Blokeng adalah seorang pemuda berusia 23 tahun dengan penampilan yang garang dan sikap keras. Dikenal sebagai preman di lingkungannya, ia sering terlibat dalam berbagai masalah dan konflik. Meskipun hidup dalam kondisi miskin, Blokeng berusaha keras untuk menunjukkan citra sebagai sosok kaya dengan berpakaian mahal dan bersikap percaya diri. Namun, di balik topengnya yang sombong, terdapat hati yang lembut, terutama saat berhadapan dengan perempuan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Esa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15: Butuh Duit Buat Mabok
Blokeng terbangun di pagi hari dengan perasaan pusing yang menggelayuti kepalanya. Semalam adalah malam yang cukup mengesankan dan juga melelahkan. Dia merasa seolah dunia berputar dengan cepat dan semua ingatan dari pertemuan dengan Lina melintas di benaknya. Namun, satu hal yang mendesak di benaknya saat itu: dia butuh uang. Uang untuk membeli minuman, agar bisa mabok dan melupakan semua masalah yang menghimpitnya.
Setelah menghabiskan beberapa saat untuk meresapi ketidaknyamanan di kepalanya, Blokeng akhirnya memutuskan untuk bangkit dari tempat tidur. Dia melangkah ke dapur dan membuka kulkas. Hanya ada sebotol air mineral yang tersisa. Sambil mengeluh, dia menggaruk kepala yang gatal. “Gila, gue butuh duit buat mabok,” ujarnya sambil melirik dompetnya yang kosong.
Mau tidak mau, dia harus mencari cara untuk mendapatkan uang. Di pikirannya terlintas satu ide konyol. “Ah, kenapa tidak mencoba peruntungan di tempat yang biasa gue kunjungi? Siapa tahu ada yang bisa dipinjam.”
Dia mengenakan kaos kumel dan celana jeans yang sudah usang, lalu bergegas pergi menuju tempat karaoke yang sering dikunjunginya. Di sana, dia berharap bisa mendapatkan uang dari teman-temannya yang ada di sana atau, setidaknya, bisa mendapatkan tawaran pekerjaan sebagai pemandu lagu lagi.
Sesampainya di sana, Blokeng melihat sekelompok teman-temannya berkumpul. Mereka tampak asyik bercanda dan tertawa. Dengan langkah percaya diri, Blokeng mendekati mereka.
“Bro! Apa kabar?” sapa Blokeng, berusaha menunjukkan suasana ceria meskipun hatinya gelisah.
“Eh, Blokeng! Udah lama nggak lihat! Ngapain aja lo?” salah satu temannya menyambut.
“Gue butuh duit, nih. Ada yang bisa dipinjam?” tanya Blokeng, tanpa basa-basi.
Temannya itu langsung tertawa. “Duit? Lo pasti mau mabok lagi, ya? Lo kan udah tahu, gue nggak ada duit!”
Mendengar itu, Blokeng merasa putus asa. “Ya elah, masa iya sih nggak ada yang bisa bantu? Cuma butuh sedikit, bro. Cuma buat mabok doang.”
“Gue ada cara lain, tapi lo harus ikut main. Kita ada taruhan di sini,” jawab temannya sambil menunjukkan beberapa teman yang sedang berkumpul.
Blokeng merasa tertarik. “Taruhan? Apa nih? Jelasin!”
Temannya menjelaskan tentang permainan dadu yang mereka lakukan. Setiap orang yang kalah harus memberikan uang mereka. “Gampang kok, yang kalah bayar. Berani?” tantang temannya.
Blokeng berpikir sejenak. Dia tidak begitu yakin, tetapi dorongan untuk mabok mengalahkan segala keraguan. “Oke, gue ikut!” serunya, merasa semangat.
Mereka semua duduk di tengah ruangan, dan permainan dimulai. Dalam hati, Blokeng berdoa agar keberuntungannya bisa berpihak padanya. Setiap kali dadu dilempar, dia merasa jantungnya berdebar. Permainan berjalan dengan seru, dan Blokeng mulai merasa optimis.
Namun, sayangnya, keberuntungan tidak berpihak padanya. Dalam beberapa putaran, dia sudah kalah dua kali berturut-turut. “Anjrit, ini tidak mungkin!” keluhnya, tetapi dia tidak menyerah. Dia bertekad untuk mendapatkan uang yang dia butuhkan.
Setelah beberapa putaran lagi, Blokeng kalah lagi. “Ya ampun, ini sial!” teriaknya frustrasi. Teman-temannya tertawa melihat reaksi Blokeng yang semakin panik.
Di tengah semua kekacauan itu, Blokeng merasakan tekanan untuk meminjam uang. Dia mulai berkeliling, meminta setiap teman yang bisa ia temui. “C’mon, bro, cuma 50 ribu aja. Gue janji akan bayar balik,” rayunya.
Beberapa temannya menolak, tetapi ada satu yang akhirnya setuju meminjamkan uang. “Oke, tapi lo harus janji, ya? Jangan sampai lo nggak bayar,” kata temannya sambil memberikan uang itu.
Blokeng merasa lega dan berterima kasih. “Gue janji, bro! Malam ini gue bakal mabok habis-habisan!”
Setelah mendapatkan uang yang dia butuhkan, Blokeng langsung meluncur ke toko terdekat untuk membeli sebotol anggur merah. “Akhirnya, waktu untuk merayakan!” serunya dalam hati, tidak sabar untuk menikmati malamnya.
Dengan botol anggur di tangan dan semangat membara, Blokeng merasa siap untuk menghadapi malam penuh keceriaan. Dia berjalan kembali ke tempat karaoke dengan harapan malam ini akan menjadi malam yang tak terlupakan, seperti yang dia harapkan sebelumnya.
Blokeng melangkah keluar dari tempat karaoke, hatinya berdebar penuh semangat. Dia sudah mendapatkan uang yang cukup untuk membeli sebotol anggur merah. Namun, di luar sana, jalanan malam penuh dengan kemungkinan—dan juga masalah.
Saat berjalan, Blokeng melihat sekelompok pria berseragam tentara yang sedang duduk-duduk di pinggir jalan. Mereka terlihat santai, tetapi ada aura yang menakutkan dari mereka. Blokeng, dengan keberanian yang meluap-luap setelah minum anggur, merasa bahwa ini adalah saatnya untuk menunjukkan keberanian, meskipun dia tahu ini bisa jadi kesalahan besar.
“Eh, bro! Apa kabar?” teriak Blokeng dengan nada tidak sabar, sambil melambai ke arah mereka.
Beberapa tentara menoleh dan melihat Blokeng dengan tatapan sinis. “Kau siapa?” tanya salah satu dari mereka, suaranya berat dan mengintimidasi.
“Gue Blokeng, bro! Apa lo mau mabok juga?” jawab Blokeng, tanpa mempedulikan bahaya yang mungkin mengancam. Dia mengeluarkan botol anggur dari tasnya, memperlihatkannya dengan bangga.
“Minuman itu tidak untuk orang sepertimu,” salah satu tentara menjawab, menilai Blokeng dari ujung kepala sampai kaki dengan sinis.
Seketika, rasa percaya diri Blokeng merosot. “Eh, santai aja. Gue cuma bercanda,” ucapnya, berusaha mengalihkan suasana.
Tetapi, kata-kata itu hanya menambah suasana tegang. Tentara yang sebelumnya berbicara mulai mendekat, menatap Blokeng dengan tajam. “Kau pikir kau bisa bercanda dengan kami? Kau tahu siapa kami?” tanyanya dengan nada menantang.
“Gue cuma pengen bersenang-senang, bro! Siapa takut?” Blokeng menjawab, merasa terpojok tetapi tetap berusaha mempertahankan semangatnya.
“Ternyata kau berani juga. Ayo, kita lihat seberapa beraninya kau,” tantang tentara itu, tanpa memperlihatkan senyuman sedikit pun. Mereka bergerak mendekati Blokeng, dan suasana menjadi semakin menakutkan.
Dari sinilah semua kekacauan dimulai. Blokeng merasa terpaksa membela dirinya. “Gue nggak takut sama lo!” teriaknya, sambil berusaha terlihat tangguh.
“Satu kesempatan, Blokeng. Kau mau gelut?” tentara itu menantang.
Blokeng merasa seolah-olah ia sedang berada dalam sebuah film aksi, meskipun dia tahu ini bukan ide yang bagus. Dia mengangguk, meski dengan hati yang berdebar. “Ayo! Satu lawan satu!”
Namun, tentara itu tertawa. “Kau yakin mau melawan satu, atau kami bertiga?” ucapnya dengan sinis, menunjuk kepada dua rekannya yang lain.
“Ngapain takut? Kalian cuma tentara! Ayo, keroyok!” tantang Blokeng, dan seketika itu semua berjalan cepat.
Dua tentara lainnya maju, dan Blokeng merasa jantungnya berdebar. Dia tidak punya banyak pilihan sekarang. Dia tahu dia harus bertarung atau kabur. Satu hal yang pasti, dia tidak akan lari dari tantangan ini.
Blokeng mengangkat tangan, siap untuk melawan. Pertarungan pun dimulai. Pukulan pertama dari tentara itu datang begitu cepat. Blokeng terpaksa menghindar, tetapi sayangnya dia terlalu lambat. Pukulan itu mengenai wajahnya, membuatnya terhuyung.
Dia berusaha untuk bangkit dan menyerang balik. Pukulan dan tendangan silih berganti, Blokeng merasakan ketidakadilan dari pertarungan ini. Beberapa kali dia mendapatkan pukulan di perut, sementara tentara itu tampak tidak terlalu terpengaruh oleh serangan-serangannya.
Ketika Blokeng berusaha menyerang lagi, dia merasakan ada sesuatu yang menghalanginya. Dia terjatuh di atas tanah, dan sejenak semuanya menjadi gelap. Dalam kepanikan itu, dia berteriak, “Gue butuh duit buat mabok, bukan gelut! Kenapa lo semua harus bikin hidup gue susah?!”
Akhirnya, tentara yang memimpin menghentikan perkelahian itu. “Cukup! Kau jelas bukan lawan kami. Pergilah sebelum kami berubah pikiran,” ucapnya dengan nada mengancam.
Dengan segenap tenaga yang tersisa, Blokeng berlari, meninggalkan tempat itu dengan rasa malu dan sakit di seluruh tubuhnya. Dia tidak tahu ke mana arah tujuannya, yang dia tahu hanyalah dia butuh minuman untuk melupakan semua ini.
Sesampainya di rumah, Blokeng terbaring di tempat tidurnya, teringat akan semua kejadian yang baru saja terjadi. Dia menghela napas panjang. “Cuma mau mabok, tapi malah jadi berantem sama tentara. Sialan!” ujarnya sambil menendang bantal di sampingnya.
Dia menatap botol anggur yang dibawanya pulang, dan meski malam itu tidak berjalan sesuai rencana, dia masih bisa berharap bisa menemukan kebahagiaan, meski hanya dalam sebotol anggur.
“Gue butuh duit, bukan masalah. Besok, gue harus mulai dari awal,” gumamnya pelan sebelum akhirnya terlelap dalam rasa sakit dan harapan akan hari esok.