Marriage Is Scary...
Bayangkan menikah dengan pria yang sempurna di mata orang lain, terlihat begitu penyayang dan peduli. Tapi di balik senyum hangat dan kata-kata manisnya, tersimpan rahasia kelam yang perlahan-lahan mengikis kebahagiaan pernikahan. Manipulasi, pengkhianatan, kebohongan dan masa lalu yang gelap menghancurkan pernikahan dalam sekejap mata.
____
"Oh, jadi ini camilan suami orang!" ujar Lily dengan tatapan merendahkan. Kesuksesan adalah balas dendam yang Lily janjikan untuk dirinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rahma Syndrome, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rasa Asin yang Menyakitkan
Isaac meletakkan garpu dengan kasar di atas piring. "Ck, makanan kamu asin banget, sih! Emang tadi nggak dicicipin?" suaranya meninggi, penuh amarah.
Lily menundukkan kepala, menghindari tatapan tajam Isaac. "Maaf, sayang. Tadi aku buru-buru. Takutnya kamu laper,” ujar Lily dengan suara lembut.
“Kamu gimana, sih. Masak buru-buru tapi nggak bener!” seru Isaac. Dia mendorong piringnya ke samping, tidak berselera makan. Padahal, makanannya masih utuh.
“Maaf. Aku masak lagi, ya,” ujar Lily, masih dengan suara lembut. Dia menatap Isaac yang masih terlihat kesal. Untungnya, hari ini hari libur. Lily bisa memasak apapun untuk Isaac.
Namun Isaac tidak bergeming. "Nggak usah! Aku sarapan di luar aja," katanya dengan nada dingin sebelum bangkit dari kursi dan meraih jaketnya.
“Kamu mau kemana? Ini masih pagi,” tanya Lily seraya menyusul Isaac.
“Bukan urusan kamu!”
“Isaac, kamu mau pergi kemana?” tanya Lily sekali lagi. Dia menghadang Isaac tepat sebelum Isaac melewati pintu.
Isaac menggeram kesal. Matanya menatap tajam, penuh dengan kilatan amarah yang membakar. Tatapan itu begitu intens, seolah bisa menembus jiwa siapa pun yang berani menatap balik.
Kedua alisnya mengerut, menciptakan bayangan gelap di wajahnya yang memancarkan ketegasan dan kemarahan. “Minggir! Aku bisa makan diluar!” seru Isaac seraya mendorong Lily kesamping, lalu keluar rumah dengan langkah tergesa.
“Pagi-pagi bikin orang emosi aja,” gerutu Isaac kesal. Rahangnya yang tegas tampak mengeras. Bahkan dadanya naik turun karena emosi.
Lily hanya bisa diam, menatap punggung Isaac yang semakin menjauh. Air mata mulai menggenang di matanya. Dia merasa hatinya seperti diiris sembilu.
Semalam, Isaac begitu lembut dan penuh kasih sayang. Bahkan Isaac memeluknya erat sebelum tidur sambil membisikkan kata-kata indah. Tapi pagi ini, sikapnya berubah drastis, seolah-olah kejadian tadi malam tidak ada artinya bagi Isaac.
"Maaf, aku bakal masak ulang lagi," bisiknya sekali lagi, lebih untuk dirinya sendiri daripada untuk Isaac yang sudah menghilang di balik pintu.
Lily kembali ke dapur, menyelesaikan sarapannya dalam diam. Menurutnya, makanan yang dia masak tidak terlalu asin. Tapi berbeda bagi Isaac.
Lily menunduk, menatap piringnya yang sudah kosong. Air mata jatuh tanpa bisa ditahan. "Kenapa sikap kamu gini, sih?" gumamnya sambil menggenggam erat sendok di tangannya.
Lily menangis, air matanya jatuh diatas piringnya. Dia merasa begitu kecil dan tidak berdaya di hadapan kemarahan Isaac. "Aku harus jadi lebih baik lagi buat dia," katanya kepada dirinya sendiri.
Pagi yang seharusnya tenang dan penuh kebahagiaan di hari libur ini berubah menjadi mimpi buruk bagi Lily. Dia hanya bisa berharap bahwa Isaac akan kembali dengan hati yang lebih tenang dan bahwa mereka bisa berbicara dari hati ke hati.
Di luar, matahari mulai naik, menyinari rumah dengan cahayanya yang hangat. Namun, kehangatan itu tidak mampu menembus dinginnya perasaan di hati Lily. Satu hal yang dia tahu pasti adalah bahwa dia tidak ingin kehilangan Isaac.
Lily bingung, terkadang dia merasa menyayangi Isaac. Tapi, terkadang dia juga sangat membenci Isaac karena sikapnya. Perasaannya sangat tidak jelas. Cinta? Benci?
Dengan isak yang semakin lirih, Lily membersihkan air matanya dan mulai memasak untuk suaminya. Kali ini dia melakukannya dengan sangat hati-hati. Tidak mau melakukan kesalahan lagi.
Lily selalu berusaha memperbaiki kesalahannya. Dia ingin menjadi istri yang baik dan pantas Isaac, dengan atau tanpa terkecuali.
***
Isaac tiba di rumah orang tuanya dengan langkah berat. Rumah besar bergaya eropa klasik dengan arsitektur Beaux-Arts. Rumah ini memiliki konsep yang megah, teatrikal, serta dilengkapi dengan hiasan tinggi yang terinspirasi oleh Romawi dan Yunani.
Rumah besar ini menyimpan kenangan yang menyesakkan dada. Dia mengetuk pintu kayu yang besar, dan tak lama kemudian, pintu itu terbuka. Ibunya, Grace, menyambutnya dengan senyum lembut.
Grace memiliki tubuh yang langsing tetapi tidak terlalu kurus, dengan lekuk tubuh yang alami dan sehat. Matanya berwarna hazel yang hangat dan penuh kasih.
"Isaac, nak, kamu datang sendiri? Di mana Lily?" tanya Grace dengan penuh perhatian. Matanya mencari-cari Lily di belakang Isaac. Namun dia tidak menemukan apapun.
Isaac tersenyum kecut. "Lily nggak enak badan, Mah. Dia butuh istirahat di rumah," ujar Isaac berbohong.
Grace mengangguk, meski matanya menunjukkan kekhawatiran. "Sakit apa?” tanyanya.
“Flu biasa, kok. Udah aku beliin obat juga.” Berbohong memang menjadi keahlian Isaac sejak dulu. Dia pandai merangkai kata dan membuat lawan bicaranya percaya.
Grace kembali mengangguk, lalu mempersilahkan Isaac masuk. “Ayo masuk, Papa lagi di taman belakang."
Isaac melangkah masuk, melewati ruang tamu yang penuh dengan kenangan masa kecilnya. Sesampainya di taman belakang, dia melihat ayahnya, Samuel, sedang memberi makan ikan di kolam kecil. Ayahnya tampak tenang, namun wajahnya tetap kaku.
Sementara itu, Grace memilih menuju dapur, menyiapkan kopi dan camilan untuk anak semata wayangnya.
"Halo, Pah," sapa Isaac dengan suara yang berusaha terdengar ramah. "Papa sehat?" tanyanya, berharap mendapat respon yang baik dari sang ayah.
Samuel tidak segera menjawab. Dia hanya mengangguk singkat tanpa menoleh. "Baik," jawabnya dengan suara dingin.
Isaac berdiri tidak jauh dari Samuel. Tangannya beberapa kali masuk dan keluar dari saku celananya, seolah tidak tahu harus diletakkan di mana.
Sesekali, dia merapikan rambutnya yang sebenarnya sudah rapi, atau memainkan ujung kemejanya dengan gugup. Untuk beberapa saat dia hanya diam karena merasa canggung.
“Em, Lily nggak ikut, dia lagi sakit,” ucap Isaac setelah beberapa saat terdiam.
“Hm,” gumam Samuel cuek. Dia masih asik memberi makan ikan kesayangannya. Namun sebenarnya dia penasaran menantunya itu sakit apa. Tapi rasa penasarannya dia tahan.
Bibir Isaac beberapa kali terbuka, seakan ingin mengatakan sesuatu, namun kemudian tertutup lagi. Belum sempat dia berbicara, Ibunya datang.
“Sini duduk dulu, Mama bawain cemilan kesukaan kamu,” ujar Grace seraya meletakkan dua cangkir kopi, satu gelas teh dan sepiring muffin diatas meja yang terletak di sudut taman.
Spontan Isaac menoleh dan berjalan ke arah ibunya. Dia duduk dan mencomot sepotong muffin.
“Ini Mama yang bikin?” tanya Isaac di sela kunyahannya.
“Iya, Nak. Gimana? Enak nggak?” tanya Grace seraya menarik kursi dan duduk di sebelah Isaac.
Isaac mengangguk antusias, lalu menyesap kopinya dengan nikmat. Perutnya yang terasa lapar sangat pas diisi oleh muffin dan kopi hangat.
Samuel menyusul Isaac dan Grace. Dia duduk dengan ekspresi yang sulit diartikan. Secangkir kopi buatan istrinya dia sesap perlahan-lahan. Rasa hangat menjalar di tenggorokannya, membuatnya sedikit rileks.
“Kenapa kamu bohong?” tanya Samuel dengan ekspresi dingin. Matanya menatap tajam ke arah Isaac.
JANGAN LUPA LIKE, KOMEN, VOTE, TAMBAHKAN FAVORIT, DAN BERI HADIAH UNTUK NOVEL INI ❤️ TERIMAKASIH
biar semangat up aku kasih vote utkmu thor