Siapa yang ingin rumah tangganya hancur? Siapa yang ingin menikah lebih dari satu kali? Semua orang pastilah berharap menikah satu kali untuk seumur hidup.
Begitu pun denganku. Meski pernikahan yang kujalani terjadi secara paksaan, tapi aku bisa menerimanya. Menjalani peran sebagai istri dengan sebaik mungkin, berbakti kepada dia yang bergelar suami.
Namun, bakti dan pengabdianku rasanya tidak cukup untuk membina rumah tangga dadakan yang kami jalani. Dia kembali kepada kekasihnya setelah aku mengandung. Kesempatan demi kesempatan aku berikan, tapi tak digunakannya dengan baik.
Bercerai? Rasanya tidak semudah itu. Aku ingin merebut kembali apa yang menjadi milikku. Termasuk modal usaha yang aku berikan dulu kepadanya. Inilah kisahku, Shanum Haniyah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon aisy hilyah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bagian 18
Sejujurnya, aku pun berat dengan keputusan ini. Terlebih saat mengingat janin yang tak berdosa di dalam perutku. Namun, bila mengingat apa yang sudah dilakukan Raka, kesakitan itu lebih terasa nyata dari pada sakit perpisahan.
Setelah beberapa bulan meninggalkan ruangan ini, aku kembali ke sini. Kamar yang selalu terasa nyaman dan aman untukku. Penuh cinta dan kasih sayang, di sini aku dimanjakan bak putri raja.
Namun, aku juga amat menikmati masa di mana aku menjalankan peran sebagai seorang istri. Aku ingat betul bagaimana canggungnya malam pertama kami dulu, sampai akhirnya penyatuan terjadi karena sebuah kewajiban.
Tanpa terasa air mata luruh begitu saja, haruskah aku akan menjadi janda di usia muda? Sungguh, ini bukan inginku. Bila bukan karena dipaksa kenyataan, aku hanya ingin menikah sekali seumur hidup saja.
****
"Shanum! Nak! Kamu udah bangun, sayang?" Suara Mamah terdengar lembut memanggil, beriringan dengan ketukan pada pintu. Aku sudah terbangun sejak sebelum subuh tadi hanya malas saja keluar dari kamar.
"Iya, Mah."
Aku beranjak membukakan pintu untuk wanita berhati lembut itu. Ia menatap seisi kamarku dengan wajah cemas. Mungkin mengira anaknya akan mengamuk dan membuat kamar menjadi lapangan perang.
"Kenapa, Mah?" tanyaku saat Mamah begitu lama menatap wajah ini.
Tangannya dengan lembut membingkai kedua pipiku, senyum di bibirnya terukir indah seindah bebungaan yang mekar di pagi hari.
"Makan dulu, yuk. Eyang sama si Mbah udah nungguin kamu," katanya.
Bola mata hangat itu bergerak ke kanan dan kiri bergantian menelisik biji manikku. Kulihat penderitaan semalam berangsur raib. Aku mengangguk keluar kamar mengikuti tarikannya.
"Asha, kenapa pulang ndak bilang-bilang?" Eyang bangkit memeluk, kuperhatikan keduanya tampak lebih sehat dan bersih.
"Iya, Eyang." Setelah melepas rindu, aku duduk bersama mereka menikmati santap pagi yang penuh kehangatan. Suasana yang sudah lama tak aku rasakan sejak kemelut rumah tangga memenuhi beban pikiranku.
****
"Kamu mau ke toko?" tegur Papah yang juga tengah bersiap hendak pergi ke kantor. Seharusnya di usia yang mulai menginjak senja itu, ia sudah mendapatkan pengganti untuk duduk di gedung tinggi tersebut.
"Iya, Pah."
"Biar Papah yang antar," ucapnya sambil tersenyum.
Aku menurut, lagipula tak ada mood untuk mengemudi sendiri. Pergi ke toko pun karena aku tak ingin teringat pada Raka apalagi sampai terpuruk. Aku yakin, perlahan aku bisa melupakan semua kenangan yang pernah terukir.
Aku berpaling menatap jemari yang tiba-tiba digenggam Papah. Lelaki seperti dia yang aku inginkan, lelaki hangat penuh cinta dan kasih. Kulabuhkan kepala bersandar di pundaknya. Masih tetap kokoh meski usia menggerogoti. Dia cinta sejatiku yang tak pernah menyakiti.
Sejak kepulanganku dari rumah Raka, tak satu pun dari mereka yang membahas masalah semalam. Baik Papah maupun Mamah, keduanya tetap diam.
"Makasih, Pah." Kukecup pipinya yang mulai keriput.
Ia mengusap kepalaku dengan tangan besarnya sambil tersenyum. Katanya, "Laa yukallifullaahu nafsan illaa wus'ahaa. Allah tidak akan membebani seorang hamba melebihi batas kemampuannya."
Aku tersenyum, mengangguk sebelum turun. Kulambaikan tangan melepas kepergian mobil Papah di depan tokoku yang sudah ramai pembeli. Sepertinya ada banyak anak yang ulang tahun hari ini, melihat beberapa ibu-ibu membeli kue ulang tahun berkarakter animasi kesukaan anak-anak.
"Selamat pagi, Bu!" sapa Wati dan yang lainnya.
Kubalas dengan senyuman, seramah biasanya. Aku tak ingin masalah yang melilit kehidupanku diketahui banyak orang. Semoga dengan datang ke tempat ini, aku bisa melupakan sedikit tentang masalahku.
Kuharap tak ada hambatan apapun saat sidang nanti. Aku sudah menyewa pengacara handal untuk membantu perceraian kami.
"Gimana keadaan toko, ya? Apa hari ini Raka datang ke toko?" Teringat pada toko aksesoris. Pesan gambar yang dikirimkan Irwan kemarin mengenai kedatangan barang-barang membuatku merasa lega. Setidaknya, toko itu berhasil selamat dari kebangkrutan.
Sebuah pesan masuk ke ponselku menyentak lamunan. Dari Lia. Benar, aku hampir melupakan yang satu itu. Dia kuberi tanggung jawab untuk mengelola toko cabang milikku.
Sha, kapan mau ke sini? Banyak yang belum aku ngerti soalnya. Nggak enak nanya mulu sama karyawan kamu.
Astaghfirullah al-'adhiim. Kenapa harus nggak enak, Lia? Nanti siang aku ke sana, ya. Sekalian bawain makan siang.
Kubalas pesan tersebut, kalimat yang dikirimkan Lia berhasil membentuk senyum di bibirku. Pesan selanjutnya muncul, tapi dari Raka.
Sha, Mamah masuk rumah sakit lagi. Mamah terus manggil kamu, Sha. Kamu bisa nggak datang ke sini? Jenguk Mamah.
Senyum yang kuukir raib, membaca pesan dari Raka selalu membuatku kehilangan semangat hidup. Bukankah dia anaknya? Aku hanyalah menantu yang dipaksa hadir dalam kehidupan mereka.
Sha, ke sini, ya. Demi Mamah.
Pesan lanjutan datang, aku berdecak. Malas bertemu mereka lagi.
Maaf, Ka. Aku lagi nggak pengen pergi ke mana-mana. Salam aja buat Mamah.
Kumatikan telepon karena sudah pasti Raka akan mengirimiku pesan lagi. Semoga mereka mengerti, aku sudah tidak ingin berhubungan lagi dengan mereka. Tidak sebagai keluarga, tapi hanya sebatas kenal saja.
"Bu, kemarin dicariin sama pak Dzaky," ucap Wati tiba-tiba. Ia duduk di kursi sampingku sambil membawa sebuah kado.
"Oya? Mau ngapain emang?" Dahiku membentuk kerutan, tumben Kak Dzaky datang mencari.
"Katanya mau kasih ini sama Ibu. Pak Dzaky juga bilang, semoga Ibu suka hadiah ulang tahunnya," sahut Wati semakin membuatku bingung.
Ulang tahun? Aku? Kapan? Astaghfirullah al-'adhiim! Mataku melebar ketika mengingat sesuatu. Benar, beberapa hari lalu aku memang ulang tahun, tapi karena masalah rumah tangga aku jadi lupa.
Kuterima kado tersebut sambil mengucapkan terima kasih. Akan aku buka saat di rumah nanti. Penasaran sebenarnya, tapi biarlah ini menjadi kejutan di rumah. Laki-laki itu selalu ingat hari lahirku.
****
"Shanum!"
Aku menoleh ketika baru saja hendak pergi dari toko untuk menemui Lia. Sosok Raka berdiri tak jauh dari toko dengan penampilannya yang kacau.
"Mamah pengen ketemu sama kamu, Sha." Dia memelas, aku juga melihat butiran embun menggenang di kedua sudut matanya. Dia pikir aku akan luluh? Rasanya tidak mungkin.
"Maaf, Ka, aku sibuk. Lain kali aja, ya. Salam sama Mamah," sahutku seraya melanjutkan langkah mendekati taksi online yang sudah menunggu.
"Tapi, Sha. Aku mau ngomong sama kamu." Raka mengejar dan mencekal tanganku cepat. Kutepis dengan keras, enggan bersentuhan lagi dengannya.
"Aku bilang lain kali aja. Sekarang aku lagi sibuk, aku mau pergi karena ada urusan." Tak kuhiraukan keberadaannya kembali melangkah dan hendak membuka pintu mobil.
"Sha, apa kamu benar-benar mau pisah sama aku?" Pertanyaan yang tak ingin aku dengar karena jawabannya sudah sangat pasti.
"Tunggu aja, panggilan sidang juga bentar lagi datang." Kubuka pintu mobil dan masuk segera ke dalam. Meminta sang supir untuk segera melajukan mobilnya.
Hah~
Kamu nggak boleh plin-plan, Shanum.