Annisa memimpikan pernikahan yang bahagia bersama lelaki yang dicintainya dan mencintainya. Tetapi siapa sangka dirinya harus menikah atas permintaan sang Kakak. Menggantikan peran sang Kakak menjadi istri Damian dan putri mereka. Clara yang berumur 7 tahun.
Bagaimana nasib Annisa setelah pernikahannya dengan Damian?
Mampukah Annisa bertahan menjadi istri sekaligus ibu yang baik untuk Clara?
Temukan kisahnya hanya di sini!^^
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kikan Selviani Putri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
LANGKAH AWAL
Di meja kerjanya, Zaskia duduk sambil mengetuk-ngetuk ujung bolpoin dengan kesal. Matanya menatap tajam ke arah pintu ruangan Damian yang baru saja tertutup. Dalam hatinya, ia merasa kecewa dan marah—rencana yang semula ia susun rapi untuk menjatuhkan Annisa sepertinya gagal total.
“Kenapa bisa seperti ini?” gumamnya, suaranya hampir seperti geraman kecil. “Padahal aku sengaja membiarkan perempuan itu masuk, biar Damian marah dan mengusirnya! Kenapa malah jadi makin akrab?”
Zaskia meremas bolpoin di tangannya, hampir seperti ingin meluapkan rasa frustasinya. Ia tak bisa mengerti kenapa seorang seperti Damian bisa luluh hanya karena sekotak kue. Padahal selama ini, ia selalu berusaha membuat Damian menyadari bahwa ia ada di sisi pria itu, mengurus semua kebutuhan kantornya, bahkan kadang memenuhi hal-hal kecil yang Damian butuhkan.
“Sekarang perempuan itu pasti merasa menang,” desis Zaskia dengan nada sinis.
Saat Zaskia masih tenggelam dalam pikiran negatifnya, Andi dan Raka tiba-tiba muncul dari ujung lorong, menghampiri meja kerjanya. Kedatangan mereka membuat Zaskia sejenak mengubah ekspresinya menjadi lebih profesional, walau sisa-sisa kekesalannya masih kentara.
“Damian ada di dalam?” tanya Andi sambil melirik pintu ruang kerja Damian.
Zaskia mengangguk singkat, memasang senyum palsu. “Iya, dia sedang beristirahat. Tadi katanya masih tidak enak badan.”
Raka menatap Zaskia dengan cermat, merasa ada sesuatu yang aneh dengan raut wajah sekretaris itu. “Zaskia, kamu baik-baik saja? Mukamu kelihatan seperti lagi jengkel.”
Zaskia cepat-cepat merapikan ekspresinya, lalu tertawa kecil untuk menyembunyikan kemarahannya. “Ah, nggak kok, Pak Raka. Aku cuma… ya, sedikit lelah mungkin. Banyak yang harus diurus di sini.”
Andi melirik Zaskia sekilas, menyadari sikapnya yang tampak ganjil, tapi memilih tak banyak bertanya. “Kalau begitu, kita akan masuk sebentar, ya. Kami perlu diskusi soal proyek terbaru tadi dengan Damian.”
Zaskia mengangguk, tapi matanya kembali terarah ke pintu ruangan Damian dengan tatapan penuh kebencian yang hanya bisa ia sembunyikan dengan senyum tipis. Begitu Andi dan Raka masuk ke ruangan Damian, Zaskia kembali tenggelam dalam pikirannya.
“Kalau saja perempuan itu tidak datang ke sini…,” gumam Zaskia sambil mengepalkan tangan. “Aku harus pikirkan cara lain agar Damian sadar siapa sebenarnya Annisa.”
Di dalam ruangan, Andi dan Raka mendekati Damian yang masih duduk di kursinya dengan wajah yang sedikit pucat. Andi menaruh tangan di bahu Damian dengan kekhawatiran yang jelas.
“Damian, kamu baik-baik saja? Kamu terlihat sangat buruk,” ucap Andi sambil menatap Damian dengan prihatin.
Damian mengangguk lemah. “Ya, hanya sedikit pusing… dan sepertinya terlalu banyak yang harus diurus akhir-akhir ini.”
Raka mengangguk. “Kalau kamu perlu istirahat, Damian, tidak usah memaksakan diri. Kami bisa handle beberapa hal kalau kamu butuh.”
Damian menghela napas, lalu tersenyum kecil. “Terima kasih, tapi aku baik-baik saja. Lagipula, ada beberapa hal yang aku tidak bisa serahkan begitu saja.”
Andi mengangguk sambil tersenyum tipis. “Baiklah, tapi ingat kalau kesehatanmu lebih penting. Jangan sampai terlalu memaksakan diri.”
Di luar, Zaskia hanya bisa mengawasi mereka dengan perasaan kesal yang mendalam.
Andi baru menyadari jika ada Annisa di sana. Dia tidak bisa menahan keterkejutannya saat melihat Annisa juga ada di ruangan Damian. Meskipun ia sudah tahu bahwa Annisa adalah istri Damian, kehadirannya yang mendadak membuatnya canggung. Hatinya berdebar tak karuan, dan ia harus berdehem beberapa kali agar tidak terlalu terlihat gugup.
Damian yang masih tampak lemas dan menyandarkan diri di kursi tak terlalu memperhatikan, namun Raka yang lebih jeli langsung menangkap reaksi aneh Andi.
"Kenapa, Andi? Kamu nggak biasanya begini," goda Raka sambil melirik Andi, yang kini berusaha mengalihkan tatapannya dari Annisa.
Andi tertawa kecil, meskipun wajahnya sedikit memerah. "Apa ruangan ini tidak terasa panas, ya? Mungkin karena aku belum terbiasa di sini…," jawabnya sambil berusaha terlihat santai. Tapi matanya sesekali mencuri pandang ke arah Annisa yang tengah menunduk, tampak sibuk merapikan sisa kotak kue tiramisu yang tadi ia bawa untuk Damian.
Annisa yang merasakan suasana canggung di sekelilingnya hanya tersenyum sopan. "Maaf, mungkin aku harus kembali ke kantorku. Mas Damian, kalau ada yang kamu perlukan, hubungi saja. Aku akan keluar dulu."
Damian mengangguk tanpa ekspresi berlebihan, tetapi Andi tak bisa menyembunyikan kekecewaannya saat Annisa beranjak pergi. Meski ia berusaha sekuat tenaga untuk tetap profesional, ada sesuatu dalam sikapnya yang membuat Raka mengerutkan kening, merasa ada yang tidak biasa.
Begitu Annisa meninggalkan ruangan, Andi menarik napas panjang, berusaha menenangkan diri. Raka mengangkat alis, masih dengan senyum menggoda.
"Jadi, panas ya, di sini, Andi?" canda Raka, kali ini lebih terang-terangan.
Andi tertawa kecil, mengangkat bahu seolah menepis. "Sudah, sudahlah, kita di sini untuk bekerja. Damian, kita mulai bahas proyeknya saja," ucap Andi, berusaha mengalihkan topik sambil membuka laptopnya. Namun, dalam hati ia tak bisa mengabaikan kehadiran Annisa yang meninggalkan bekas dalam pikirannya, meskipun tahu betapa rumit situasinya.
“Proyek apa Ndi? Bukankah tadi sudah,” goda Raka tak berhenti.
Andi yang salah tingkah hanya mengumpati Raka dalam hati.
•••
Setelah meninggalkan ruangan Damian, Annisa berjalan dengan langkah ringan menuju kantornya. Momen singkat itu membuat hatinya sedikit lebih tenang, dan senyum kecil tersungging di bibirnya. Ia merasa ada harapan bahwa hubungannya dengan Damian bisa sedikit mencair, meski belum banyak berubah.
Dalam perjalanan, Annisa memutuskan untuk mampir ke kedai kopi dekat kantor. Ia tahu betapa rekan-rekan kerjanya menyukai kopi, apalagi jika ada yang mentraktir. Sambil menunggu pesanannya disiapkan, ia memilih beberapa varian kopi dan kue yang akan disukai oleh teman-temannya.
Setibanya di kantor, Annisa disambut dengan tatapan penasaran dari beberapa teman, terutama karena membawa kantong berisi kopi dan kue.
“Wah, Annisa baik banget hari ini! Tumben nih, traktiran di awal minggu,” goda Gina sambil tertawa kecil.
Annisa tersenyum sambil menyerahkan kopi. “Anggap saja ini penyemangat di awal minggu. Aku pikir kalian pasti butuh suntikan energi.”
Beberapa rekannya tersenyum penuh semangat, memandang Annisa dengan mata berbinar. “Wah, terima kasih banyak, Annisa! Kalau gini, jadi pengen setiap hari kamu bawa kopi, deh,” kata Handoko sambil mengambil cangkirnya dengan gembira.
Annisa tertawa kecil. “Wah, nanti aku bisa bangkrut kalau setiap hari traktir kopi!”
Sambil menyeruput kopi, teman-temannya terus bercanda dan tertawa. Annisa merasakan kehangatan di tengah-tengah mereka. Meski kadang pekerjaannya terasa berat, dukungan dan canda tawa teman-temannya memberi energi baru. Hari ini, dengan suasana hati yang lebih riang, ia merasa lebih siap menghadapi tantangan apa pun di depannya.
Robert memperhatikan Annisa dari balik meja kerjanya, merasa bingung dengan perubahan suasana hati gadis itu yang begitu cepat. Hanya beberapa jam lalu Annisa tampak murung dan terlihat seperti menanggung beban berat, tapi kini ia kembali ceria, bahkan mentraktir rekan-rekan satu timnya kopi. Robert mengerutkan kening, mencoba menebak apa yang terjadi.
Dalam hati, ia merasa lega melihat Annisa kembali tersenyum, meskipun ada rasa penasaran yang belum terjawab. Robert memutar-mutar penanya, berpikir keras. Apa yang membuat Annisa berubah begitu drastis?
Saat Annisa kembali duduk di mejanya setelah berbincang dengan beberapa teman, Robert tak tahan untuk tidak menyapa. Ia berjalan mendekat sambil membawa mug kopinya sendiri, tersenyum sopan.
"Annisa, senang lihat kamu ceria lagi," katanya, mencoba nada yang santai. "Pagi tadi aku sempat khawatir melihat kamu tampak murung."
Annisa tersenyum ramah, meski sekilas tampak kaget dengan perhatian Robert. "Oh, iya? Maaf kalau sampai terlihat seperti itu. Kadang memang mood bisa berubah, tapi aku baik-baik saja sekarang," ucapnya sambil tersenyum.
Robert mengangguk, masih penasaran tapi menahan diri untuk tidak bertanya lebih jauh. "Yang penting kamu baik-baik saja. Kami semua juga senang, apalagi dengan traktiran kopinya ini," tambahnya sambil tersenyum, berharap bisa sedikit mencerahkan suasana.
Annisa tertawa kecil. "Syukurlah kalau kalian suka! Aku juga senang bisa berbagi, apalagi untuk teman-teman yang baik."
Obrolan ringan itu membuat Robert merasa lebih dekat dengan Annisa, meskipun tetap menyimpan rasa penasaran yang tak terjawab. Tapi yang terpenting, setidaknya Annisa bisa kembali tersenyum—dan itu sudah cukup untuk membuat harinya terasa lebih baik.