Yasmina Salsabilla atau yang akrab dengan sapaan Billa ini mengalami ketertinggalan dari teman-temannya yang sudah lebih dulu lulus kuliah disebabkan keterbatasan ekonomi dan membuatnya mengambil kuliah sambil bekerja. Akhirnya Billa dibantu oleh pamannya yang merupakan adik kandung dari almarhum ayahnya.
Dikarenakan mempunyai hutang budi, sang paman pun berniat menjodohkan Billa dengan anak salah satu temannya. Dan tanpa sepengetahuan sang paman, ternyata Billa sudah lebih dulu dilamar oleh Aiman Al Faruq yang tak lain adalah dosen pembimbingnya. Bukan tanpa alasan dosen yang terkenal dingin bak es kutub itu ingin menikahi Billa. Namun karena ia tidak mau mempunyai hubungan dengan sepupunya yang ternyata menaruh hati padanya. Aiman pun memutuskan untuk menikahi Billa agar sepupunya tidak mengganggunya lagi.
Bagaimana kisahnya, apakah Billa menerima lamaran dosennya ataukah menerima perjodohan dari pamannya?
Cerita ini 100% fiksi. Skip bila tidak suka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Daisy Faya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jangan panggil saya bapak
Billa masih memperhatikan dosennya yang tengah sibuk membaca skripsi miliknya. Sesekali Billa menahan nafasnya ketika sang dosen mengerutkan dahi di sela-sela kegiatannya membaca skripsi miliknya.
“Sudah pernah konsul dengan pak Anwar?” Suara sedikit berat itu membuat Billa menjadi merinding.
“Baru sekali pak, itu pun Cuma diperiksa sampai bab tiga saja, sedangkan bab empat dan lima belum pak.” Ia mencoba menjelaskan dengan bahasa sesopan mungkin, namun tetap saja ia mendapat hadiah tatapan tidak suka dari dosen di depannya.
“Judul skripsi kamu tentang Korelasi IPK tinggi terhadap keberhasilan di lapangan kerja, ini nilai korelasinya kamu cari sendiri atau bagaimana?” Dosennya bertanya tanpa mengalihkan pandangannya dari lembaran - lembaran kertas di depannya.
“Saya hitung sendiri pak.” Lagi-lagi ia mendapat tatapan tidak suka itu.
“Maksud saya, saya menghitungnya menggunakan kalkulator pak.” Ia sudah kenyang dengan tatapan itu, dan tanpa bersuara dosen dengan kulit sedikit tan itu masih setia dengan tatapan yang seolah tak suka yang ditujukan kepada mahasiswi di depannya.
“Saya salah bicara pak ya, kok kayaknya bapak gak suka gitu ngeliat saya, bapak bilang aja salah saya apa, biar bisa saya perbaiki, saya ngerasa takut ditatap gitu terus pak.” Ia mencoba mengutarakan isi hatinya, semua ini demi kenyamanan konsulnya.
“Saya tidak suka cara bicara kamu.” Aiman menjawab dengan tatapan yang belum berubah.
“Apa saya bicara kurang sopan, pak. Tapi menurut saya, bahasa yang saya gunakan untuk berkomunikasi dengan bapak sudah termasuk kategori yang sopan pak, jadi dimana salah saya pak?” Sungguh ia ingin menghilang dari hadapan dosennya ini.
“Jangan panggil saya bapak!” Ucap Aiman tanpa menoleh ke arah Billa, matanya tetap terfokus pada lembaran skripsi milik Billa.
“Maaf, tapi bapak kan dosen saya, jadi sudah sewajarnya saya panggil bapak.” Billa sungguh bingung dengan kelakuan dosennya yang bernama Aiman itu.
“Saya memang dosen, dan itu memang panggilan yang wajar buat saya, semua orang boleh memanggil saya begitu, tapi tidak dengan kamu.” Suara beratnya terdengar begitu tenang namun penuh penekanan, terlebih di bagian kata-kata terkahirnya.
“Maksudnya pak?” Kali ini ia mendapat tatapan yang lebih mengerikan dibanding sebelumnya.
“Ini skripsi kamu, segera revisi beberapa bagian yang sudah saya coret, dan segera bawakan kembali ke saya setelah kamu revisi. Dan jangan lupa kabari saya dulu jika kamu ingin konsul. Paham?” Ucapnya dengan tatapan dingin.
“Baik pak, terima kasih pak.” Begitu melihat tatapan mengerikan itu lagi, Billa langsung melesat cepat ke arah pintu keluar.
Ia kini tengah duduk di halte bus dekat kampusnya, ia jadi teringat dengan pesanan siomay Ocha, namun ia sangat malas untuk kembali ke kantin. Kini ia memutuskan untuk menunggu bus yang datang, hingga suara ponselnya terdengar yang menandakan jika seseorang menelponnya.
“Assalamualaikum.” Terdengar sirat kelelahan di balik suaranya.
“Wa’alaikumsalam, gimana kuliah kamu, kapan kelarnya?” Terdengar sebuah suara yang begitu tegas dan terkesan tidak ramah di seberang telpon sana.
“Belum tau paman, ini saya baru konsul bab empat sama bab lima,” entah mengapa ingin sekali rasanya ia melempar handphonenya ini jauh-jauh, agar percakapannya ini tidak berlanjut.
“Kapan kamu targetkan bisa wisuda, jika boleh jujur Billa, saya sudah tidak sanggup lagi untuk membiayai kuliah kamu, sudah begitu banyak uang yang saya habiskan untuk kamu, tapi apa hasilnya, sudah enam tahun kamu kuliah dan kamu belum bisa memastikan kapan kamu selesai.” Serentetan kata itu mengalir dengan lancar dari seberang telpon sana, begitu juga dengan air mata gadis bermanik coklat itu.
“Maaf paman,” Beribu kata sudah ia rangkai di otaknya, namun hanya dua kata itulah yang lolos dari kerongkongannya.
Tanpa ada kata penutup, sambungan telepon itu terputus disaat handphone berwarna putih itu masih tertempel di telinganya. Air matanya benar-benar tak mau berhenti untuk saat ini, bahkan beberapa pasang mata melihat ke arahnya, berbagai macam arti pandangan yang mereka tunjukan, ada yang melihatnya dengan tatapan mata kasihan, ada yang melemparkan tatapan heran bahkan tak jarang ada menghadiahkannya tatapan mengejek diiringi senyum sinis dari bibir mereka.