Istri Yang Kau Siakan
Derap langkah yang terdengar berat, menapaki tiga anak tangga di teras. Setelah beberapa saat lamanya kutunggu, sosok itu muncul juga. Kubenahi duduk di sofa agar terasa nyaman, menunggu kedatangan suami yang sejak pagi menghilang.
"Gimana? Asik, ya, main peluk-pelukan di bawah hujan." Kulayangkan sindiran agar ia sadar apa yang dilakukannya tadi terlihat olehku.
Entah seperti apa ekspresinya saat ini, aku enggan memperhatikan. Terus fokus pada majalah di tangan, dan camilan di pangkuan.
"Sh-sha ... a-aku ...."
Kuhembuskan napas dengan malas, belum ingin berputar untuk melihat.
"Cepat mandi, nanti masuk angin aku yang repot," celetukku ketus.
Rasanya terlalu muak bersikap lembut pada laki-laki plin-plan yang telah menjadi suamiku selama enam bulan ini. Lelah lahir dan batin karena terus dibohongi soal keberadaan mantannya. Entah sudah berapa lama mereka kembali menjalin hubungan, aku tidak tahu tentang itu.
Tak terdengar sahutan darinya, hanya bunyi langkah yang kembali berderap mengarah ke kamar mandi. Kulirik punggung laki-laki itu, rupanya dia sudah mengganti pakaian. Mungkin di sana ada suguhan khusus untuknya.
Kembali kuhela napas, ego di dalam hati mengajakku untuk menyudahi pernikahan ini, tetapi ada yang perlu kuselidiki terlebih dahulu sebelum keputusan itu kulayangkan. Perputaran usaha yang dikelola Raka, entah bagaimana laporannya. Selama ini Raka tidak pernah memberitahukan itu kepadaku.
"Salah aku juga percaya banget sama dia. Aku harus tahu ke mana perputaran uang di toko itu," gumamku seraya kembali fokus pada majalah di tangan.
Kurenungi perjalanan hidup ini, terasa begitu memilukan bila teringat pada waktu pernikahan. Begitu dipaksakan hanya karena pengantin perempuan yang tak datang ke pesta. Entah apa alasannya, tapi yang pasti ada pihak yang memojokkan aku.
"Sha, kamu nggak masak?" teriakan dari arah dapur menyentak lamunanku.
"Nggak sempet. Aku kira kamu udah makan." Santai, aku menyahuti.
Langkahnya terdengar mendekat, masih enggan mata ini memandang ke arahnya. Berselang, tubuh itu duduk di hadapan. Kulirik sekilas, dia tampak salah tingkah.
"Pesan aja, ya." Dia berucap setelah beberapa saat duduk.
"Terserah." Ku sibukkan diri dengan lembaran kertas bergambar di tangan. Terdengar helaan napas panjang darinya, tapi tak ada pergerakan.
"Kamu kenapa, Sha?"
Kulirik ponsel yang diletakkannya di atas meja, dia bertanya setelah memesan makanan.
"Nggak kenapa-kenapa," sahutku asal. Berpura-pura saja terus, kamu lupa kejadian tadi.
"Sha. Kamu tahu dari mana soal yang tadi?" Akhirnya pertanyaan itu meluncur juga dari bibirnya.
Kuhela napas, kulipat majalah. Setelahnya, kuletakkan di atas meja. Mungkin saat ini adalah waktu yang tepat untuk membicarakan pernikahan kami. Kuangkat wajah, kutatap kedua mata yang dipenuhi kebohongan itu.
"Soal apa?" tanyaku sambil mengulas senyum.
"Yang tadi kamu bilang?" Kenapa rasanya berputar-putar?
"Aku nggak ingat tadi bilang apa?" Kuhendikan bahu seolah-olah tak pernah mengatakan apapun jua.
Raka menghela napas sembari membuang muka, ada gelisah tertangkap di raut wajah itu. Dia kembali menatapku dengan pandangan lelah.
"Apa Lia yang bilang? Kamu jangan salah faham, Sha," ucapnya menebak.
Aku bergeming pada kedua matanya yang lembut, tapi seraut kecemasan terlihat di sana. Entah apa yang telah terjadi di antara mereka.
"Salah faham? Emang salah faham apa?" tanyaku santai, mencoba bersikap seolah-olah tak pernah melihat apapun.
"Yang dibilang Lia itu salah faham. Aku bisa jelasin apa yang terjadi, tapi kamu harus tenang dulu," katanya merayu.
Aku mengangkat sebelah alis, menyelidik sikapnya yang tak biasa.
"Bukan dari Lia, dia nggak tahu apa-apa soal yang tadi. Aku lihat sendiri apa yang kamu lakukan di sana. Kalo kamu punya penjelasan, silahkan jelaskan!" ucapku masih dengan sikap yang tenang seperti biasa.
Kuamati garis wajah itu menegang, bola matanya melebar meski tidak signifikan. Aku yakin dia terkejut. Hanya saja berpura-pura untuk bersikap tenang.
"Jadi, kamu yang lihat sendiri? Kamu jangan salah faham, sayang. Semua yang kamu lihat nggak seperti yang ada di dalam pikiran kamu," ujarnya sedikit terdengar gugup.
Kulipat kedua tangan di perut sembari menyandarkan punggung pada kepala sofa. Mengamati reaksi wajah yang semakin terlihat gelisah. Bahkan, bola matanya berputar-putar mencari alasan.
"Ya, gimana? Emang apa yang ada di pikiran aku? Sekarang aja aku nggak mikirin apa-apa." Kugelengkan kepala menolak ujarannya.
Raka mendesah, melihatku dengan tatapan ... entah. Dia pikir aku akan menangis dan bertanya, lalu luluh karena alasannya seperti dulu-dulu. Tidak! Untuk kali ini, aku akan melakukan apapun sesuai keinginanku.
"Terus yang bener itu gimana? Kalo kamu mau jelasin, jelasin aja," ucapku kemudian karena Raka tak kunjung angkat suara.
Kuperhatikan wajah laki-laki yang enam lalu menikahiku. Ia tampak berpikir mencari alasan, agar aku percaya dan melemah seperti sebelum-sebelumnya. Ayo, apa alasanmu kali ini, Raka.
"Aku tadi mau pulang ke rumah, tapi di jalan nggak sengaja lihat dia yang lagi berdiri di pinggir jembatan. Dia mau b*n*h diri, Sha. Awalnya aku nggak peduli, tapi di sana nggak ada orang. Jadi ... jadi, terpaksa aku bantuin dia supaya nggak ngelakuin itu," terangnya sedikit-sedikit melirik ke arahku.
Kuamati dengan cermat setiap sisi wajah rupawan di hadapan, ada yang janggal dari penjelasannya meski aku tidak melihat kebohongan dari apa yang telah dia jelaskan tadi.
"Terus, emang harus peluk-pelukan kayak tadi? Aku lihat kamu asik-asik aja dipeluk sama dia." Raka mengangkat wajah, menatapku dengan mata yang sulit diartikan.
Ada kebingungan, kegelisahan, juga rahasia yang aku tangkap dari setiap kerlingan matanya. Ada apa, Raka? Apa ada yang kamu sembunyikan dari aku?
"Aku ... aku sendiri nggak tahu kenapa dia tiba-tiba meluk aku. Mungkin karena takut, atau ... nggak tahulah, itu tiba-tiba aja terjadi," kilahnya tanpa melihat ke arahku.
"Terus, kamu nerima gitu aja? Kamu masih ingat aku pernah bilang apa? Aku nggak suka kamu disentuh sama perempuan lain terutama dia. Kamu itu suami aku, Raka. Laki-laki beristri yang harusnya bisa menjaga diri dari sentuhan-sentuhan yang bukan mahramnya. Kamu sama sekali nggak ngehargain aku sebagai istri." Aku menggelengkan kepala kecewa.
"Dan ini bukan kali pertama aku lihat kamu kayak gitu. Dua kali, Ka ... dua kali aku mergokin kamu pelukan sama dia. Pernikahan kita baru seumur jagung, tapi kamu udah ngelakuin hal yang kayak gini. Aku tahu ... aku tahu kita nikah secara paksa, tapi apa kamu nggak bisa coba menerima pernikahan ini?" Kuluapkan emosi yang selama ini aku pendam.
Raka diam, hanya terlihat kegelisahan di raut wajahnya yang memerah. Entah memendam amarah, ataukah rasa malu karena kelakuannya sendiri.
"Kamu pilih, Ka. Mau menyelesaikan apa yang belum selesai di antara kalian atau ... kita selesai?"
Raka mengangkat wajah dengan cepat, kedua matanya membola tak percaya. Ia menggeleng lemah, entah apa maksudnya.
"Sha ...."
"Pikirkan baik-baik." Kuangkat tubuh dari sofa dan masuk ke kamar tak ingin lagi berbicara dengannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 83 Episodes
Comments
Wanda Andhika
mampir ya kakak author 🙏🤗
2023-09-26
0
Pink Cat
hallo salam dari good bye mr joon
2023-09-14
0
Grenny
semangat thorr
2023-09-11
0