Rumah tangga Nada Almahira bersama sang suami Pandu Baskara yang harmonis berubah menjadi panas ketika ibu mertua Nada datang.
Semua yang dilakukan Nada selalu salah di mata sang mertua. Pandu selalu tutup mata, dia tidak pernah membela istrinya.
Setelah kelahiran putrinya, rumah tangga mereka semakin memanas. Hingga Nada ingin menyerah.
Akankah rumah tangga mereka langgeng? Atau justru akan berakhir di pengadilan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Budy alifah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18
Kamu tidak perlu cari aku, aku di rumah ibu seminggu sama Shanum.
Pandu menaruh ponselnya setelah membaca pesan dari Nada. Dia mengusap wajahnya, kecemasan tersirat jelas di wajahnya.
"Ada masalah?" tanya Jimmy melihat sahabatnya kasak-kusuk sejak tadi.
"Istriku sakit," Wajahnya menyiratkan kesedihan yang dalam yang dalam.
Pikirannya bercabang-cabang, dia belum tahu istrinya sakit apa? Anaknya dengan siapa? dan yang membuat dia semakin cemas yaitu kepulangan istrinya.
"Kau izin saja pulang, pasti perusahaan akan mengerti." Jimmy memberikan saran agar Pandu pulang lebih awal.
Eva tersenyum kecut melihat kekhawatiran Pandu terhadap istrinya. Ada rasa sakit melihatnya, dia lebih senang Pandu yang cuek kepada istrinya.
Eva ingin mengetes Pandu dengan cara yang dilakukan kemarin. Saaat jam makan siang Eva mencegah Pandu ke kantin.
"Kamu mau ngomong masalah apa?" tanya Pandu dengan wajah tidak bersahabat. Pikiran yang kalut serta perut kosong membuat emosi dia lumayan naik drastis.
"Tidak ada masalah, aku cuma mau minta tolong antarkan pulang bisa? mobilku masuk bengkel," ujarnya sembari memegang tangan Pandu wajahnya penuh harapan agar Pandu mau memenuhi permintaannya.
"Maaf Eva, hari ini aku tidak bisa. Kamu minta tolong Jimmy dulu." Pandu menolak permintaan Eva.
"O,iya, nanti aku bilang Jimmy," ujarnya dengan senyuman hampa di bibirnya.
Sekuat apa dia mendobrak pintu hati Pandu, memberikan hal-hal manis yang dia punya. Namun, tetap saja istrinya lah pemenangnya.
...----------------...
"Assalamualaikum," Pandu memberikan salam kepada orang-orang yang sedang berkumpul di ruang tamu milik ibu metuanya.
"Waalaikumsalam," jawab serentak.
Pandu berjalan menghampiri ibu mertuanya lalu mencium punggung tangannya.
"Katanya kamu tidak bisa datang ke sini," kata Ranti sembari mengusap punggung menantu lelakinya.
"Iya Buk, kerjaan sudah selesai," jawabnya pelan.
Pandu menelan ludah saat melihat Nora dan Rama memandang dirinya lekat. Pandangannya sangat tajam, seakan sedang marah dengannya.
"Nada di mana ya Buk?" tanya Pandu sembari mengedarkan pandanganya. Mencari keberadaan sang istri.
"Ada di kamarnya, Pandu, coba kamu ajak Nada ke rumah sakit," pinta Ranti, dia merasa anak bungsunya itu sedang tidak baik-baik saja.
"Baik Buk, Pandu ke kamar dulu." Pandu beranjak dari sofa.
Nora tidak melepaskan pandangan tajam ke adik iparnya itu, dia merasa jika ada masalah di rumah tangga adiknya.
Namun, dia tidak berani mencampurinya. Terlebih adiknya belum bercerita kepada dirinya. Jadi, Nora masih diam dan mengawasinya saja.
Pandu mengetuk pintu kamar, tapi tak ada jawaban. Saat masuk, Pandu melihat istrinya yang terlelap tidur dengan selimut tebal menutupi tubuhnya.
Pandu memegang kening Nada, "Kamu kenapa pulang ke sini?"
Lelaki bertubuh kekar mengira Nada akan mengadu kepada ibu mertuanya. Namun, dia salah. Sang istri sama sekali tidak mengatakan. Dia menjaga aib suaminya di depan keluarganya.
Bahkan, masuk rumah sakit pun tidak mengatakan kepada keluarganya. Rasa penyesalan memang selalu muncul. Hanya saja, rasa itu datang dan pergi tidak pernah lama.
"Sayang, maaf kamu menjadi terbangun," ujar Pandu sembari menurunkan tangan dari kening Nada.
Nada mengucek kedua matanyanya, memastikan orang yang ada di depannya itu benar suaminya. Bukan mimpi atau halusinasi.
"Sayang, kamu kenapa memandangku seperti itu?" Pandu menarik menarik kebelakang sedikit kepalanya dengan kening berkerut.
Nada duduk, "Kamu kenapa ke sini?" Dia balik bertanya.
Pandu memegang tangan Nada, "Kamu kenapa ngomong seperti itu? Aku kan suamimu, kita harus sama-sama."
Nada diam, dia masih kesal dengan Pandu yang mengabaikannya kemarin.
"Aku tahu, salah, jangan tinggalkan aku sendiri." Pandu menatap Nada dengan wajah nanar.
"Memangnya apa bedanya ada dan tidak adanya aku di hidup kamu." Nada tersenyum kecut.
Dia memiliki suami tapi seperti tidak bersuami, melakukan apa pun sendirian.
"Kamu kok ngomong seperti itu?" wajah Pandu semakin sedih.
"Mas, biarkan aku sama Shanum tinggal di sini beberapa hari. Kamu jangan datang ke mari," pinta Nada.
Dia ingin merasakan dirinya jika tanpa sang suami. Jika memang dia bisa tanpanya, dia bisa mengambil sikap lain.
"Sayang, itu tidak mungkin. Apa kata keluarga kamu?" Pandu tidak mau dianggap menjadi suami tidak bertanggung jawab oleh keluarga istrinya.
Membiarkan istrinya tinggal di rumah ibunya akan menjadi masalah untuk keluarga kecilnya.
"Tenang saja, aku tidak akan membuatmu malu," kata Nada sembari mengambil kerudungnya.
Nada menyindir Pandu, jika dirinya tidak seperti sang suami, yang selalu mempermalukan dia di depan ibunya. Tidak pernah membela dirinya.
"Nada, Pandu, ayo makan dulu," seru Nora di depan pintu.
Pandu terpaku, dia merasa istrinya terus membalikan omonganya. Dia ingat saat menuduh Nada ingin mempermalukan dirinya.
"Kamu tidak mau makan?" ujar Nada di depan pintu ketika melihat suaminya masih belum beranjak.
"Iya," Pandu bergegas menyusul Nada.
Di meja makan hari ini hanya Pandu yang orang asing. Jika Nada mengadu maka dia akan habis malam ini.
Nada melayani Pandu seperti biasa, hanya saja wajahnya saat ini datar. Tidak ada senyum dan gurauan.
"Nada, kamu sakit ya?" tanta Ranti melihat putrinya yang masih pucat seperti saat dia datang.
"Tidak buk, cuman kelelahan saja," kata Nada sembari menyuapkan nasi ke dalam mulutnya.
"Nada, lebih baik kamu pakai suster buat jagaian Shanum," saran dari Rama karena melihat adik iparnya selalu kelelahan saat datang ke rumah.
"Nada kan tidak bekerja, pakai suster cuma nambah pengeluaran saja," katanya dengan senyum hambar.
Pandu menelan nasi bulat-bulan, ia menoleh ke arah Nada yang sedang sibuk dengan makan malamnya.
"Sejak kapan kamu perhitungan pengeluaran. Ini kebutuhan bukan buat foya-foya," kata Nora dengan nada sedikit meninggi.
"Kan Nada sudah bilang kalau Nada sekarang hanya ibu rumah tangga. Nanti ... ," Nada menghentikan ucapannya.
Dia ingin mengeluarkan segala unek-uneknya di depan keluarganya.
"Nanti apa?" Ranti memandang putrinya aneh.
"Nanti Nada menganggur, jadinya bosan," katanya dengan senyum memastikan ibu dan kakak-kakaknya percaya sama jika dia baik-biak saja.
Pandu meraih tangan Nada, menggenggam tangan Nada erat. Nada menoleh ke arah Pandu lalu tersenyum.
"Pandu, kau itu harus lebih perhatian lagi sama istrimu. Kalau kamu tidak bisa pulangkan saja Nada," kata Nora dengan menatap tajam adik iparnya.
"Nora, kamu ngomong apa?!" seru Ranti. Dia tidak senang mendengar ucapan putrinya.
"Mbak, Pandu sanggup kok meberikan perhatian dan kasih sayang," Pandu mengeratkan tangannya, perasaannya sudah tidak karuan.
Makanan yang lezat berubah hambar, belum ada satu jam di rumah ibu mertuanya sudah dibuat senam jantung.
Nada melepaskan genggaman tangan Pandu, lalu berganti yang menggenggamnya.
Senyum hambar terlukis di bibir Nada, lantas mengatakan, "Mas Pandu sangat menyayangiku, memenuhi lahir dan batin."