Genap 31 tahun usianya, Rafardhan Faaz Imtiyaz belum kembali memiliki keinginan untuk menikah. Kegagalan beberapa tahun lalu membuat Faaz trauma untuk menjalin kedekatan apalagi sampai mengkhitbah seorang wanita.
Hingga, di suatu malam semesta mempertemukannya dengan Ganeeta, gadis pembuat onar yang membuat Faaz terperangkap dalam masalah besar.
Niat hati hanya sekadar mengantar gadis itu kepada orang tuanya dalam keadaan mabuk berat dan pengaruh obat-obatan terlarang, Faaz justru diminta untuk menikahi Ganeeta dengan harapan bisa mendidiknya.
Faaz yang tahu seberapa nakal dan brutal gadis itu sontak menolak lantaran tidak ingin sakit kepala. Namun, penolakan Faaz dibalas ancaman dari Cakra hingga mau tidak mau pria itu patuh demi menyelamatkan pondok pesantren yang didirikan abinya.
.
.
"Astaghfirullah, apa tidak ada cara lain untuk mendidik gadis itu selain menikahinya?" Rafardhan Faaz Imtiyaz
Follow Ig : desh_puspita
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 11 - Migrain
Besok-besok katanya, Faaz terlalu cepat bahagia sampai lupa bahwa yang di sisinya adalah Ganeeta, jelas tidak akan bersedia berubah secepat itu.
Dia menjawab demikian hanya karena tidak ingin Faaz lanjut bicara, bukan karena benar ingin berubah.
Tak menyerah, mumpung masih hangat-hangatnya Faaz kembali mencoba untuk melunakkan hati istrinya.
"Besok-besok tu kapan?"
"Ehm, habis besok besoknya lagi, gitu terus sampai aku mau," jawab Ganeeta tanpa keraguan dan di sini dia memperlihatkan ketidaksiapannya untuk menutup aurat.
Faaz menghela napas kasar, untuk bagian ini tampaknya memang tidak mudah sama sekali. "Kenapa begitu?"
"Kenapa ya?" Ganeeta tampak berpikir, kali ini dia tidak akan bercanda dan memberanikan diri untuk mengungkapkan opini sesuai dengan kata hatinya. "Aku merasa belum pantas saja," ucapnya kemudian.
"Belum pantas?"
Ganeeta mengangguk, wajahnya seketika berubah serius sebelum kemudian lanjut bicara.
"Apa yang membuatmu merasa belum pantas?"
"Aih, masih saja bertanya ... padahal tanpa kujelaskan harusnya tahu."
"Mas ingin dengar langsung dari mulutmu, bisa dijelaskan kenapa?"
"Menurutku hijab itu beban, tidak sedikit manusia suci di dunia ini yang menjadikan hijab sebagai tolak ukur kesempurnaan seseorang," ucapnya disertai helaan napas panjang.
Tentu saja pernyataan Ganeeta tersebut membuat Faaz mengerutkan dahi."Kenapa kamu bisa berpikir begitu?"
"Memang faktanya begitu ... seseorang yang menggunakan hijab seakan tidak boleh berbuat kesalahan, salah sedikit saja hijabnya langsung dibawa-bawa."
"Contohnya?"
"Banyak, di lingkungan sekitar saja sering aku mendengar komentar negatif terhadap muslimah yang menggunakan hijab ... 'Padahal pakai hijab, tapi mulutnya tidak terdidik.' 'Percuma berhijab kalau masih gini-gitu.' 'Pakai hijab cuma nutupin rambut, hatinya tidak.' dan masih banyak lagi," cerocos Ganeeta yang sebenarnya membagikan pengalaman pribadi.
Bukan sekadar katanya atau membual, tapi Ganeeta memang pernah menerima ucapan-ucapan semacam itu.
Walau memang sudah berlalu, tapi hingga detik ini Ganeeta masih ingat betul bagaimana perlakuan orang-orang padanya beberapa tahun lalu. Kala itu, dia mendapat hukuman dari papinya untuk merasakan kehidupan pesantren dengan harapan bisa berubah.
Namun, di sana dia justru dipertemukan dengan beberapa santri yang cukup problematik dan tidak menyukai kehadirannya. Meski memang tidak semua, tapi beberapa di antara mereka justru membuat Ganeeta tertekan dalam prosesnya.
Ketidaksempurnaan Ganeeta yang memang asal ceplos dan hiperaktif membuatnya dijauhi serta dianggap akan membawa pengaruh buruk. Bahkan, pernah Ganeeta mendengar sendiri teman sekamarnya mengatakan bahwa kelakuan Ganeeta hanya membuat malu kaum muslimah dan ada baiknya dilepas saja.
Kendati begitu, Ganeeta sama sekali tidak mengadu dan menyimpan semua itu sendirian. Karena itulah, pandangan Ganeeta tentang anak-anak pesantren mulai berubah.
Dia tidak sekagum dahulu dan merasa sebagian isinya adalah orang-orang yang sombong dengan ilmu dan amalnya, dengan kata lain merasa ahli surga.
Sejak saat itu pula, Ganeeta yang dulu pilih-pilih teman mulai membuka mata. Tanpa peduli latar belakangnya, Ganeeta akan menganggap orang itu teman selagi menghargainya, termasuk anak-anak nakal yang hidup di jalan raya.
Hingga, puncaknya setelah Om Pras yang dia harapkan akan menjadi pasangan di masa depan itu menikah, Ganeeta semakin dekat dengan mereka bahkan nekat menjalin hubungan bersama Zion sebagai pelampiasan pada awalnya.
Mengingat semua itu, seketika suasana hati Ganeeta mendadak berubah. "Udah ah, jangan bahas ini lagi! Aku muak mendengarnya," ucap Ganeeta kembali membelakangi Faaz demi menyembunyikan mata yang kini berkaca-kaca.
Melihat pemandangan ini, Faaz seketika membuang napas panjang. Tidak ingin suasana hati Ganeeta semakin buruk, Faaz memilih diam dan kembali fokus melanjutkan perjalanan.
Cukup lama keduanya bertahan dalam kebisuan. Hingga tiba di istana megah tersebut, Ganeeta bergegas turun tanpa menunggu dibukakan pintu terlebih dahulu.
Sementara Faaz yang tengah mengenakan sarungnya kembali hanya menggeleng pelan. "Sabar, Faaz ... semua butuh proses, tidak ada yang instan."
Faaz menyabarkan diri sendiri, segera dia meraih kemeja Ganeeta yang tadi tertinggal di mobil sebelum turun.
Tanpa terduga, hal itu justru membuat Khalif - adik iparnya curiga. Dengan tatapan tak terbaca, Ganeeta versi laki-laki itu menghalangi langkah Faaz untuk masuk seketika.
.
.
"Hai, Khalif," saa Faaz baik-baik dan tak ditanggapi sebaliknya.
Alih-alih balik menyapa, Khalif bersedekap dada dan tampak akan melayangkan pertanyaan padanya.
"Aneet nangis, Abang apain?" tanya Khalif langsung pada intinya.
"Menangis?"
"Hem, mascaranya sampai luntur .... pasti diapa-apain."
"Tidak, aku hanya menasihati kakakmu sedikit."
"Nasihat?"
"Iya, nasihat.
Khalif tertawa sumbang, seolah lucu sekali di matanya. "Nasihat katanya," ucap Khalif tak tertuju pada Faaz, melainkan hanya pada dirinya sendiri. "Nasihat apa yang dikasih sampai bajunya harus dilepas? Pasti nasihat me-sum ya?"
Pertanyaannya sungguh di luar dugaan, baik kakak maupun adik sama iyanya, selalu saja curigaan ke arah yang iya-iya hingga membuat Faaz memijat pangkal hidungnya.
"Ngaco, sudah sana belajar," pungkas Faaz kemudian berlalu meninggalkan Khalif yang sebenarnya masih ingin bertanya.
Jika ditanya kenapa, tentu saja karena Faaz tidak kuasa menghadapinya lebih lama. Segera Faaz mempercepat langkah dan mendorong pintu kamar.
Betapa terkejutnya, begitu masuk Faaz disambut pemandangan yang cukup menggoda iman. Dengan posisi telentang di atas tempat tidur, Ganeeta menutupi wajah dengan bantal entah apa tujuannya.
Sebenarnya tidak ada yang salah dengan posisi itu. Hanya saja, Ganeeta yang kini hanya mengenakan celana pendek dan bra untuk menutupi aset pentingnya jelas saja membuat Faaz seperti akan gila.
"Huft, apa maksudnya begitu," gumam Faaz seraya menggigit bibir dan perlahan mendekati istrinya.
Tanpa aba-aba, pria itu segera menarik bantal yang Ganeeta gunakan untuk menutup wajahnya.
"Apasih?"
"Dalam rangka apa kamu menyambut kedatangan Mas dalam keadaan hampir telan-jang begini? Hem?"
"Idih, siapa juga yang menyambut kedatangan situ? Memang begini kebiasaanku kalau pulang kuliah," ucap Ganeeta membela diri dan memang tidak sedang mengada-ada.
"Ah, jadi memang kebiasaan begini?"
"Iya, kenapa sih bawel banget?"
"Jelas, kamu berpenampilan begini sementara adik kamu laki-laki yang sedang beranjak remaja ... walaupun kalian sedarah, tapi bukan tidak mungkin menimbulkan syahwat dan itu sama halnya kamu membuka gerbang dosa, Ganeeta."
"Masa sih?"
"Tidak ada yang tidak mungkin, namanya laki-laki."
"Mas juga berarti?"
Tak segera menjawab, Faaz seketika meneguk salivanya.
"Pasti iya."
"Sudah tahu iya, kenapa masih dipakai juga? Sengaja menggoda?"
"Tidak, cuma kalau tergoda bukan salahku ... tapi iman Mas yang lemah," ucap Ganeeta santai saja karena merasa aman dengan keadaannya saat ini.
Faaz yang berada di sisinya seketika kian gelisah dan berakhir ke kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya segera, sekaligus mendinginkan kepala pasca Ganeeta buat mendidih sebelumnya.
"Awh kepalaku mendadak migrain dibuatnya, tadi pagi histeris saking tidak sudinya kusentuh sekarang mancing-mancing ... apa yang diinginkan anak kecil itu sebenarnya?"
.
.
- To Be Continued -
denger dr mulut orang lain lebih sakit hati
gapapa sebagai pengantar tidur
sabar ya ... tapi mas suami mu gak. merasa beban Lo Net ...