Alyssa, seorang gadis dari keluarga sederhana, terpaksa menerima pernikahan dengan Arka, pewaris keluarga kaya raya, demi menyelamatkan keluarganya dari krisis keuangan. Arka, yang memiliki masa lalu kelam dengan cinta pertamanya, juga tidak menginginkan pernikahan ini. Namun, tuntutan keluarga dan strata sosial membuat keduanya tidak punya pilihan.
Dalam perjalanan pernikahan mereka yang dingin, muncul sebuah rahasia besar: Arka ternyata memiliki seorang anak dari cinta masa lalunya, yang selama ini ia sembunyikan. Konflik batin dan etika pun mencuat ketika Alyssa mengetahui rahasia itu, sementara ia mulai menyadari perasaannya yang kian berkembang pada Arka. Di sisi lain, bayangan cinta lama Arka kembali menghantui, membuat hubungan mereka semakin rapuh.
Dengan berbagai pergulatan emosi dan perbedaan kelas sosial, Alyssa dan Arka harus menemukan jalan untuk berdamai dengan masa lalu dan membuka hati, atau memilih berpisah dan meninggalkan luka yang tak terobati.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ansel 1, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Percakapan Tanpa Kepastian
Alyssa dan Arka duduk di ruang tamu, berdua dalam keheningan yang terasa berat. Setelah semua yang mereka alami, mereka tahu bahwa perbincangan ini tak bisa lagi dihindari. Wajah Alyssa penuh dengan kecemasan, dan Arka terlihat termenung, seolah mencari kata-kata yang tepat untuk memulai percakapan ini.
“Aku tahu kita harus bicara tentang Dito dan masa depannya,” Alyssa memulai dengan suara lembut, namun nadanya jelas menyiratkan kekhawatiran yang dalam. “Aku hanya... aku takut, Arka. Aku takut kita mungkin tidak benar-benar bisa melindunginya dari segala ancaman ini.”
Arka menghela napas panjang. “Aku juga merasa sama, Alyssa. Situasi ini begitu rumit, dan ada banyak pihak yang merasa mereka memiliki hak atas hidupnya. Bahkan keluargaku sendiri masih belum sepenuhnya menerima kehadirannya.”
Alyssa terdiam sejenak, mengingat percakapan penuh tekanan dengan ibu Arka dan pengkhianatan dari sepupu Arka yang belum lama ini terungkap. “Arka, aku butuh kepastian. Aku butuh tahu bahwa kita benar-benar bisa bersama-sama menjaga Dito dan melindunginya dari semua yang mencoba mencampuri hidupnya.”
Arka menatapnya, mata mereka saling bertemu dalam tatapan penuh kesungguhan. “Aku tidak pernah ingin membiarkan siapa pun melukai Dito, Alyssa. Tapi... ada bagian dari diriku yang masih khawatir apakah semua ini akan berdampak pada kita dan keluarga besar.”
Alyssa terdiam, lalu ia melanjutkan, “Aku juga khawatir, Arka. Kita bisa saja berusaha sekuat tenaga untuk menjaga Dito tetap aman, tetapi apakah kita sanggup bertahan menghadapi tekanan dari keluargamu dan dari pihak-pihak lain yang menginginkan hak atasnya?”
Suasana hening lagi, penuh ketidakpastian. Arka memegang tangan Alyssa, mencoba memberinya keyakinan meski hatinya pun ragu. “Kita akan terus berjuang, Alyssa. Aku tidak akan menyerah begitu saja. Selama kita bersama, aku percaya kita akan menemukan jalan keluar.”
Namun, kata-kata Arka tidak sepenuhnya menghilangkan rasa cemas dalam hati Alyssa. Percakapan ini membuatnya menyadari bahwa di balik semua janji dan tekad, masih ada ketidakpastian yang menyelimuti mereka. Alyssa tahu bahwa perjuangan mereka masih panjang, dan bahwa cinta mereka akan diuji lebih dari sebelumnya.
Alyssa menarik napas dalam-dalam, mencoba meredam gejolak di dadanya. Walaupun Arka telah mencoba menenangkannya, ketidakpastian ini tetap menghantui pikirannya. Ia tahu, keputusan yang mereka buat hari ini akan memengaruhi hidup Dito, juga hubungan mereka sendiri.
“Arka,” Alyssa berkata perlahan, suaranya sedikit bergetar, “aku hanya ingin yang terbaik untuk Dito. Dia anak yang tidak bersalah, yang sudah cukup mengalami banyak hal untuk usianya. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana perasaannya jika tiba-tiba harus terpisah dari kita.”
Arka mengangguk, tatapannya serius. “Aku mengerti, Alyssa. Aku ingin dia tetap bersama kita. Aku ingin dia merasa aman dan dicintai. Tapi kita juga harus realistis. Ibu Dito tidak akan menyerah begitu saja, dan keluargaku mereka mungkin akan terus menolak kehadirannya.”
Alyssa mendengarkan dengan seksama. Ia tahu Arka tidak bermaksud pesimis, tapi realitas yang mereka hadapi memang rumit. Perasaan Alyssa bercampur antara marah, sedih, dan frustasi. Bagaimana mungkin mereka berjuang untuk sebuah keluarga yang bahkan belum sepenuhnya menerima Dito?
“Aku masih ingat saat pertama kali Dito memanggilku ‘Ibu,’” kata Alyssa dengan suara pelan, nyaris seperti bisikan. “Perasaan itu... aku merasa seperti benar-benar menjadi bagian hidupnya. Aku tak sanggup membayangkan harus kehilangan dia sekarang.”
Arka memegang tangan Alyssa lebih erat. “Aku juga tak ingin kehilangannya, Alyssa. Kita sudah terlalu jauh berjalan bersama untuk menyerah begitu saja.”
Keduanya duduk dalam keheningan, hanya mendengarkan bunyi jam di dinding yang berdetak pelan, seolah waktu berjalan lambat mengiringi kebimbangan mereka. Alyssa menatap ke arah jendela, pikirannya melayang-layang pada kemungkinan masa depan yang penuh dengan tantangan dan pertanyaan yang belum terjawab.
Arka akhirnya memecah keheningan, “Mungkin, kita harus bicara dengan ibu Dito secara langsung. Beri tahu dia apa yang kita rasakan, apa yang kita inginkan untuk masa depan Dito. Kalau dia benar-benar peduli pada anaknya, mungkin dia bisa mempertimbangkan apa yang terbaik.”
Alyssa ragu-ragu. “Apakah kau pikir dia akan benar-benar mendengarkan kita, Arka? Dia sudah menunjukkan bahwa dia tak segan-segan membuat ancaman. Bagaimana jika dia malah memanfaatkan situasi ini untuk mengendalikan kita?”
Arka tersenyum tipis, sedikit getir. “Kita tidak bisa menghindarinya selamanya. Cepat atau lambat, ini harus dihadapi. Dan aku lebih memilih kita melakukannya bersama, daripada membiarkan kekhawatiran ini terus membebani hubungan kita.”
Mendengar itu, Alyssa merasa sedikit lega. Walaupun mereka belum menemukan solusi yang pasti, setidaknya ia tahu bahwa Arka bersedia berdiri di sisinya, menghadapi semua rintangan yang akan datang.
“Aku setuju, Arka,” katanya akhirnya. “Kita akan bicara dengan ibu Dito. Kita akan pastikan dia tahu bahwa Dito aman bersama kita dan bahwa kita akan melakukan apa pun demi kebaikannya.”
Arka tersenyum hangat, dan untuk pertama kalinya dalam percakapan ini, Alyssa merasakan secercah harapan. Meskipun masa depan mereka masih penuh ketidakpastian, Alyssa tahu bahwa selama ia dan Arka saling mendukung, mereka memiliki kekuatan untuk menghadapinya bersama.
Di dalam hati, Alyssa berdoa agar percakapan yang akan datang ini membawa titik terang bagi mereka dan bagi Dito, anak yang kini sudah sangat berarti dalam hidup mereka.
Alyssa dan Arka kembali ke ruang tamu setelah perbincangan panjang yang terasa seperti belum menemukan titik terang. Malam sudah larut, tapi pikiran Alyssa berputar semakin cepat, memenuhi setiap celah di kepalanya dengan kekhawatiran dan ketakutan.
Arka menatap Alyssa, menyadari kegundahan yang terpancar di matanya. “Alyssa, kita bisa mengatasi ini. Mungkin saat ini terlihat rumit, tapi kita sudah menghadapinya sejauh ini.”
Alyssa menghela napas panjang, merasa lega mendengar kata-kata Arka. Tapi di dalam hatinya, masih ada keraguan. “Arka, aku takut. Takut bahwa apa pun yang kita lakukan tak akan cukup. Bagaimana jika Ibu Dito tidak setuju? Bagaimana jika... aku bukan orang yang tepat untuk berada di sini?”
Mendengar itu, Arka meraih tangan Alyssa, menatapnya dengan lembut. “Kau lebih dari cukup, Alyssa. Apa yang kau lakukan untuk Dito, untuk kita... Aku tidak bisa membayangkan menghadapi semua ini tanpamu. Kau adalah bagian dari keluarga ini. Kau adalah ibu bagi Dito, dan itu tidak akan pernah berubah.”
Alyssa terdiam, mengunyah setiap kata yang diucapkan Arka. Bagian dari dirinya merasa lebih tenang, namun kekhawatiran tetap bertahan, tak mau pergi begitu saja. “Arka, aku tahu kita harus berbicara dengan ibu Dito. Tapi... aku masih merasa cemas. Aku takut dia akan membuat tuntutan yang tak mungkin kita penuhi.”
Arka mengangguk, mengerti sepenuhnya ketakutan yang dirasakan Alyssa. “Aku juga khawatir, Alyssa. Tapi kita harus mencoba. Kita harus melangkah, meskipun kita belum tahu apa yang akan terjadi.”
Alyssa menghela napas lagi, mencoba menenangkan diri. “Baiklah, Arka. Kita akan menghadapinya bersama.” Katanya dengan suara penuh tekad, meski jauh di lubuk hatinya, ia masih merasakan getir dan kekhawatiran yang sulit dihapuskan.
Esok harinya, Alyssa dan Arka mengatur pertemuan dengan ibu Dito. Mereka memilih tempat yang netral, sebuah kafe kecil di pinggiran kota yang tenang. Selama perjalanan ke sana, Alyssa terus menggenggam tangan Arka, seolah mencari kekuatan dari kehangatan jemarinya. Di dalam mobil, suasana sunyi; hanya ada detak jantung yang berdebar lebih cepat dari biasanya.
Ketika mereka tiba, ibu Dito sudah menunggu, duduk dengan sikap angkuh dan ekspresi dingin di wajahnya. Alyssa mencoba menenangkan diri, menarik napas dalam-dalam untuk mengusir gugup yang terasa mengikat tenggorokannya.
“Terima kasih sudah datang, Bu,” Arka membuka percakapan dengan sopan, mencoba mencairkan suasana yang kaku.
Ibu Dito hanya mengangguk, matanya menatap tajam ke arah Arka dan Alyssa. “Jadi, apa yang ingin kalian bicarakan?” tanyanya dengan nada yang terdengar sinis.
Alyssa merasa kata-katanya tersangkut di tenggorokan, namun ia tak ingin memperlihatkan kelemahannya. Dengan tenang, ia memulai, “Kami ingin bicara tentang Dito, tentang masa depannya. Kami ingin dia tetap merasa aman dan bahagia, tanpa harus terbebani oleh pertengkaran atau konflik.”
Ibu Dito menyeringai, seolah mengejek. “Jadi kalian pikir kalian bisa menjaga Dito? Kalian mungkin merasa sudah menjadi orang tua baginya, tapi kenyataannya, dia adalah anakku. Dan aku tidak akan membiarkan siapa pun merebutnya dariku.”
Alyssa mengeraskan hati, mencoba untuk tidak terpancing oleh ucapan tajam tersebut. “Kami tidak pernah bermaksud merebut Dito. Kami hanya ingin dia merasa memiliki keluarga yang mencintainya. Apa yang kami lakukan bukan untuk menyingkirkan Ibu, melainkan untuk memastikan kebahagiaan dan kesejahteraan Dito.”
Ibu Dito mengangkat alis, ekspresinya sedikit melunak. “Lalu, apa yang kalian tawarkan? Apakah kalian benar-benar bisa menjaga Dito dengan baik?”
Arka menatapnya dengan tegas. “Kami mencintai Dito, Bu. Kami ingin memberikan yang terbaik untuknya, termasuk kebebasan untuk mengenal dan berhubungan dengan Ibu. Tapi kami berharap bisa bekerja sama demi kebaikan Dito, tanpa harus membuatnya bingung atau merasa tertekan.”
Suasana di kafe itu semakin tenang, meskipun ketegangan masih terasa di udara. Alyssa menatap ibu Dito dengan penuh harap. “Kami hanya ingin memastikan bahwa Dito tumbuh di lingkungan yang stabil dan penuh kasih sayang, tanpa ada konflik atau kebingungan yang membuatnya merasa kehilangan.”
Ibu Dito terdiam sejenak, menatap ke arah jendela seolah tenggelam dalam pikirannya sendiri. “Aku hanya ingin Dito bahagia,” katanya akhirnya, suaranya sedikit bergetar. “Aku tak pernah berniat membuat hidupnya sulit. Tapi melihat dia bersama kalian... terkadang aku merasa tersingkir, seolah aku tak punya tempat dalam hidupnya lagi.”
Alyssa merasakan simpati yang tulus muncul di hatinya. Ia tahu, meski ibu Dito terlihat keras dan penuh tuntutan, ia hanyalah seorang ibu yang juga merasakan ketakutan dan kekhawatiran yang sama. “Kami tidak pernah berniat menyingkirkan Ibu dari hidup Dito. Kami ingin dia mengenal semua orang yang menyayanginya, termasuk Ibu.”
Percakapan itu berlanjut, dan perlahan-lahan, suasana mulai mencair. Meskipun masih ada banyak hal yang perlu didiskusikan dan diatasi, Alyssa merasa bahwa mereka telah mengambil langkah pertama menuju pemahaman yang lebih baik. Di dalam hatinya, ia berdoa agar pembicaraan ini membawa harapan baru bagi keluarga kecil mereka, dan bahwa suatu hari nanti, Dito bisa hidup bahagia tanpa bayang-bayang ketidakpastian yang menghantui.
Ketika mereka akhirnya meninggalkan kafe, Alyssa merasa beban yang selama ini ia rasakan sedikit berkurang. Arka menggenggam tangannya erat, memberikan senyum yang menenangkan. Meskipun mereka belum mencapai akhir dari semua masalah ini, Alyssa percaya bahwa bersama-sama, mereka bisa menghadapi apa pun yang datang menghadang.