Setelah Danton Aldian patah hati karena cinta masa kecilnya yang tidak tergapai, dia berusaha membuka hati kepada gadis yang akan dijodohkan dengannya.
Halika gadis yang patah hati karena dengan tiba-tiba diputuskan kekasihnya yang sudah membina hubungan selama dua tahun. Harus mau ketika kedua orang tuanya tiba-tiba menjodohkannya dengan seorang pria abdi negara yang justru sama sekali bukan tipenya.
"Aku tidak mau dijodohkan dengan lelaki abdi negara. Aku lebih baik menikah dengan seorang pengusaha yang penghasilannya besar."
Halika menolak keras perjodohan itu, karena ia pada dasarnya tidak menyukai abdi negara, terlebih orang itu tetangga di komplek perumahan dia tinggal.
Apakah Danton Aldian bisa meluluhkan hati Halika, atau justru sebaliknya dan menyerah? Temukan jawabannya hanya di "Pelabuhan Cinta (Paksa) Sang Letnan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hasna_Ramarta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 3 Pernikahan
Entah kenapa lamaran itu tidak mendapatkan penolakan, meskipun hati Haliza menentangnya. Haliza hanya duduk menunduk dengan wajah yang muram, sembari sesekali berkata iya dan iya.
Melihat Haliza hanya duduk diam dan tidak banyak bicara, Aldian menyimpulkan kalau Haliza menerima perjodohan ini dengan ikhlas dan suka cita. Mengenai wajahnya yang muram, Aldian menilai kalau Haliza sedang merasakan rasa canggung dan malu.
Akhirnya diputuskan, bahwa pernikahan mereka akan digelar sebulan kemudian. Sama halnya dengan keputusan tanggal pernikahan, Haliza sama sekali tidak menolak atau merasa keberatan.
Kedua belah pihak antara calon besan memutuskan untuk menyiapkan segalanya. Calon pengantin tidak diijinkan sibuk memikirkan persiapan menjelang hari H, kecuali fitting baju pengantin.
Sementara Aldian memutuskan kembali ke kota tempatnya berdinas, sebab ia harus melakukan pengajuan nikah juga di kantornya sebagai syarat-syarat naik pelaminan, supaya pernikahan mereka tercatat di kantor catatan sipil, sah secara hukum agama dan negara.
Sehari sebelum Aldian kembali ke kota Lembang, Haliza meminta Aldian untuk bertemu. Hal ini terpaksa ia lakukan, karena ada sesuatu yang harus Haliza sampaikan kepada Aldian terkait perjodohan ini.
"Aku minta waktu sebentar. Mengenai perjodohan itu, bukan berarti aku menerima begitu saja. Aku hanya terpaksa, karena paksaan mama dan papa. Asal kamu tahu, Mas. Aku belum bisa melupakan mantanku, jadi aku harap Mas Aldian tidak berharap banyak dari hubungan kita nanti," cetus Haliza to the point.
Aldian tentu saja terhenyak mendengar pengakuan Haliza barusan, dia ingin marah dan melampiaskan kekecewaannya pada Haliza. Akan tetapi tidak enak karena mereka saat ini sedang berada di tempat umum.
"Jadi sebenarnya tadi malam itu kamu pura-pura menerima perjodohan itu? Baiklah, akan aku ingat setiap kata per kata yang kamu ucapkan barusan. Tunggu saja setelah kita menikah, semua perkataanmu akan berbanding terbalik. Kamu akan mencintaiku dan melupakan mantanmu itu. Catat itu," tegas Aldian tidak mau kalah.
"Aku rasa itu tidak mungkin, Mas. Sebab namamu dengan mantanku saja namanya hampir mirip, jadi mana mungkin aku bisa cepat move on dari dia," sangkal Haliza lagi. Sayangnya, Aldian menanggapinya dengan senyum yang sulit diartikan.
"Setelah melihat kamu tadi malam yang menunduk dan diam saja, aku pikir kamu ini perempuan lembut, ramah dan baik hati, tapi sayangnya dugaan ku meleset. Ternyata penampilan luar tidak menjamin dalamnya baik," tukas Aldian seraya menyeruput kopinya yang sudah mulai berkurang panasnya.
Haliza menatap kesal pada Aldian. Baru pertemuan sekali saja, Aldian baginya sangat menyebalkan.
"Setelah kita menikah, aku tidak mau kamu ajak ke Jawa Barat, aku akan tetap di sini, karena aku bekerja. Atau kalau bisa kamu saja yang pindah tugas ke sini," tegas Haliza sudah mengultimatum duluan.
Aldian menggeleng, dalam hal ini dia tidak bisa diultimatum, terlebih oleh seorang istri. Kalau sudah menikah, otomatis dia merupakan kepala keluarga yang punya wewenang kuat ke mana arah tujuan biduk rumah tangganya akan dibawa. Aldian tidak mau, dia dikendalikan istri, meskipun dia masih belum yakin bisa mencintai perempuan modelan seperti Haliza.
"Tidak bisa, kamu harus melepaskan pekerjaanmu. Kamu istri Persit yang harus selalu mendampingi suaminya di mana dia bertugas. Lagipula, aku tidak segampang itu minta pindah tugas, sebab baru saja dua tahun aku pindah tugas ke kota kecil di Jawa Barat. Jadi, aku tidak mungkin pindah. Yang ada, aku akan boyong kamu sekalian," tandas Aldian seraya berdiri dan meninggalkan kafe tanpa menoleh lagi pada Haliza.
Haliza terbelalak dengan sikap Aldian yang baginya keterlaluan. Dia ditinggalkan begitu saja di kafe. Haliza kemudian berdiri, mengikuti Aldian. Ternyata pria tentara yang akan dijodohkan dengannya justru sangat menyebalkan.
Aldian menghampiri mobilnya di parkiran. Dia menunggu Haliza yang berjalan pelan ke arahnya. Aldian tidak mungkin meninggalkan Haliza dan membiarkan ia pulang sendirian. Bagaimanapun juga dia harus bertanggung jawab memulangkan Haliza ke rumahnya dengan baik-baik, meskipun sikap Haliza sangat menyebalkan.
"Ternyata, aku justru mendapatkan perempuan sok dan belum move on dari mantannya." Aldian merutuk sembari menatap sekilas ke arah Haliza yang sudah berada di samping pintu mobilnya.
***
Waktu yang telah ditentukan tiba. Sebulan setelah lamaran itu digelar, akhirnya pernikahan antara Aldian dan Haliza dilangsungkan di kediaman orang tua Haliza. Mereka tidak menyewa gedung. Perhelatan pernikahan itu cukup digelar di depan halaman rumah orang tua Haliza yang lumayan luas. Lagipula tamu undangan tidak terlalu banyak, cukup tetangga dekat dan kerabat dekat saja yang diundang, itupun atas permintaan Haliza.
"Saya terima nikah dan kawinnya Haliza Binti Hasan dengan mas kawin seperangkat alat sholat dan satu set perhiasan, dibayar TUNAI."
Baru saja Aldian mengikrarkan ijab kabul pernikahan dengan lancar terhadap Haliza. Kini mereka berdua telah sah menjadi suami istri. Momen ini benar-benar sakral. Meskipun dalam hati masing-masing, belum ada perasaan cinta. Namun keduanya menjalani prosesnya secara khidmat dan penuh haru.
Air mata di pipi Haliza tidak bisa ditahan lagi. Terlebih ketika dirinya mulai menyematkan cincin di jari manis Aldian dan mencium tangan pria yang kini sudah sah menjadi suaminya.
Kini giliran Aldian yang menyematkan cincin pernikahan di jari manis Haliza. Kemudian Aldian mengecup kening Haliza sebagai tanda bahwa Haliza sudah benar-benar sah menjadi miliknya.
Entah sandiwara atau apa yang mereka tampilkan saat ini. Yang jelas baik Aldian maupun Haliza, hari ini merasa berbeda. Keduanya merasakan pernikahan atas perjodohan paksa ini, begitu khidmat dan haru, bagaikan pernikahan yang sama-sama diinginkan oleh mereka saja.
***
Kabar pernikahan Haliza dengan seorang pria asing, sampai ke telinga Ardian, mantan kekasih Haliza yang memutuskan sepihak hubungan tali kasih yang telah mereka bina kurang lebih dua tahun. Ada raut kecewa di wajah Ardian.
"Haliza, ternyata segampang itu kamu melupakan aku. Siapa gerangan pria yang berhasil membawa Haliza ke pelaminan?" Ardian mengepalkan tangannya tanda kecewa. Tidak dia duga, setelah ia memutuskan hubungan secara sepihak pada Haliza, kenyataannya kini justru begitu menohok, Haliza lebih dulu menikah dibanding dia.
Perhelatan nikah itu kini telah usai. Tubuh Haliza begitu sangat lelah, sehingga tiba di kamar pengantin, dia ambruk begitu saja saking lelahnya.
Belum lagi mengurus surat kepindahan dan mengajukan pengunduran dirinya dari kantor tempatnya bekerja.
Besoknya, tanpa peduli penolakan dari Haliza, Aldian berhasil membawa Haliza kembali ke kota Lembang. Aldian bertekad akan membuat Haliza bertekuk lutut padanya dan mencintai.
"Kita lihat saja sampai di mana kamu akan bertahan dengan sikap kamu yang belum move on dari mantanmu," batin Aldian.