada beberapa dokter saja, sedangkan pasien terus berdatangan, tak heran jika ayahmu mengizinkan kamu jadi relawan ke sini," sahut Kusuma sembari mengenakan masker.
"Kusuma, Agvi ayo mulai kerja. Hari ini kita akan bekerja di sini, dan sore nanti kita pergi ke area bencana!" ajak Abdi dengan wajah tampannya yang membuat Kusuma terpesona.
"Baik, Dok!" ucap Agvia dengan lantang, sedangkan Kusuma masih menatap Abdi terkagum.
"Huft.. ayo, mulai. Kusuma urus pasien luka robek itu." Jari telunjuk Abdi mengarah pada seorang pemuda yang terluka.
"Dan Agvi bantu Dokter Rido disana!"
"Oke, aku urus pasien Dokter Rido," jawab Agvia dan bergegas melaksanakan tugasnya.
"Kusuma bawakan peralatan jahit!"
Kusuma membawa peralatan jahit ke arah pemuda yang masih terus merintih kesakitan. Tanpa basa-basi, Kusuma segera menyiapkan jarum serta benang jahitnya ketika melihat luka robek di lengan pemuda itu.
"Kenapa bisa sampai seperti ini?" tanya Kusuma berusaha untuk mencairkan suasana agar pemuda itu tidak terlalu gugup.
"Dokter Abdi sudah siap semuanya!" ucap Kusuma.
"Ta-tadi saya jatuh di jurang hutan.. lengan saya terkena serpihan kayu. Saat tanah longsor itu terjadi semua yag bekerja di hutan tertimpa kayu" jawabnya sedikit gugup.
"Tidak usah takut, saya akan mengobatinya," ujar Abdi. "Saya akan mulai menyuntik anastesi, saya harap bapak tenang, ya."
Namun, pemuda itu tak menjawab. Tatapan matanya kosong, sedangkan Abdi berusaha untuk melanjutkan pekerjaannya, dengan perlahan dan konsentrasi tinggi, Abdi menjahit luka di lengan pemuda itu.
Sebagai asisten, Kusuma memperhatikan satu per satu gerakan dokter residen yang sedang menjahit itu. Jika saja dulu memiliki biaya, Kusuma akan memilih menjadi seorang dokter.
"Liat apa kamu! Nanti lama-lama kesemesem kamu liat aku!" ucap Abdi membuyarkan lamunan Kusuma.
"Hu.. hu.. pe-pergi.." Pemuda itu tiba-tiba bersuara, tetapi tak terdengar dengan jelas.
Kusuma mengalihkan perhatiannya ke arah wajah sang pemuda yang tampak berbeda. "Ada apa?" tanya Kusuma penasaran.
"Pergi!" teriak pemuda itu seraya membuang kotak peralatan jahit milik Abdi.
"Aarrrgghh!" Sontak Kusuma terkejut dan berusaha berlari menjauh karena ia sadar ada yang tidak beres.
"Abdi cepat pergi!" Kusuma menarik tangan Abdi.
Namun, pemuda itu dengan cepat mencekal lengan Kusuma dan menodongkan sebuah pisau bedah di leher Kusuma.
"Jangan lari, atau kau mati," ujar pemuda itu. Deru napasnya memburu, tetesan darah dari luka yang belum sepenuhnya terjahit membasahi baju yang saat ini ia kenakan.
"Lepaskan aku!" teriak Kusuma ketakutan.
Seketika seisi ruangan menjadi riuh, banyak pasien yang meninggalkan ruangan karena ketakutan. Namun, beberapa orang tetap tinggal untuk melihat tontonan menarik di depan mereka saat ini.
"Kusuma!" panggil Abdi.
"Jangan mendekat!" perintahnya seraya menempelkan sisi tajam pisau itu di kulit leher Kusuma.
"Lepaskan dia! Kenapa kamu berbuat ulah?" tanya Abdi khawatir.
"Tutup pintunya, cepat!"
Abdi pun bergegas menutup pintu. "Kunci pintunya!" perintah pasien lagi. Namun, Abdi tak melakukannya.
Tak berapa lama, beberapa dokter lama memasuki ruangan. Mereka terkejut ketika melihat seorang relawan disandera oleh pasien kesurupan.
"Dokter Abdi, jangan mendekat! Dia kesurupan," cegah Kusuma.
"Tapi Kusuma, bagaimana?" tanya Abdi khawatir.
"Biar saya yang tangani, di sini sepertinya memang sudah sering terjadi pasien kesurupan. Biasanya ini tak akan berlangsung lama," ujar Kusuma.
"Kumohon, tolonglah Kusuma," pinta Abdi.
Agvia yang mendapati sahabatnya disandera akhirnya memaksa masuk. Namun, ia dicegah oleh beberapa dokter yang berada di sana karena takut jika gegabah akan melukai Kusuma.
Abdi pun berjalan mendekat ke arah pemuda itu. "Tenanglah, lepaskan perawat itu. Dia tak bersalah," ujar Abdi.
Tatapan mata pemuda itu mengarah pada Abdi, sedangkan bibirnya berdesis.
"Pergilah dari rumah sakit ini, di sini tempat para arwah berkumpul. Ada banyak sekali penampakan, jika kalian ingin selamat, pergilah!" perintah pemuda itu.
Semua yang mendengar penuturan pemuda itu terkejut. Seketika angin berembus cukup kencang hingga membuat tirai jendela beterbangan. Aroma melati pun tercium, menandakan adanya makhluk tak kasat mata yang sedari tadi mengawasi mereka yang berada di dalam bangsal melati.
Bayangan putih melintas dengan cepat, dan berhenti tepat di belakang Abdi. Tak ada yang menyadari, kecuali Kusuma. Manik matanya membelalak ketika melihat bayangan putih itu hendak mencelakai Dokter Abdi.
Bayangan putih itu seketika melesat ke arah Kusuma serta pemuda itu.
"Aaaarrrggghhh!" pekik Kusuma terkejut, hingga tanpa sadar sisi tajam pisau bedah menggores lehernya.
Pemuda tadi belum sempat menyelesaikan perkataannya, dan kini dia terdiam. Perlahan, tubuhnya melemas dan akhirnya terjatuh bersama dengan Kusuma yang ketakutan.
"Kusuma!" teriak Abdi seraya membawa Kusuma untuk perawatan.
"Peluk Kusuma, Mas! Jangan biarkan ia melihat!" teriak Agvia dari luar.
"Maksudnya bagaimana?" Abdi kebingungan sembari menatap pemuda itu
Pemuda itu pingsan, arwah yang merasukinya belum sempat mengatakan kalimat terakhirnya. Namun, kini ia telah kehilangan kendali atas pemuda itu.